Mengimajikan Sukabumi Melalui Buku Foto



Buku “Treasure of Sukabumi” karya Iman Firmansyah yang telah diluncurkan pada hari Minggu (27/09) merupakan salah satu ikhtiar “Manusia Sukabumi” dalam mengimajikan wilayahnya ke dalam sebuah buku. Penggunaan kata “Manusia Sukabumi” oleh penulis dalam kalimat sebelumnya tidak dimaksudkan untuk mengkonotasikan negatif kata orang, kecuali sebagai upaya mendekatkan manusia dengan wilayahnya. Dengan bahasa yang lebih lugas dapat disederhanakan, “Manusia Sukabumi” adalah orang-orang yang telah begitu dekat dengan Sukabumi. Kedekatan tersebut tidak sekadar orang-orang ini merupakan pituin atau penduduk asli Sukabumi, lebih dari itu mereka telah memiliki hubungan emosional dengan wilayahnya. Harus diakui, manusia seperti ini memang masih jarang membumi di Sukabumi.

Sebelum peluncuran buku Treasure of Sukabumi, di dalam acara “Ngaji Bareng Arsip dan Sejarah Sukabumi”, penulis sebagai pembawa acara telah menggali kedalaman buku tersebut melalui beberapa pertanyaan yang telah diajukan kepada penulis. Kecuali itu, dalam acara tersebut, penulis juga memberikan kesempatan kepada narasumber lainnya, Kang Rizky Duren, untuk memberikan syarah atau komentar terhadap buku foto karya salah seorang “Manusia Sukabumi” tersebut.

Memotret mulai dari swafoto, foto bersama, dan foto lingkungan telah menjadi kebiasaan keseharian manusia modern sejak keran media sosial dan server digital dibuka sebesar-besarnya. Fenomena sosial yang terjadi sejak satu dekade lalu telah berubah dari rasa malu dipotret oleh orang lain menjadi rela mengunggah dan memajang foto serta video pada kanal-kanal digital seperti media sosial. Tidak sedikit juga para pengguna media sosial telah merelakan diri mengekspos diri sendiri melalui beragam swafoto dari yang biasa-biasa saja sampai pose yang dipandang tabu oleh masyarakat di era sebelumnya.

Di era milenial seperti sekarang, seakan sudah tidak ada lagi ruang aman bagi manusia agar dapat terhindar dari bidikan kamera diri sendiri dan orang lain. Di ruang privasi saja, siapapun dapat dengan mudah entah itu memotret atau dipotret oleh orang lain. Kebutuhan dasar manusia, ingin mengaktualisasikan dirinya memang menjadi motivasi manusia modern agar keberadaannya tetap diakui oleh sesama. Dapat saja dikatakan, manusia modern lebih memilih aktualisasi diri di ruang-ruang maya dengan mengesampingkan bagaimana sebaiknya mereka mempertahankan eksistensi dan keberadaan manusia itu sendiri.

Kegegaran dunia saat ini yang disebabkan oleh semakin terbukanya peluang memotret kepelbagaian, menurut Iman Firmansyah dan Rizky Duren harus diarahkan kepada hal-hal positif. Memotret sebuah obyek, kemudian diunggah ke dalam media sosial harus dilakukan sebijaksana mungkin. Jumlah obyek yang dapat dipotret sangat tidak terhingga, tetapi pada satu sisi harus dibuat menjadi terhingga agar foto menjadi item-item yang dapat dinikmati, ditelaah, dan diteliti hingga dideskripsikan oleh orang yang melihatnya. Buku Treasure of Sukabumi diakui oleh penulisnya tidak serta merta memuat seluruh obyek foto. Dalam mengimajikan Sukabumi ke dalam sebuah buku, Iman Firmansyah hanya cukup membagi buku tersebut menjadi empat bagian.

Pengaruh Foto di Media Sosial

Literasi digital –sebuah upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat dalam memanfaatkan gawai digitalmemberi makna terhadap fenomena digitalisasi, dan memerankan diri mereka dalam dunia digital– harus diakui masih belum memperlihatkan hasil maksimal. Di berbagai platform media sosial masih sering dijumpai foto-foto yang disunting hanya untuk melahirkan informasi bohong, fitnahan, hingga hasudan yang ditujukan kepada pihak lain. Sebagai contoh, foto suasana bulan puasa tahun 2019 di Jl Kapten Harun Kabir Kota Sukabumi yang disesaki oleh orang-orang telah disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk memunculkan stigma kurang baik kepada Pemerintah Kota Sukabumi.

