Lemuria dan Sundaland: Wacana Romantisme Nusantara


Intisari

Selama dua dekade ini, sebagian orang Sunda masih memendam pemikiran romantisme tentang peradaban masa lalu yang pernah berlangsung di wilayah Nusantara. Meskipun catatan arkeologis mengenai peradaban besar di wilayah kepulauan ini baru dalam bentuk penemuan fosil, namun informasi dalam bentuk asumsi terus berkembang hingga sekarang. Bahkan beberapa tahun lalu, Profesor Santos dari Brasil mengungkapkan keberadaan negeri tersembunyi berperadaban sangat maju di masa lalu bernama Atalan, Atlantis, atau Sundaland. Secara geografis dan astronomis –patut diduga - Sundaland terletak di Nusantara.

Validitas asumsi sebanding dengan opini yang berkembang, dapat berubah menjadi kebenaran versi umum. Tetapi tanpa penelitian yang sahih, kebenaran yang dipandang umum tetap saja harus terus dibenahi. Meskipun dalam praktiknya asumsi sering dibahasakan seolah sebagai sebuah kebenaran, pada perkembangkan berikutnya menjadi bingkai romantisme, sebagai manusia Sunda yang mendahulukan sikap “asak sasar”, informasi kebaikan apapun harus tetap diuji validitasnya.

Peradaban Nusantara merupakan peradaban besar, hasil kontemplasi para leluhur di Nusantara adalah sebuah premis mayor. Fakta-fakta yang dapat membawa kita kepada validitas tentang kejayaan Nusantara dapat disebutkan satu persatu. Pertama, penggunaan kepelbagaian bahasa dan aksen (lentong), telah berlangsung di Nusantara sejak puluhan ribu tahun lalu.

Penggunaan ribuan gramatika bahasa dari berbagai daerah, karena bahasa merupakan salah satu unsur penting kebudayaan, menjadi satu pertanda peradaban yang dibangun oleh leluhur Nusantara bukan peradaban lokal semata. Sebuah wilayah kosmopolit dengan beragam jenis bahasa dihasilkan melalui proses panjang mulai dari pelafalan kata per kata, kalibrasi susunan atau suku kata dengan kondisi alam dan sosial, sampai proses sebuah bahasa diterima oleh khalayak.

Kedua, kepelbagaian kesenian di satu wilayah yang cukup luas, apalagi berbentuk kepulauan, dapat menjadi indikator begitu luasnya jangkauan komunikasi yang dibangun antar pulau dan komunitas oleh leluhur Nusantara. Koordinasi dan komunikasi sebagai ciri utama manusia berperadaban hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki komitmen menjaga kemapanan. Kesenian benar-benar dilahirkan dari rahim keheningan, melahirkan semangat sakral, hingga ritual keseharian. Nusantara masa lalu dapat dikatakan sebagai ruang festival peradaban paling luas di belantara dunia.

Kita sering menafsirkan beberapa tarian adat secara keliru. Misalnya, tarian perang yang ditampilkan oleh suku-suku pedalaman di Indonesia oleh para sosiolog dan antropolog sering ditafsirkan berasal dari kebiasaan perang antar suku. Padahal, secara morfologi ras dan suku, sangat tidak mungkin orang-orang Nusantara mengembangkan tradisi perang jika bukan berburu binatang.

Dari berbagai teori sosial, perang dan pertentangan klan di berbagai wilayah dilatarbelakangi oleh kekurangan sumber daya alam. Perang dilakukan oleh klan-klan yang kurang memiliki potensi alam, kemudian merampasnya dari daerah yang melimpah dengan sumber daya alam. Bagi klan-klan tertentu, perang merupakan cara paling mudah mengambil harta dan sumber daya alam. Tradisi perang tentu saja sulit diterima oleh masyarakat agraris seperti di Nusantara ini.

