Dua tokoh antagonis termaktub di dalam Al-Quran, bahkan Firaun dan Haman disebut secara berulang di dalam beberapa ayat Madaniyah. Al-Quran memiliki cara unik dalam memaparkan kisah-kisah umat terdahulu, biasanya dinarasikan dalam bahasa dan ungkapan metafora serta bersifat mujmal (umum). Selain pemilihan diksi atau uslub dan tata bahasa yang tepat, penyajian kisah-kisah umat dan manusia terdahulu di dalam Al-Quran juga memiliki pesan moral yang harus didalami oleh manusia dari setiap generasi.
Keumuman lafadz di dalam Al-Quran seperti pada penggunaan kata Firaun kepada seorang raja yang memerangi Musa memang lumrah terjadi dan sesuai dengan kondisi sosial saat Al-Quran diturunkan. Kendati Firaun atau Pharaoh ini merupakan gelar dan titel yang disematkan kepada para raja Mesir Kuno, namun tiga keyakinan mayor (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebetulnya menunjuk pada salah satu sosok yaitu Ramses II.
Kita benar-benar tidak akan pernah mengetahui secara persis dan pasti mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Buku sejarah dan kitab suci tidak membahas setiap peristiwa secara rinci dan mendetail hingga pada aspek kejiwaan, mental, psiko sosial, dan anasir lain yang mempengaruhi kondisi kehidupan saat peristiwa terjadi.
Tidak jauh berbeda dengan buku-buku sejarah modern, hanya merangkai peristiwa-peristiwa yang tercatat dan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan sosial. Misalnya, kisah hidup seorang nabi dan rasul saja tidak mungkin dapat direkam selama ia hidup. Seperti halnya kisah antara Musa (Moses) dan Ramses II (Ramoses) hanya terekam beberapa halaman, padahal mereka hidup selama puluhan tahun.
Tradisi dan keyakinan lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu tidak memasukkan kisah-kisah Semit ke dalam kitab mereka mengingat tidak ada pertalian historis antara tradisi mereka di Timur dengan tradisi Semit di Mesopotamia dan Afrika Barat. Mereka, bangsa Timur juga memiliki kisah-kisah lain bahkan relatif lebih kompleks dan sangat dramatis. Begitu juga dengan bangsa-bangsa Eropa, sebelum Kekaisaran Romawi mengkonversi keyakinan mereka dari polytheism kepada Kristen, kisah-kisah semit sama sekali tidak pernah dikenal. Masing-masing wilayah memiliki format tersendiri dalam menuturkan kisah leluhurnya.
Bangsa Arab pra-Islam tidak pernah mengenal kisah dari tradisi semit. Mereka memiliki kisah-kisah keadiluhungan leluhurnya sendiri, misalnya tentang peristiwa Pasukan Gajah yang diluluhlantakkan oleh pasukan Arab. Itulah mengapa, mereka menggelar bazar di Ukaz setiap tahun sebagai ajang penampilan kreativitas berbagai unsur kehidupan dari mulai seni, sastra, hingga ekonomi. Syair-syair yang dibacakan dalam genre puisi juga memiliki konten keadiluhungan leluhur mereka saat berperang dengan klan lainnya. Bangsa Arab Kuno (Jahiliyah) tidak akan pernah merasa bangga dengan kisah dari bangsa lain, entah karena ketidaktahuan atau karakter kebangsaan mereka yang ashobiyah.
Sosok Firaun dan Haman baru dikenal oleh masyarakat Arab, terutama muslim, saat mereka mulai berinteraksi dengan klan di luar diri mereka dan Rasulullah menerima ayat-ayat tentang kisah-kisah mereka seperti pada Surat Al-Qashash yang diturunkan di Mekah. Al-Quran memiliki cara tersendiri dalam mengikis keangkuhan kebangsaan masyarakat Arab Kuno melalui kisah dari bangsa lain karena spektrum Al-Quran memang memiliki sasaran yang lebih jauh dari sekadar mengagungkan ras dan klan. Al-Quran sejak semula telah menawarkan cara-cara yang lebih manusiawi dalam menata kehidupan. Karena begitu jelas termaktub di dalam Al-Quran pesan moral: manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal.