Unggahan foto tersebut bertepatan dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahun 2020 telah menjelma menjadi informasi bohong berantai, pada akhirnya disalahtafsirkan secara beragam oleh warga Kota Sukabumi, mulai dari biasa-biasa saja sampai kepada satu simpulan: ketidakberhasilan penerapan pembatasan sosial berskala besar di Kota Sukabumi. Di era keterbukaan dan kepura-puraan, orang memang mulai melupakan konsep tabayun, klarifikasi, dan check and recheck terhadap informasi. Apa yang mereka lihat itulah yang mereka percayai sepenuhnya meskipun masih meragukannya, quod est videre quod credis etsi non dubitaverunt.

Tidak dapat dimungkiri, pemerintah mulai dari pusat hingga daerah akan terus-menerus menuai kritik sebagai konsekuensi dari asas penyelenggaraan pemerintahan transparansi dan kepentingan umum. Kedua asas ini sudah pasti ditafsirkan oleh beberapa pihak bahwa pemerintah memang harus mengedepankan sikap terbuka hingga menelanjangi dirinya sendiri untuk memenuhi harapan tidak terbatas dari masyarakat. Padahal di samping itu, hal penting dari proses demokratisasi sekarang ini yaitu munculnya sikap proporsional dan profesional yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Sikap kritis merupakan ciri manusia modern yang tidak terkungkung oleh kemandegan tetapi harus melalui saluran yang tepat.

Dalam pandangan penulis, buku Treasure of Sukabumi merupakan anak kunci sebuah berangkas harta karun Sukabumi untuk memproporsionalkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Artinya, melalui buku ini, Iman Firmansyah hendak mengajak kepada masyarakat, untuk menggugah perasaan para pemangku kepentingan tidak melulu harus ditempuh melalui teriakan yang keras. Melalui foto pemandangan alam Sukabumi, misalnya, pesan untuk merawat, mejaga, melestarikan, atau ngamumulé Sukabumi dapat tersampaikan dengan halus dan baik.

Genetika Mahluk Si Swafoto

Mengaktualisasikan diri melalui gambar dan foto merupakan warisan leluhur manusia dan telah terbiasa dilakukan sejak peradaban manusia terbit. Di dalam diri manusia telah tertanam pandangan “alam dan manusia merupakan imaji dari Dia Yang Maha Agung”. Keberadaan alam dan fenomena sosial inilah yang telah memengaruhi perkembangan otak manusia untuk memproyeksikan keberadaan alam pada berbagai benda yang dibuat oleh manusia. Lukisan parade binatang di Gua Lascaux, Prancis hasil karya manusia 15.000 tahun lalu, di era revolusi kognitif merupakan potret masa lalu tentang keberadaan manusia yang tidak dapat terpisah dengan kemahirannya bagaimana cara menyampaikan dan mentransferkan pesan kepada generasi setelahnya.

Di Nusantara, naskah-naskah kuno yang ditulis oleh para Mpu, Pandita, Inohong, Maharesi, dan Mahakawi banyak mengandung gambaran dan deskripsi kehidupan sosial masa lalu. Pada perkembangan selanjutnya, naskah-naskah kuno, wiracarita, dan kakawin tersebut dimanifestasikan ke dalam gambar-gambar pada relief beberapa candi. Melalui gambar dan relief tersebut, informasi masa lalu dibenamkan ke dalam kepala manusia sekarang. Lukisan parade binatang buruan di dalam Gua Lascaux telah dibenamkan ke dalam otak manusia modern bahwa leluhur manusia merupakan kelompok manusia pemburu yang cekatan, tangkas, taktis, dan mampu menguasai lapangan meskipun pada saat itu puncak piramida masih ditempati oleh binatang-binatang buas. Melalui relief-relief candi, informasi Nusantara pada abad ke 4 sampai 9 masehi telah dibenamkan ke dalam otak manusia Indonesia modern bahwa leluhur mereka merupakan orang-orang pinilih dan berperadaban tinggi yang patut ditiru oleh cucu buyutnya. Maka, untuk memahami kehidupan di masa lalu, manusia modern dapat memasuki kepala para leluhur mereka melalui penerjemahan dan penafsiran gambar-gambar masa lalu tersebut.

Keterangan gambar: Perayaan Cap Go Mek di Kota Sukabumi, karya: Iman Firmansyah
Dipublikasikan Radar Sukabumi 1 Oktober 2020
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Mengimajikan Sukabumi Melalui Buku Foto"