Jantera Bianglala, Srintil dan Kesemestaan Hidup

Di bawah langit, semua orang dapat melihat keindahan sebagai hal yang indah hanya karena ada yang buruk –Lao Tzu-

Panggung kehidupan sering –bahkan cenderung– diwarnai oleh tragedi. Budi Dharma menyebutnya sebagai adegan-adegan yang sangat melodramatik. Tragedi dalam kehidupan tidak dapat dihindari, ia menjelma sebagai piranti lunak dalam kehidupan itu sendiri.

Itulah alasan, kenapa novel, roman, pentas drama, opera, dan film bernuansa tragedi selalu mendapatkan antusias lebih dari manusia. Kehidupan berjalan normal, biasa, hambar, diwarnai oleh sukacita dan nestapa, keceriaan, namun pada akhirnya tidak dapat terhindar dari sebuah tragedi, perpisahan, entah itu disebabkan oleh “putus cinta, putus cita” hingga oleh kematian.

Seminggu lalu saya menulis “Lintang Kemukus Dini Hari, Srintil, dan Pentas Kehidupan Manusia”. Di dalamnya saya mencoba mengelaborasi jilid kedua dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sebagai pentas kehidupan yang tidak hanya dialami oleh Srintil dan tokoh-tokoh dalam novel tersebut. 

Setiap manusia sudah tentu memiliki legenda hidup dan alur atau plot kehidupan yang selalu mirip meskipun dengan tampilan ragawi berbeda-beda. Hal tersebut bukan hal aneh sebab pada dasarnya setiap mahluk di belantara semesta ini berasal dari satu sumber. Entah berasal dari ledakan dahsyat bernama Big Bang atau berasal dari penyebab utama atau Tuhan yang selalu dirujuk oleh mayoritas manusia beragama saat ini.

Buku ketiga dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan epilog cerita seorang ronggeng yang berakhir dengan adegan tragis dan getir. Jantera Bianglala adalah simbol besar kegetiran dan kepahitan hidup seorang Srintil. Dalam tradisi orang-orang Jawa, kehadiran jantera bianglala hampir mirip dengan kemuncul lintang kemukus pada dini hari, pertanda alam atas kehadiran hal kurang baik.

Srintil harus menghadapi kepahitan hidup yang tidak ia mengerti sama sekali. Dukuh Paruk, kampung halamannya sebagai jagat besar bagi dirinya juga mengalami hal yang sama setelah peristiwa 1965. Sebelum terlibat dalam pentas politik yang tidak mereka pahami, 

Dukuh Paruk telah menjelma menjadi perkampungan mati, penduduknya hidup dalam cekam ketakutan. Berbaur bersama penduduk lain dari Dawuan, sama sekali mereka hindari karena penyematan stigma buruk sebagai kaum pinggiran dan pemberontak negara.

Tidak ada lagi suara tetabuhan ronggeng di dukuh yang tetap menyimpan kebodohan tersebut. Srintil dibebaskan dari tahanan dua tahun kemudian. Dalam dirinya tidak lagi terpancar aura seorang ronggeng, karena menurut Sakum, inang ronggeng yang merasuki diri Srintil telah pergi setelah peristiwa mengenaskan tahun 1965.

Diri yang telah dilepaskan oleh inang ronggeng itu selanjutnya berusaha menentukan pilihannya sendiri. Srintil ingin menjadi perempuan biasa, manusia yang benar-benar menampilkan kodratnya sebagai perempuan. Bukan perempuan milik bersama penduduk Dukuh Paruk dan Dawuan.

Berkas masa kecil sebagai perempuan dusun yang biasa menghabiskan hari di pematang sawah, bermain bersama Rasus di bawah pohon waru dan randu, membersihkan diri di pancuran, kembali muncul dalam dirinya. Bukan seorang perempuan yang menghibahkan diri kepada jamahan tangan-tangan kasar maskulinitas.

Perempuan yang dalam pandangan mayoritas manusia sebagai perempuan bermartabat, tanpa dijamah dan dibuai oleh setiap lelaki kecuali oleh suaminya. Di saat terbersit kata suami dalam dirinya itulah sosok yang tiba-tiba menghilang dari Dukuh Paruk itu muncul kembali. Rasus, teman sepermainan ketika kecil, kadang dianggap sebagai lelaki tangguh oleh Srintil, walakin pada saat yang sama lelaki itu dipandang juga sebagai pengecut olehnya.

