Kota Kecil Sejuta Cerita



Terhadap ungkapan di atas, sebagai orang Sukabumi, kita sudah tidak aneh lagi mendengarnya. Ungkapan ini sering dibahasakan hingga dibahas berjam-jam baik di dunia nyata dan maya. Berbagai platform media sosial dan media obrolan daring melalui grup-grup yang dibuat baik secara personal individual, kelompok sosial, hingga pemerintah banyak bermunculan dan menjadikan topik “Kota Sukabumi” sebagai sentral perbincangan. Sebegitu memikatnya kota kecil bernama Sukabumi ini sehingga menjadi perhatian orang-orang yang memiliki kepedulian merawat hal-hal tentangnya.

Di hari jadi ke-107, Kota Sukabumi sejak berdirinya memang telah banyak menyimpan berbagai cerita, entah dengan nuansa masa lalu masa kini, kesejarahan, folklore, hingga cerita remeh temeh lainnya. Tidak berlebihan meskipun dengan gagasan yang hiperbolik jika istilah “Kota Kecil Sejuta Cerita” ini disematkan kepada Sukabumi. Pengungkapan secara hiperbolik atau meminjam istilah kelompok milenial sebagai ungkapan lebay dan alay tentang Sukabumi sudah semestinya dirawat, agar cerita-cerita yang membersamai Sukabumi selama ini tidak lekang oleh waktu apalagi sampai dilupakan oleh orang-orang Sukabumi sendiri.

Selain memiliki nuansa hiperbolik, ungkapan “Kota Sukabumi Sejuta Cerita” –dari segi bahasa- tampak memperlihatkan tiga gaya bahasa lainnya, metafora, paradoks, dan antitesis. Orang Sukabumi sangat wajar bermetafora untuk menyebut kotanya dengan berbagai istilah, ungkapan, dan sebutan. Bahasa dengan gaya metafora biasanya sering muncul dari lubuk hati manusia karena diawali oleh perasaan cinta. Bahasa metafora lain yang telah menjadi cerita bersama di Kota Sukabumi yaitu kulkas gede, hal tersebut karena cuaca sejuk di kota ini. Muslikh Abdussyukur, misalnya, mengungkapkan Kota Sukabumi dalam lirik lagu Sukabumi Melangkah Pasti: Sukabumi Kota Indah dan Asri//Sejuk nyaman untuk segarkan diri.

Kisah perjalanan Kota Sukabumi dari masa ke masa telah banyak diungkapkan oleh beberapa penulis. Dua dekade lalu, beberapa teman saya berkunjung ke Kota Sukabumi. Bagi mereka, kesan pertama yang membekas dari Sukabumi yaitu suasana dingin kota ini. Orang-orang dari peradaban urban dua dekade lalu itu merasa heran saat melihat Sukabumi diselimuti oleh kabut tebal di pagi hari. Pemandangan yang hanya akan dijumpai di dataran tinggi, begitu mungkin pikir mereka. Memang banyak juga di antara kita yang terjebak terhadap penafasiran Sukabumi dengan definisi tempat untuk bumen-bumen (jalan-jalan). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh salah satu fase sejarah Sukabumi dijadikan tempat “pelesiran” oleh warga peranakan Belanda. Tentu saja penerjemahan “tempat bumen-bumen” bagi sebuah kota tidak terlalu mengundang nyali untuk dijadikan topik kajian.

Hal paradoks yang terdapat pada ungkapan “Kota Kecil Sejuta Cerita” yaitu meskipun kecil namun mengandung banyak kisah. Sampai penghujung tahun 1990-an, kita tentu masih mengingat dengan baik meskipun kota ini begitu kecil namun beberapa gedung bioskop dan pusat-pusat kuliner berdiri di setiap sudut kota. Urat nadi kota ini dapat dikatakan sebagai pusat hiburan dan perekonomian saat itu. Genre-genre hiburan dapat dengan mudah dijumpai, hanya dengan bermodalkan uang lima ribu (goceng) siapa saja bisa menikmati suasana Sukabumi. Dengan tanpa mengendarai kendaran bermotor juga, dari satu gedung bioskop ke gedung lainnya dapat ditempuh hanya berjalan kaki. Sejak tahun 1960-an, Jalan Raya sebutan untuk Jalan Ahmad Yani merupakan ruang publik keramaian, transaksi, dan kesepakatan. Tiga dampak sebagai pusat kota memang akan sulit diurai sampai kapanpun.

Paradoks yang terjadi di Kota Sukabumi antara kecilnya sebuah fisik dengan nilai-nilai yang membersamainya secara kualitatif telah menjadi pemantik kemunculan cerita dan kisah tentang Sukabumi.Generasi Y dan Z memang perlu mendapatkan informasi masa lalu Sukabumi dari generasi X. Tetapi generasi millenial ini juga telah membuat dan memilih cerita mereka masing-masing. Mereka, generasi yang telah mengenal gawai yang terkonekasi internet, memiliki penafsiran baru, cara pandang yang lebih segar, dan etika kehidupan sosial baru Sukabumian. Tidak heran, jika pada satu saat nanti, cerita dan kisah tentang Sukabumi akan semakin kaya dengan varian penuturan.