Ketiga, peninggalan arkeologis berupa fosil leluhur Nusantara telah ditemukan oleh sarjana-sarjana Eropa menjadi fakta sejarah keberadaan kehidupan di masa lalu. Pola penyebaran penemuan fosil-fosil tersebut bersifat linear, artinya peradaban yang dikembangkan oleh leluhur Nusantara telah terpola dan terstruktur dengan baik. Meskipun fosil manusia purba ini tidak ditemui di setiap pelosok Nusantara, paling tidak penelitian di Pulau Jawa pada penghujung abad ke-19 dapat menjadi sampel yang cukup untuk dijadikan bahan kesimpulan. Lemuria

Sebagian orang Sunda yang telah menerima informasi Lemuria meyakini wilayah Sunda sebelum mewujud seperti sekarang pernah menjadi pusat peradaban masa lalu bernama Lemuria. Hubungan organik antara karakter manusia Sunda modern dengan cerita romantis seperti ini memang mampu menyadarkan orang Sunda dari tidur lelapnya, pengabaian terhadap tradisi masa lalu.

Walakin, pada kubu ekstrim, bukan hanya menyadarkan, namun telah memabukkan orang Sunda sendiri hingga berbangga ria terhadap hal yang harus diteliti kembali secara komprehensif. Tidak sedikit orang Sunda terjebak untuk membangun kembali peradaban masa lalu tanpa mengenal dengan baik sistem sosial yang diterapkan di masa lalu itu. Kasus pendirian Kerajaan Sunda Empire beberapa waktu lalu merupakan buah pahit romantisme kaku dalam memandang masa lalu yang harus dihadirkan di masa kini.

Sebagian pihak, dan ini dialami oleh orang-orang Sunda lebih mendahulukan emosi primordial berlatar ras dan etnis. Mereka tenggelam dalam pemikiran bahwa Sunda tidak sekadar etnis melainkan sebuah wilayah yang cakupannya meliputi Paparan Sunda Besar dan Sunda Kecil. Meskipun pemikiran ini tampak lebih luas, tetapi pada praktiknya masih berkubang dalam corak lokalitas dan etnisitas yang rigid.

Penjenamaan atau branding Sunda Besar dan Kecil disematkan di dalam peta tentu saja dilakukan belakangan jika dibandingkan dengan keberadaan wilayah Sunda sendiri pada 20.000 tahun lalu setelah zaman es. Dalam riwayat Giglamesh, sebuah epik bangsa Akkadia disebutkan kondisi permukaan Bumi mengalami perubahan secara signifikan di era banjir besar. Peristiwa banjir besar yang dalam tradisi Semit terjadi pada era Nuh (Noah) telah memisahkan kontinten-kontinen atau daratan menjadi pulau-pulau.

Ada juga orang Sunda yang mengaitkan kata Lemuria dengan kata Lembur atau perkampungan dalam bahasa Sunda. Padahal kedua kata ini memiliki arti yang berbeda. Lemuria berarti daratan yang hilang, kata ini berasal dari Lemur (Latin) bermakna hantu atau arwah. Teori dataran yang hilang dicetuskan pada pertengahan abad ke 17 di Inggris di masa perkembangan ilmu pengetahuan tumbuh-tumbuhan yang selanjutnya berkembang menjadi Ilmu Hayat atau Biologi.

Sementara itu, kata lembur lebih condong memiliki arti paruh waktu atau waktu luang. Masyarakat kampung merupakan orang-orang lebih memiliki waktu luang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan masyarakat urban. Telah sejak lama komunitas orang kampung disebut dengan julukan orang Lembur. Seiring perubahan kata, kata lembur di masyarakat Sunda mengalami peyorasi, orang lembur identik dengan masyarakat yang belum tersentuh kemajuan, ketinggalan zaman, atau kampungan.

