Batik “Reugeug”: Sebuah Eksplorasi Makna dan Identitas Kota Sukabumi



Pencarian identitas khas Kota Sukabumi dapat ditempuh melalui berbagai cara. Selain melalui penelitian mendalam tentang sejarah dan akar historis, identitas khas sebuah kota dapat dimunculkan melalui penggalian salah satu entitas budaya, misalnya melalui seni.

Beberapa waktu lalu, Dewan Kerajinan Daerah (Dekranasda) Kota Sukabumi telah menyelenggarakan lomba desain batik dengan tajuk “batik khas Kota Sukabumi”. Dari lomba tersebut telah ditetapkan para juaranya.

Desain batik Reugreug, karya Talitha Tri Deviani, salah seorang siswa SMA Negeri 2 Kota Sukabumi dipilih oleh tim juri sebagai pemenang lomba. Para juri sudah tentu memiliki alasan pemilihan batik Reugreug sebagai pemenang lomba desain batik.

Saya belum melakukan dialog, baik dengan Talitha, juara 1 lomba desain batik atau dengan para juri. Dalam tulisan ini, saya hanya akan mengelaborasi dan menginterpretasikan secara singkat desain batik Reugreug dan hubungannya dengan identitas khas Kota Sukabumi.

Kendati sampai saat ini, warga Kota Sukabumi belum dapat menemukan identitas khas tentang kotanya, walakin sejak tahun 2000-an telah muncul berbagai pandangan dan penyebutan bagi Kota Sukabumi. Kota Mochi, Kota Santri, Kota Polisi, Kota Kecil Sejuta Cerita, dan istilah lainnya sering kita dengar dan dituturkan oleh warga kota. Penuturan istilah-istilah ini dimunculkan agar Kota Sukabumi memiliki keunikan dibandingkan dengan daerah lain.

Selain melalui penuturan dan budaya verbal, beberapa tugu dan monumen juga telah dibangun oleh Pemerintah Kota Sukabumi. Kehadiran tugu dan monumen ini tentu saja menjadi penanda kekhasan Kota Sukabumi. Sebut saja tugu Kusukabumiku, Monumen Pemuda, Gapura Lapang Merdeka, dan Monumen Reugreug Pageuh Répéh Rapih di alun-alun kota menjadi monumen paling tua di antara monumen dan tugu yang telah disebutkan.

Entitas budaya dalam bentuk seni ini telah dicoba dipindahkan-ruangkan ke berbagai media, terutama gambar. Salah satunya, usaha yang telah dilakukan oleh Talitha, memindahkan imaji sebuah bangunan ke dalam karyanya, Batik Reugreug.

Secara harfiah, dan ini pernah saya tulis pada opini beberapa tahun lalu di harian Radar Sukabumi, reugreug adalah suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketenteraman dan ketenangan. Saya contohkan dalam pelafalan bahasa Sunda: geus aya manéh mah, urang jadi reugreug! (Setelah ada kamu, saya jadi tenang!).

Ini berarti, pendesain batik Reugreug memiliki harapan agar kondisi Kota Sukabumi benar-benar tenteram dalam ruang das sein, di alam realita. Sejauh ini, memang jarang sekali terjadi persinggungan dalam skala besar seperti konflik antarras, kelompok, dan golongan di Kota Sukabumi. Konflik dalam skala kecil memang pernah terjadi, biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan dan merasa dirugikan oleh kelompok lainnya.

Pembangunan monumen Reugreug Pageuh Répéh Rapih di masa kepemimpinan H. Zaenudin Mulaebary juga memang didasari oleh alasan kerukunan, keajegan, dan adem tentremnya Kota Sukabumi. Gambar yang dimunculkan pun berupa sepasang tangan sedang menyangga sebuah buku. Artinya, ketenangan dan ketenteraman sebuah kota berbanding lurus dengan pengakuan warganya terhadap pertumbuhan literasi dan penegakkan supremasi hukum.

Talitha juga membubuhkan kujang di atas buku, hal ini menjadi penguat dan perekat ikatan antara masa kini dengan masa lalu Masyarakat Sunda. Meskipun sebagian besar masyarakat Sunda memandang kujang sebagai barang atau pakakas pusaka, fungsi kujang di masa lalu sebenarnya sebuah alat pembersih gulma di lahan pertanian.

Ngahuma dan bercocok tanam adalah jati diri masyarakat Sunda buhun. Di era modern, pangan menjadi salah satu kebutuhan primer dan sangat mendasar. Para karuhun Sunda telah mengajarkan bagaimana cara tepat menghasilkan sumber pangan, salah satunya melalui domestikasi tumbuhan (padi). Merawat dan mempertahankan lahan pertanian merupakan syarat mutlak membangun ketahanan pangan, inilah salah satu hal yang diamanatkan oleh leluhur Sunda di masa lalu.

Desain batik Reugreug juga menampilkan dua entitas penting dalam kehidupan masyarakat Sunda yang agraris; ikan mas dan buah pala. Selain membangun sistem pertanian yang baik, upaya ketahanan pangan perlu mempertahankan kehadiran lingkungan alam yang mendukung kehidupan flora dan fauna satu wilayah. Komoditas menjadi ukuran penting kesejahteraan sebuah kota. Bahkan menjadi hal mutlak dalam pengendalian inflasi dan penguatan daya beli masyarakat.

Secara umum, Batik Reugreug mengajak kita melakukan refleksi dalam melakukan pencarian identitas Kota Sukabumi. Batik ini selaras dengan semangat "Reugreug Pageuh, Répéh Rapih" yang mendambakan kedamaian dan ketenteraman. Nilai-nilai religius dan moralitas yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sukabumi pun terpancar dari imaji batik ini.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Batik “Reugeug”: Sebuah Eksplorasi Makna dan Identitas Kota Sukabumi"