Sisi baik Al-Quran lainnya, menarasikan kisah-kisah bangsa lain sebagai salah satu cara untuk memberikan contoh etika komunikasi kepada masyarakat Arab agar mereka tidak tersakiti secara langsung oleh Al-Quran. Kita dapat saja berpikir: mau sakit hati atau tidak, ayat-ayat di dalam Al-Quran tetap terus diwahyukan. Tidak demikian, Rasulullah tidak sesederhana dalam membangun komunikasi, atas alasan inilah, ia lebih banyak mengalah dan menerima perlakukan tidak baik dari orang-orang Quraisy saat itu.
Hal lainnya, kisah-kisah bangsa lain seperti kisah para nabi dari klan Yahudi, Firaun dari Mesir, Haman dari wilayah terpencil Babilonia merupakan ciri dan karakter utama Al-Quran yang menawarkan kompromi kebaikan kepada dua penganut keyakinan serumpun; Yahudi dan Kristen. Jika saja, saat eksodus (hijrah) pertama para sahabat ke Abisinia (Ethiopia), mereka tidak menarasikan kisah Maryam dan Isa, sang raja bernama Negus akan lebih menaruh kepercayaan kepada Amru Bin Ash sebagai delegasi kaum Quraisy untuk mendeportasi para sahabat yang diklaim sebagai penjahat yang lari dari kampung halamannya.
Narasi yang tepat di dalam Al-Quran tentang Maryam dan Isa justru telah menarik perhatian Negus (Najasyi) kemudian lebih memihak kepada para sahabat karena sikap hormat mereka kepada Maryam dan Isa, dua sosok sentral dalam Kristen, agama yang dianut oleh Negus saat itu. Argumentasi para sahabat dengan menuturkan ulang ayat-ayat Al-Quran menjadi pelajaran penting bagi kita mengenai cara mengkomunikasikan wahyu Tuhan kepada manusia yang berbeda keyakinan namun memiliki persamaan persepsi dalam memandang Maryam dan Isa.
Ayat-ayat mengenai kisah Musa dan Firaun semakin intensif diwahyukan saat Rasulullah bersama sahabat berada di Yatsrib atau Madinah. Penuturan kisah dua tokoh sentral ini sebagai cara komunikasi efektif dengan tiga klan Yahudi yang telah terlebih dulu berdomisili di Madinah. Islam sedari awal telah menawarkan sikap kompromi positif dalam mengurai jejak kisah yang serumpun. Dan tentu saja tidak pernah memperdulikan apakah klan Yahudi Nadhir, Qainuqa, dan Quraizhah akan mengonversi keyakinan mereka kepada Islam atau tidak.
Pada dasarnya, Al-Quran menghormati tradisi setiap klan, bangsa, dan suku-suku. Penyajian kisah Ramses II sebagai raja lalim memiliki persepsi yang sama dengan kitab suci dan tradisi Yahudi. Padahal tidak semua Firaun memiliki sikap lalim, misalnya Akhenaten adalah seorang Firaun yang mengajak rakyatnya untuk menghamba pada satu kekuatan (monoteis).
Pemberontakan klan Yahudi di Madinah justru dipicu oleh eksistensi politis kaum hipokrit Abdullah ibn Ubay. Di saat Al-Quran menuturkan kisah serupa tentang Ramses II dan Musa, Ibn Ubay justru melakukan tindakan provokatif dan menghasut orang-orang Yahudi: bahwa Muhammad dan pengikutnya telah melakukan plagiasi kisah leluhur Yahudi dan menjadikan kisah-kisah tersebut sebagai wahyu.
Para Rabbi Yahudi, berdasarkan rekam jejak sejarah, memang mudah menerima informasi manipulatif, atas dasar inilah, klan-klan Yahudi memberontak dan harus terusir dari Madinah, tempat yang semula mereka asumsikan sebagai tanah perjanjian sebelum muncul isu tanah perjanjian versi The Protocols of the Elders of Zion di era modern.