Letak pasti daratan yang hilang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Kelompok pertama memberikan asumsi Lemuria terletak di Samudera Hindia berada di Selatan Indonesia. Pandangan kedua menyebutkan letak daratan yang hilang ini berada di sebelah selatan India. Bagi wilayah-wilayah asumtif Lemuria, ini menjadi faktor utama pemicu romantisme, sikap mengenang kejayaan masa lalu. Memang mengherankan, meskipun dipicu oleh era keemasan zaman dulu, namun terjadi kontradiksi dengan hal yang sebenarnya sedang terjadi dan dialami oleh wilayah-wilayah romantik. Wilayah dengan asumsi era keemasan di masa lalu sebabagi negara penyandang julukan dunia ketiga di masa sekarang.

Sundaland dan Atlantis

Tiga dekade lalu, orang-orang Sunda tidak mengenal kata Sundaland sama sekali. Baru satu setengah dekade belakangan kata ini sering diujarkan oleh beberapa pihak dan komunitas pecinta budaya. Penuturan kata ini pun sudah mulai jarang dibahasakan kembali akhir-akhir ini sebagai imbas yang kuat dari peradaban infotek yang lebih mutakhir.

Pandangan orang-orang Sunda merujuk kepada karya Santos seolah sekadar pelipur lara tanpa diimbangi dengan penelitian mendalam dan serius oleh para sarjana humaniora. Katakan saja apa yang ditulis oleh Santos merupakan sebuah hipotesis atau jawaban terhadap teori Lemuria abad ke 17, maka sangat wajar jawaban sementara ini seharusnya dijadikan dasar dan latar belakang penelitian ilmiah.

Saat ini, kata Sundaland telah mulai dilupakan bukan karena orang-orang Sunda sudah lupa sama sekali. Sekecil apapun wacana yang berkembang memang harus terus dibahasakan kembali dan disertai penelitian mendalam. Sudah dipastikan, bagi negara-negara dunia ketiga, donasi dan sponsor penelitian ini masih kurang mendapatkan sokongan dari rantai kehidupan, begitupun dari pemerintah.

Kesaktian Versi Kriptonia

Lemuria dan Sundaland diisi oleh orang-orang sakti, mungkin sesakti manusia super berasal dari planet Krypton bernama Superman. Berbagai tulisan menyebutkan kehebatan orang-orang Lemuria, mereka memiliki portal teleportasi, senjata-senjata laser bermuatan listrik alami seperti penampakan pedang yang digunakan dalam film He-Man. Wacana ini tentu saja berseberangan dengan mitologi-mitologi yang berkembang di wilayah Nusantara. Kesaktian tokoh-tokoh mitos di Nusantara lebih tampak membumi jika dibandingkan dengan tokoh mitologi dari Yunani, Zeus misalnya memiliki senjata yang mampu menghasilkan petir.

Tokoh mitologi Sunda antara kesaktian dan potensi yang dimilikinya lebih dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan alam. Ilmu kanuragan digunakan oleh para tokoh mitologi untuk membangun gunung, danau, telaga, sungai, hingga menanam pohon yang mampu menjangkau bulan. Bidadari (Wedadari) merupakan penampakan perempuan cantik yang turun dari kayangan tanpa dilengkapi oleh senjata, bandingkan dengan Freyja, dewi penguasa akhirat bangsa Nordik yang dibekali dengan cambuk.

Sekarang, orang Nusantara sedang berada di persimpangan dan persinggungan zaman. Masyarakat di belahan dunia lain, sebut saja Barat, sedang memegang kendali peradaban teknomania ketika orang-orang Nusantara larut dalam perdebatan, percekcokan, dan wacana-wacana seputar politik. Menghidupkan kembali romantisme masa lalu bukan cara terbaik membangun kejayaan bangsa, melainkan harus dibarengi penerapan nalar sehat seperti telah dilakukan oleh tokoh-tokoh mitologi Nusantara.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Lemuria dan Sundaland: Wacana Romantisme Nusantara"