Hukum polaritas dalam tradisi Tiongkok dinamakan Yin dan Yang merupakan tetapan yang selalu membersamai kehidupan. Sebuah hukum alam yang kerap memberikan tarian perubahan pada alam dan manusia. Sangat lumrah jika dalam diri manusia ada desakan-desakan untuk selalu berubah, dari baik menjadi buruk atau sebaliknya.

Hukum keseimbangan di alam semesta ini yang telah mempertahankan dinamika dalam kehidupan. Orang-orang akan dipandang baik ketika pada kutub berbeda diisi oleh orang-orang yang dipandang buruk. Bahkan cinta dan benci seperti dua sisi mata uang yang saling berbeda, melengkapi, memengaruhi, dan memuat. Begitulah pandangan Srintil terhadap dirinya sendiri juga terhadap seorang Rasus.

Tarian perubahan dan kepelbagaian inilah yang harus dipahami oleh manusia. Perselisihan hingga perang tanding yang pernah terjadi disebabkan oleh kesulitan manusia menafsirkan dan mengikuti alur permainan semesta. Dalam tradisi orang-orang Sunda dikenal peribahasa: kudu bisa ngigelan jaman atau harus mampu mengimbangi tarian zaman.

Orang harus pandai diam di saat orang lain bersemangat berbicara, orang harus mengarungi samudera untuk menjadi dingin di saat orang lain berusaha menyengat dengan terik matahari. Orang harus merelakan memberi di saat orang lain berusaha mati-matian meraihnya.

Srintil merupakan perwakilan jiwa yang pasrah diombang-ambing roda kehidupan, ia ingin kembali kepada dirinya sendiri setelah sebelumnya menyebar dan dipereteli martabat kewanitaannya oleh mata jelalatan kaum lelaki. Ia ingin berubah dan memang dapat berubah.

Dawuan, beberapa tahun setelah peristiwa nahas 1965 juga ikut berubah. Para priayi dari Jakarta ikut serta menyulap Dawuan yang asri menjadi tatanan bangunan beton. Warung-warung didirikan di sepanjang jalan, orang-orang Dukuh Paruk juga pada akhirnya kebagian ciptaran rezeki dari Jakarta. 

Srintil meskipun dirinya telah berbeda tetap menjadi magnet penarik bagi para Priayi Jakarta. Dalam benak para Priayi asal Jakarta itu terbersit ungkapan: di kampung udik seperti Dukuh Paruk ternyata tersimpan satu kerlip mutiara, kecantikan yang bersahaja.

Bajus salah seorang Priayi dari Jakarta itu mendekati Srintil. Srintil sendiri memandang Priayi itu sebagai lelaki ramah, baik hati, dan sosok yang laik dijadikan suami. Akhir pekan dihabiskan oleh Srintil dan Goder bersama Bajus dengan berjalan-jalan, menonton film di bioskop, menelusuri jalan perkotaan, dan menapaki butiran pasir-pasir pantai.

Kebaikan Bajus yang dapat membuat orang iri seperti kita yaitu membangun sebuah rumah permanen untuk Srintil. Di bagian depan rumah baru itu dipampangkan potret Srintil. Tetapi berbeda dengan orang-orang modern seperti kita, rasa iri selalu muncul ketika kebahagiaan sedang memihak orang lain, orang-orang Dukuh Paruk justru sebaliknya. 

Mereka tidak pernah merasa iri ketika tetangganya menjadi orang yang lebih sukses dari dirinya. Mereka selalu memiliki keyakinan, biarkan orang lain lebih maju karena memang demikianlah kehidupan ini mengalir. Rumah permamen milik Srintil justru dipandang oleh orang-orang Dukuh Paruk sebagai monumen sakral yang dimiliki oleh kampung mereka.

Untuk berubah dan mengawalinya memang dapat melahirkan dilema dalam diri manusia. Dilema itu lahir sebagai akibat dari tetapan alam dalam hukum polaritas. Manusia ingin menjadi kuat namun pada saat yang sama harus berusaha menjadi lemah, manusia ingin memiliki sesuatu namun pada saat yang sama harus rela memberikannya. 

Srintil ingin memiliki suami –misalnya kepada Bajus karena dipandangnya sebagai lelaki baik-baik– namun pada saat yang sama harus melepaskan pikiran dari dalam kepalanya tentang Rasus. Atau haruskah ia meleburkan kedua-duanya agar dirinya tetap menjadi seorang Srintil?

Dengan segera, alam memberikan jawaban kepada Srintil. Suatu hari ia diajak oleh Bajus mengikuti rapat besar dan penting yang dihadiri oleh para petinggi dan orang-orang penting di negara ini. Srintil segan harus mendampingi Bajus di hadapan para priayi perkotaan mengingat dirinya hanya sebongkah batu dari perkampungan.