Kisah Firaun dan Musa juga telah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan dari waktu ke waktu berbanding lurus dengan perkembangan jumlah penganut tiga agama Mayor di dunia. Sigmund Freud pun harus membukukan kisah Ramses dan Moses dalam buku Moses dan Monoteisme: Musa dalam Sudut Pandang Psikoanalisis. Kekejaman dan eksodus Musa bersama pengikutnya juga telah menginspirasi para sineas Hollywood. Mereka menyajikan kisah ini dalam film The Ten Commandments (sepuluh perintah Tuhan). Dalam hal ini, ketiga agama mayor memiliki persepsi yang sama terhadap Ramses sebagai penguasa lalim.
Pandangan serupa juga terjadi di dalam Yahudi, Kristen, dan Islam terhadap Haman. Tokoh ini sering disandingkan dengan Ramses II, bahkan beberapa pihak menyebutkan Haman sebagai sekretaris pribadi Ramses II. Kisah Haman dihadirkan di dalam pentateukh karena satu alasan, dia merupakan tokoh sentral yang membenci bangsa Yahudi di Babilonia saat kerajaan ini dipimpin oleh Ahasuerus sekitar tahun 486 SM.
Bangsa Yahudi menempatkan Haman sebagai sosok antagonis karena dia merupakan tokoh di balik intimidasi, penangkapan, penyiksaan, hingga pembantaian orang-orang Yahudi. Rasa sakit hati bangsa Yahudi ini memang lumrah, mengingat Yahudi memiliki andil besar dalam membangun setiap peradaban mulai dari pendirian Piramid Mesir, Menara Babel, Taman Gantung Babilonia, dan bangunan lainnya. Namun mereka harus mendapatkan perlakuan sebagai kaum pesakitan dari induk semangnya hanya karena hasutan. Satu alasan mendasar, kenapa kaum illuminati mempertahankan simbol-simbol kuno dari Mesir dan Babel karena simbol-simbol ini memang diciptakan oleh bangsa Yahudi.
Penyebutan Firaun dan Haman juga menjadi lebih trendi saat memasuki wilayah politik. Penguasa atau Presiden yang tidak sejalan dengan keinginan politik satu kelompok sering diidentikkan mirip dengan Firaun. Perbandingan yang kurang fair mengingat Firaun secara politis justru telah berhasil membawa Meses sampai di puncak peradaban. Penyebutan ini terjadi mengingat sosok Firaun telah menjadi musuh bersama 3 agama mayor. Bahkan, Firaun dapat saja disejajarkan dengan setan yang memiliki wujud dan kasat mata.
Sumber Gambar: Stockphoto
Keumuman lafadz di dalam Al-Quran seperti pada penggunaan kata Firaun kepada seorang raja yang memerangi Musa memang lumrah terjadi dan sesuai dengan kondisi sosial saat Al-Quran diturunkan. Kendati Firaun atau Pharaoh ini merupakan gelar dan titel yang disematkan kepada para raja Mesir Kuno, namun tiga keyakinan mayor (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebetulnya menunjuk pada salah satu sosok yaitu Ramses II.
Kita benar-benar tidak akan pernah mengetahui secara persis dan pasti mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Buku sejarah dan kitab suci tidak membahas setiap peristiwa secara rinci dan mendetail hingga pada aspek kejiwaan, mental, psiko sosial, dan anasir lain yang mempengaruhi kondisi kehidupan saat peristiwa terjadi.
Tidak jauh berbeda dengan buku-buku sejarah modern, hanya merangkai peristiwa-peristiwa yang tercatat dan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan sosial. Misalnya, kisah hidup seorang nabi dan rasul saja tidak mungkin dapat direkam selama ia hidup. Seperti halnya kisah antara Musa (Moses) dan Ramses II (Ramoses) hanya terekam beberapa halaman, padahal mereka hidup selama puluhan tahun.
Tradisi dan keyakinan lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu tidak memasukkan kisah-kisah Semit ke dalam kitab mereka mengingat tidak ada pertalian historis antara tradisi mereka di Timur dengan tradisi Semit di Mesopotamia dan Afrika Barat. Mereka, bangsa Timur juga memiliki kisah-kisah lain bahkan relatif lebih kompleks dan sangat dramatis. Begitu juga dengan bangsa-bangsa Eropa, sebelum Kekaisaran Romawi mengkonversi keyakinan mereka dari polytheism kepada Kristen, kisah-kisah semit sama sekali tidak pernah dikenal. Masing-masing wilayah memiliki format tersendiri dalam menuturkan kisah leluhurnya.
