Bertambah usia seharusnya membuat seseorang lebih bijak. Itulah idealnya. Namun, potret diriku mungkin masih terlalu jauh untuk menilai apakah aku telah benar-benar bijaksana. Orang bijak memiliki ciri khas, salah satunya adalah menghadapi hidup dengan bijak, santai, rileks, dan tidak berlebihan.
Hakikat terdalam bertambah usia adalah berkurangnya sisa hidup, begitu kata orang-orang. Namun, ini tidak berlaku bagiku. Di tengah keluasan semesta dan perjalanan panjang ini, manusia bukan hanya sekadar raga yang fana, tetapi juga memiliki jiwa sebagai pancaran dari Yang Abadi.
Dalam kehidupan yang tampak sementara ini, kita sebenarnya hanya melakoni kehidupan yang terus bergulir selama miliaran tahun. Kefanaan dalam hidup hanya memengaruhi tubuh dan alam material saja. Hukum ini berlaku bagi semua: tubuh yang mulai rapuh, menua, dan melemah memberi pertanda agar sang jiwa tidak terlalu melekat pada keduniawian.
Orang berpikir tentang masa depan, bagaimana suatu saat nanti manusia membuat formula tentang keabadian, agar tubuh yang fana dapat dimodifikasi menjadi lebih awet. Di zaman kuno, orang-orang melakukan mumifikasi terhadap jenazah agar mereka tampak awet. Di era modern, mumifikasi dilakukan terhadap manusia hidup melalui berbagai skenario canggih seperti operasi plastik.
Kefanaan tetap saja menghinggapi manusia. Kefanaan adalah syarat mutlak bagi sang jiwa untuk melakukan pengembaraan hingga benar-benar suci dan kembali kepada pemilik-Nya. Penjara material duniawi sering membuat kita lupa dan terjebak pada angan-angan tentang keabadian. Padahal tidak ada yang abadi di dunia ini. Bintang yang telah berusia miliaran tahun saja pada akhirnya mengalami kematian, sepi.
Memang kontradiktif dalam hidup ini: kita bertambah usia sekaligus mengurangi jatah hidup. Kita menghirup oksigen untuk bertahan hidup, namun dari proses oksidasi itu kulit kita semakin mengerut dan menua. Orang sibuk mencari uang, setelah uang didapat, dibelanjakan lagi. Sama halnya dengan seorang penjual nasi goreng, menjual nasi untuk sesuap nasi, nyatanya nasi yang ada dalam bakul pun dijual olehnya.
Jalan tengah dalam menghadapi setiap persoalan dan masalah dalam hidup adalah senantiasa bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh-Nya. Jangan sampai kita terjebak oleh angan-angan dan pikiran yang tidak-tidak. Hakim dan penilai dalam hidup adalah diri kita sendiri. Akui bahwa kita masih ceroboh, akui bahwa kita masih jauh dari kesempurnaan hidup. Hindari diri kita dari mengaku-aku bahwa kebenaran mutlak ada pada diri kita.
Selamat Ulang Tahun untuk Diriku dan Jiwaku yang masih tertatih-tatih menapaki belantara kehidupan.
Hakikat terdalam bertambah usia adalah berkurangnya sisa hidup, begitu kata orang-orang. Namun, ini tidak berlaku bagiku. Di tengah keluasan semesta dan perjalanan panjang ini, manusia bukan hanya sekadar raga yang fana, tetapi juga memiliki jiwa sebagai pancaran dari Yang Abadi.
Dalam kehidupan yang tampak sementara ini, kita sebenarnya hanya melakoni kehidupan yang terus bergulir selama miliaran tahun. Kefanaan dalam hidup hanya memengaruhi tubuh dan alam material saja. Hukum ini berlaku bagi semua: tubuh yang mulai rapuh, menua, dan melemah memberi pertanda agar sang jiwa tidak terlalu melekat pada keduniawian.
Orang berpikir tentang masa depan, bagaimana suatu saat nanti manusia membuat formula tentang keabadian, agar tubuh yang fana dapat dimodifikasi menjadi lebih awet. Di zaman kuno, orang-orang melakukan mumifikasi terhadap jenazah agar mereka tampak awet. Di era modern, mumifikasi dilakukan terhadap manusia hidup melalui berbagai skenario canggih seperti operasi plastik.
Kefanaan tetap saja menghinggapi manusia. Kefanaan adalah syarat mutlak bagi sang jiwa untuk melakukan pengembaraan hingga benar-benar suci dan kembali kepada pemilik-Nya. Penjara material duniawi sering membuat kita lupa dan terjebak pada angan-angan tentang keabadian. Padahal tidak ada yang abadi di dunia ini. Bintang yang telah berusia miliaran tahun saja pada akhirnya mengalami kematian, sepi.
Memang kontradiktif dalam hidup ini: kita bertambah usia sekaligus mengurangi jatah hidup. Kita menghirup oksigen untuk bertahan hidup, namun dari proses oksidasi itu kulit kita semakin mengerut dan menua. Orang sibuk mencari uang, setelah uang didapat, dibelanjakan lagi. Sama halnya dengan seorang penjual nasi goreng, menjual nasi untuk sesuap nasi, nyatanya nasi yang ada dalam bakul pun dijual olehnya.
Jalan tengah dalam menghadapi setiap persoalan dan masalah dalam hidup adalah senantiasa bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh-Nya. Jangan sampai kita terjebak oleh angan-angan dan pikiran yang tidak-tidak. Hakim dan penilai dalam hidup adalah diri kita sendiri. Akui bahwa kita masih ceroboh, akui bahwa kita masih jauh dari kesempurnaan hidup. Hindari diri kita dari mengaku-aku bahwa kebenaran mutlak ada pada diri kita.
Selamat Ulang Tahun untuk Diriku dan Jiwaku yang masih tertatih-tatih menapaki belantara kehidupan.
Posting Komentar untuk "Memaknai Ulang Tahun Diriku"