Justru oleh sebab itulah, menurut rajukan Bajus, Srintil akan menjadi lebih dikenal oleh orang-orang penting. Untaian kalimat manis bahwa dirinya kelak akan tampil sebagai perempuan terhormat membuai Srintil. Ia bersedia menemani Bajus mengikuti rapat besar orang-orang penting tersebut. Srintil ditempatkan di sebuah Villa.

Padahal, Bajus tetaplah Bajus, orang kota yang pikirannya telah dirasuki oleh transaksi dan aturan-aturan hidup bernilai ekonomis. Kebaikannya selama ini harus dibayar dengan pamrih. Srintil lah sebagai barang yang harus ditransaksikan kepada atasannya agar Bajus tetap mendapatkan Proyek seharga lima juta rupiah.

Lelaki yang dianggap baik itu pada akhirnya menampilkan juga sikap kejantanan yang pongah dan berkata kepada Srintil, dia tidak mungkin menikah dengan perempuan manapun karena mengidap impotensi, Srintil diajak mengikuti rapat sebagai balas budi agar mau melayani arogansi maskulinitas atasannya.

Beruntung sekali, atasan Bajus sebagai lelaki yang senang berpetualang itu melihat Srintil sebagai sosok kecil, perempuan desa yang patut dikasihani bukan ditelanjangi. Srintil kecewa terhadap Bajus, namun mengharapkan dirinya direngkuh oleh Rasus juga sangat mustahil. Rasus pergi tanpa pamit meninggalkan Dukuh Paruk dan memilih menjadi tentara juga disebabkan oleh Srintil yang telah memilih menjadi seorang ronggeng.

Dalam kemelut dan kekacaun pikiran itulah Srintil menjadi gila. Sekali lagi ia kecewa terhadap kehidupan. Srintil yang cantik dan sintal hanya dalam waktu beberapa bulan saja telah menjelma menjadi perempuan pendiam namun dapat saja tiba-tiba terbahak sambil mendendangkan syair-syair yang dulu dirapalkan ketika dia sedang meronggeng.

Kepulangan Rasus ke Dukuh Paruk sama sekali tidak dapat menghindari petaka yang menyergap Srintil. Seorang perempuan yang selalu ada dalam pikirannya, kelak perempuan tercantik di kampung terpencil ini akan menjadi istri seorang tentara. Sesak dan pengap tidak dapat ditahan menjalar dalam diri Rasus.

Awalnya dia menyesal kenapa tidak mengindahkan ucapan orang buta bernama Sakum beberapa tahun lalu, dia harus segera menikahi mantan ronggeng itu. Dengan tegas dan suasana batin yang hening, Rasus tetap memiliki harapan, Srintil dapat disembuhkan. Perempuan gila yang sering berjalan sambil lenggak-lenggok itu dibawa oleh Rasus ke sebuah rumah sakit jiwa. 

Dengan ringan Rasus mengatakan “ya” saat seorang petugas menanyakan, apakah perempuan gila ini calon istrinya. Sebuah pengakuan yang telah merobohkan kemunafikan yang berdiri begitu kokoh selama ini dalam diri Rasus. Kenapa dia harus membohongi diri sendiri selama bertahun-tahun dan menyembunyikan rasa cintanya kepada Srintil?

Rasus selalu merenungi perjalanan hidup dirinya, Srintil, dan Dukuh Paruk setelah peristiwa yang menempatkan Srintil tidak lagi sebagai manusia. Rasus menutup perjalalan hidup tragis itu dengan untaian kata: “Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasat mata setelah dia membuat jantera bianglala di seputar bulan.

Mendiang Sakarya sering mengatakan, bulan berkalang bianglala adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk selalu percaya akan kata-kata kamituanya. Tetapi kiranya, mendiang Sakarya mau mengerti bila aku berpendapat lain. 

Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”

Manusia akan selalu mengambil hikmah dan pelajaran setelah peristiwa besar entah itu mengecewakan atau memuaskan, dan dialami oleh dirinya sendiri. Segala sesuatu memang selalu menyimpan hikmah, seperti kata Lao Tzu  pada awal tulisan ini: Di bawah langit, semua orang dapat melihat keindahan sebagai hal yang indah hanya karena ada yang buruk. 

Semua orang dapat mengetahui kebaikan sebagai baik hanya karena ada yang buruk. Oleh karena itu, memiliki dan tidak memiliki muncul selalu bersamaan. Kesulitan dan kemudahan selalu saling melengkapi.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Jantera Bianglala, Srintil dan Kesemestaan Hidup"