Bangsa Arab pra-Islam tidak pernah mengenal kisah dari tradisi semit. Mereka memiliki kisah-kisah keadiluhungan leluhurnya sendiri, misalnya tentang peristiwa Pasukan Gajah yang diluluhlantakkan oleh pasukan Arab. Itulah mengapa, mereka menggelar bazar di Ukaz setiap tahun sebagai ajang penampilan kreativitas berbagai unsur kehidupan dari mulai seni, sastra, hingga ekonomi. Syair-syair yang dibacakan dalam genre puisi juga memiliki konten keadiluhungan leluhur mereka saat berperang dengan klan lainnya. Bangsa Arab Kuno (Jahiliyah) tidak akan pernah merasa bangga dengan kisah dari bangsa lain, entah karena ketidaktahuan atau karakter kebangsaan mereka yang ashobiyah.
Sosok Firaun dan Haman baru dikenal oleh masyarakat Arab, terutama muslim, saat mereka mulai berinteraksi dengan klan di luar diri mereka dan Rasulullah menerima ayat-ayat tentang kisah-kisah mereka seperti pada Surat Al-Qashash yang diturunkan di Mekah. Al-Quran memiliki cara tersendiri dalam mengikis keangkuhan kebangsaan masyarakat Arab Kuno melalui kisah dari bangsa lain karena spektrum Al-Quran memang memiliki sasaran yang lebih jauh dari sekadar mengagungkan ras dan klan. Al-Quran sejak semula telah menawarkan cara-cara yang lebih manusiawi dalam menata kehidupan. Karena begitu jelas termaktub di dalam Al-Quran pesan moral: manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal.
Sisi baik Al-Quran lainnya, menarasikan kisah-kisah bangsa lain sebagai salah satu cara untuk memberikan contoh etika komunikasi kepada masyarakat Arab agar mereka tidak tersakiti secara langsung oleh Al-Quran. Kita dapat saja berpikir: mau sakit hati atau tidak, ayat-ayat di dalam Al-Quran tetap terus diwahyukan. Tidak demikian, Rasulullah tidak sesederhana dalam membangun komunikasi, atas alasan inilah, ia lebih banyak mengalah dan menerima perlakukan tidak baik dari orang-orang Quraisy saat itu.
Hal lainnya, kisah-kisah bangsa lain seperti kisah para nabi dari klan Yahudi, Firaun dari Mesir, Haman dari wilayah terpencil Babilonia merupakan ciri dan karakter utama Al-Quran yang menawarkan kompromi kebaikan kepada dua penganut keyakinan serumpun; Yahudi dan Kristen. Jika saja, saat eksodus (hijrah) pertama para sahabat ke Abisinia (Ethiopia), mereka tidak menarasikan kisah Maryam dan Isa, sang raja bernama Negus akan lebih menaruh kepercayaan kepada Amru Bin Ash sebagai delegasi kaum Quraisy untuk mendeportasi para sahabat yang diklaim sebagai penjahat yang lari dari kampung halamannya.
Narasi yang tepat di dalam Al-Quran tentang Maryam dan Isa justru telah menarik perhatian Negus (Najasyi) kemudian lebih memihak kepada para sahabat karena sikap hormat mereka kepada Maryam dan Isa, dua sosok sentral dalam Kristen, agama yang dianut oleh Negus saat itu. Argumentasi para sahabat dengan menuturkan ulang ayat-ayat Al-Quran menjadi pelajaran penting bagi kita mengenai cara mengkomunikasikan wahyu Tuhan kepada manusia yang berbeda keyakinan namun memiliki persamaan persepsi dalam memandang Maryam dan Isa.
Ayat-ayat mengenai kisah Musa dan Firaun semakin intensif diwahyukan saat Rasulullah bersama sahabat berada di Yatsrib atau Madinah. Penuturan kisah dua tokoh sentral ini sebagai cara komunikasi efektif dengan tiga klan Yahudi yang telah terlebih dulu berdomisili di Madinah. Islam sedari awal telah menawarkan sikap kompromi positif dalam mengurai jejak kisah yang serumpun. Dan tentu saja tidak pernah memperdulikan apakah klan Yahudi Nadhir, Qainuqa, dan Quraizhah akan mengonversi keyakinan mereka kepada Islam atau tidak.
