Sumber Gambar: Tempo.co
Seminggu lalu saya mendapat kiriman foto dua orang warga Swedia sedang membakar sesuatu. Tak lama berselang, sejumlah media massa mengabarkan seorang warga Swedia sedang membakar Al-Quran di depan temannya yang menyaksikan dengan rona dingin membeku.
Saya berpikir sederhana, aneh sekali, di negara Swedia dalam hal ini sebagai bagian dari negara Barat yang sering menggaungkan toleransi dan kebebasan namun kasus-kasus pelecehan terhadap kelompok lain masih saja dilakukan.
Apakah toleransi, sikap membiarkan, dan kebebasan yang selalu digemakan oleh orang-orang Barat ini memang ilusi dan klise semata? Hanya warna-warni untuk menipu orang-orang di negara dunia ketiga yang nyata-nyata telah sepenuhnya memperlihatkan sikap toleran dalam banyak hal.
Orang Barat sering memandang dirinya sebagai “manusia yang telah maju, berperadaban, dan telah menempati tangga evolusi tertinggi” dibandingkan bangsa lain. Sikap superioritas seperti ini dalam kajian psikologi merupakan penyakit mental akut yang dilahirkan dari perkembangan sejarah panjang manusia.
Okelah, dalam beberapa hal mereka memang telah mengalami kemajuan, namun kemajuan bidang-bidang kehidupan lainnya justru ditempati oleh bangsa lain. Pembakaran Al-Quran, kitab yang disucikan oleh umat Islam oleh warga Swedia menunjukkan ketidakjujuran mereka terhadap konsep kemanusiaan yang sering mereka dengungkan hingga memekakan telinga.
Saya memang harus bersikap bijak dalam memandang setiap hal, di samping orang Swedia yang konyol apalagi sebagai seorang politisi, sudah tentu di negara ini masih banyak orang-orang baik dan mengedepankan nuraninya daripada egosentris dan birahi keyakinan serta kekuasaan.
Seperti sebuah pars pro toto, seorang pembakar Al-Quran seolah mewakili mentalitas warga Swedia, ia telah membenamkan pandangan buruk secara stereotip terhadap warga Swedia lainnya. Mungkin saja, sekolah-sekolah terbaik di negara Skandinavia itu belum mampu memberikan pendidikan kejiwaan dengan baik kepada warganya.
Pendidikan yang telah memantik perkembangan informasi dan teknologi di negara-negara Barat telah membawa sejumlah perubahan besar, termasuk dalam hal keyakinan. Warga negara maju, konon telah banyak yang mengonversi keyakinan mereka ke atheisme. Saya tidak terlalu peduli, apakah mereka mau menjadi atheis atau tetap memeluk keyakinan leluhur mereka.
Keyakinan apapun yang dipegang oleh seseorang seharusnya bisa membawa penganutnya menampilkan tindakan kebaikan yang telah disepakati bersama. Hukum-hukum kebaikan merupakan aturan emas dan ini telah disepakati sekalipun oleh manusia paling durjana yang tinggal di planet ini.
Jika sebelumnya para penganut agama modern bernama atheisme sering menuding agama-agama di dunia ini sebagai pemicu konflik dan perang antar sesame, kemudian para atheis ini melakukan tindakan sama. Ya untuk apa mereka harus pindah keyakinan jika berbuat sama dengan kelompok yang ditudingnya.
Berpindah keyakinan kepada apa yang kita pandang paling bersih, benar, dan suci sekalipun sama sekali tidak akan pernah mengubah perilaku jika karakter kita memang tidak baik. Dalam hal ini, mungkin para penganut nativisme ada benarnya juga.
Sebagai seorang muslim, saya tidak akan membalas perlakuan orang-orang yang melecehkan keyakinan yang saya anut secara berlebihan. Segala sesuatu telah sesuai dengan takaran yang disiapkan oleh Allah. Pada akhirnya, siapapun berbuat apapun akan memetik buah dari perbuatannya. Tanpa perlu mengutuk dan mendoakan diazab oleh Allah, sebetulnya si pembakar Al-Quran memang telah mengutuk dan mengazab dirinya sendiri dengan menempatkan pikirannya berada di bawah birahi kelompok dan keyakinannya.
Posting Komentar untuk "Al-Quran Kok Dibakar?"