Kota dan Cerita

Kelahiran kota-kota di dunia ini selalu diawali oleh kisah yang menyertainya. Kenapa sebuah kota dilahirkan, dibangun, dan diciptakondisikan? Kota Roma dibangun bersama cerita Remus dan Romulus. Yerussalem dibangun bersama kisa-kisah profetik yang menyertainya, Armstrong menyebut Yerussalem dengan “Satu Kota Tiga Iman”. Hal tersebut disebabkan oleh alasan tiga agama di dunia (Yahudi, Kristen, dan Islam) terkoneksi dengan kisah-kisah di Yerussalem. Sebuah dataran rendah berada di bawah perbukitan Haran atau Bakkah akan tetap gersang dari dulu sampai sekarang jika masyarakat di sana tidak membingkai kotanya dengan kisah Quranik. Sampai sekarang, dataran rendah tersebut dikenal dengan sebutan Mekah (Makkatul Muharromah).

Lalu bagaimana kita sebagai orang Sukabumi harus membingkai dan menghiasi kota dengan cerita dan kisah yang menyertainya? Pertama, menggali, menuturkan, dan mebahasakan kembali cerita-cerita tentang Sukabumi sudah seharunya dimulai oleh orang-orang yang telah mengalami langsung atau bersentuhan dengan cerita-cerita tersebut. Sebagai contoh, kenangan tentang keberadaan gedung pertunjukan dan bioskop di Sukabumi sudah harus dimulai dibahasakan kembali.

Kedua, asal mula penamaan Sukabumi harus ditempatkan dalam kisah-kisah dengan kedalaman filosofis, tidak sekadar bahwa penafsiran Sukabumi cukup pada makna “tempat bumen-bumen”. Walakin, memberikan makna-makna baru untuk kata Sukabumi memang tidak salah selama tidak berbenturan dengan makna leksikal dan idiom lainnya. Misalnya, secara letterlij, kata Sukabumi berasal dari Suka dan Bumi, Senang kepada Bumi, darinya dapat saja muncul makna yang lebih teknis: Kota Sukabumi merupan rumah besar bersama yang enak ditempati.

Ketiga, tidak mudah bagi siapa saja untuk memasuki alam masa lalu sebuah tempat dengan tanpa memasuki kepala orang-orang yang pernah mengalami langsung babak cerita. Meskipun demikian, bukan berarti menghadirkan masa lalu harus bersifat rigid. Kisah rakyat yang tersebar di Sukabumi –jika kita memiliki tekad kuat menginventarisasinya- begitu beragam. Kisah-kisah tersebut bukan sekadar beragam, juga masih sering dikisahkan hingga penghujung tahun 1990-an di masyarakat Sukabumi.

Maka, mau tidak mau, untuk merawat ingatan dan mengembalikan masa lalu Kota Sukabumi, pemerintah bersama masyarakat harus memiliki tekad kuat mengadirkan kisah dan cerita Sukabumian secara utuh, cair, dan mudah dituturkan kembali. Bentuk-bentuk penyebaran kisah dan cerita Sukabumi dapat melalui berabagai media baik cetakan atau digital.

Sebagai contoh, pada masa kepemimpinan M. Muraz, sebuah buku yang ditulis oleh Fajar Laksana dicetak dan dikirimkan ke sekolah-sekolah. Meskipun pada acara Dialog Seni dan Budaya pada tahun 2017, buku Sasakala Prabu Siliwangi - Searah Islamisasi Prabu Siliwangi saya rekomendasikan sebagai buku bergenre sastra bukan sejarah, paling tidak telah ada keinginan dari pemerintah kota saat itu untuk menyebarluaskan cerita lokalitas kepada khalayak.

Memang tidak hanya harus sampai di sana. Babak-babak cerita dan kisah Kota Sukabumi harus terus dielaborasi oleh semua pihak untuk mewujudkan kerangka besar cerita Kota Sukabumi. Kota-kota di berbagai penjuru dunia menjadi besar bukan hanya disebabkan oleh anggaran penopang infrastrukturnya, juga ditentukan oleh desain cerita yang mampu mengubah arah pandang masyarakat dalam membangun kotanya sesuai dengan cita-cita bersama.

Hari jadi ke-107 Kota Sukabumi, di masa kepemimpinan Fahmi dan Andri bersamaan dengan pemulihan berbagai fitur kehidupan dari pandemi Covid-19. Bagaimana juga, pandemi global telah menjadi babak baru kisah dan cerita di Kota Sukabumi di samping kisah dan cerita lain yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah bersama masyarakat. Sesuai dengan tema Hari Jadi ke 107 Kota Sukabumi Mewujudkan Semangat Kebersamaan Untuk Bangkit dari Pandemi Covid-19 Menuju Kota Sukabumi Religius, Nyaman, Dan Sejahtera, harus menjadi awalan baru bagi kita dalam merancang dan menyusun kembali serpihan kisah dan cerita Sukabumian.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Kota Kecil Sejuta Cerita"