Pada dasarnya, Al-Quran menghormati tradisi setiap klan, bangsa, dan suku-suku. Penyajian kisah Ramses II sebagai raja lalim memiliki persepsi yang sama dengan kitab suci dan tradisi Yahudi. Padahal tidak semua Firaun memiliki sikap lalim, misalnya Akhenaten adalah seorang Firaun yang mengajak rakyatnya untuk menghamba pada satu kekuatan (monoteis).
Pemberontakan klan Yahudi di Madinah justru dipicu oleh eksistensi politis kaum hipokrit Abdullah ibn Ubay. Di saat Al-Quran menuturkan kisah serupa tentang Ramses II dan Musa, Ibn Ubay justru melakukan tindakan provokatif dan menghasut orang-orang Yahudi: bahwa Muhammad dan pengikutnya telah melakukan plagiasi kisah leluhur Yahudi dan menjadikan kisah-kisah tersebut sebagai wahyu.
Para Rabbi Yahudi, berdasarkan rekam jejak sejarah, memang mudah menerima informasi manipulatif, atas dasar inilah, klan-klan Yahudi memberontak dan harus terusir dari Madinah, tempat yang semula mereka asumsikan sebagai tanah perjanjian sebelum muncul isu tanah perjanjian versi The Protocols of the Elders of Zion di era modern.
Kisah Firaun dan Musa juga telah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan dari waktu ke waktu berbanding lurus dengan perkembangan jumlah penganut tiga agama Mayor di dunia. Sigmund Freud pun harus membukukan kisah Ramses dan Moses dalam buku Moses dan Monoteisme: Musa dalam Sudut Pandang Psikoanalisis. Kekejaman dan eksodus Musa bersama pengikutnya juga telah menginspirasi para sineas Hollywood. Mereka menyajikan kisah ini dalam film The Ten Commandments (sepuluh perintah Tuhan). Dalam hal ini, ketiga agama mayor memiliki persepsi yang sama terhadap Ramses sebagai penguasa lalim.
Pandangan serupa juga terjadi di dalam Yahudi, Kristen, dan Islam terhadap Haman. Tokoh ini sering disandingkan dengan Ramses II, bahkan beberapa pihak menyebutkan Haman sebagai sekretaris pribadi Ramses II. Kisah Haman dihadirkan di dalam pentateukh karena satu alasan, dia merupakan tokoh sentral yang membenci bangsa Yahudi di Babilonia saat kerajaan ini dipimpin oleh Ahasuerus sekitar tahun 486 SM.
Bangsa Yahudi menempatkan Haman sebagai sosok antagonis karena dia merupakan tokoh di balik intimidasi, penangkapan, penyiksaan, hingga pembantaian orang-orang Yahudi. Rasa sakit hati bangsa Yahudi ini memang lumrah, mengingat Yahudi memiliki andil besar dalam membangun setiap peradaban mulai dari pendirian Piramid Mesir, Menara Babel, Taman Gantung Babilonia, dan bangunan lainnya. Namun mereka harus mendapatkan perlakuan sebagai kaum pesakitan dari induk semangnya hanya karena hasutan. Satu alasan mendasar, kenapa kaum illuminati mempertahankan simbol-simbol kuno dari Mesir dan Babel karena simbol-simbol ini memang diciptakan oleh bangsa Yahudi.
Penyebutan Firaun dan Haman juga menjadi lebih trendi saat memasuki wilayah politik. Penguasa atau Presiden yang tidak sejalan dengan keinginan politik satu kelompok sering diidentikkan mirip dengan Firaun. Perbandingan yang kurang fair mengingat Firaun secara politis justru telah berhasil membawa Meses sampai di puncak peradaban. Penyebutan ini terjadi mengingat sosok Firaun telah menjadi musuh bersama 3 agama mayor. Bahkan, Firaun dapat saja disejajarkan dengan setan yang memiliki wujud dan kasat mata.
Sumber Gambar: Stockphoto
Posting Komentar untuk "Firaun dan Haman: Sosok Antagonis dalam Kisah"