Tahun 80–90-an, Bumi menjadi planet yang dihuni oleh tiga generasi: generasi silent, baby boomers, generasi X, dan Y. Dua generasi pertama menempati kuadran I, sedangkan dua generasi terakhir menempati kuadran II.
Situasi tersebut membawa pengaruh signifikan terhadap pola atau model sosial seperti struktur, perilaku, atau hubungan tertentu yang secara konsisten terbentuk dalam masyarakat dan menjadi pedoman interaksi sosial antarindividu atau kelompok. Pola ini mencakup aturan, norma, nilai, dan cara bertindak yang diterima secara umum dalam kehidupan sosial.
Pengaruh dua generasi pertama sangat besar terhadap pola dan model sosial. Norma dan nilai masih mencerminkan tradisi yang mengakar dan begitu kuat dalam kehidupan.
Hal ini berlangsung di dunia Timur, termasuk di Sukabumi. Pusat kota, kendati mulai merangkak pada tatanan urban, hanya pada permukaannya saja, karena aktivitas pusat perkotaan pun sebenarnya diramaikan oleh masyarakat rural pedesaan.
Sekolah-sekolah di pusat kota juga rata-rata dipenuhi oleh anak-anak dari kampung dan desa. Penerapan disiplin dan sejumlah aturan yang terkesan normatif ini menjadi ciri khas Kota Sukabumi saat itu.
Guru-guru di era tersebut dapat dikatakan sangat galak dan tegas karena mereka merupakan hasil didikan silent generation yang ketat. Kelompok ini benar-benar merasakan kerasnya kehidupan di masa-masa sulit, masa perjuangan, dan masa revolusi. Semangat yang mereka terapkan kepada anak-anaknya (baby boomers) adalah kerja keras dan sungguh-sungguh.
Internalisasi nilai-nilai tradisional begitu mengakar mengingat model keluarga di masa ini masih menerapkan keluarga inti yang terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-cucu. Generasi X dan Y menerima tempaan dan didikan langsung dari dua generasi tersebut. Mereka berada di persimpangan antara penerapan tradisi dan pengaruh modernitas, salah satunya melalui televisi.
Konvergensi antara tradisi dan modernitas telah menempa generasi X dan Y menjadi generasi "sinis" dan mulai bersikap skeptis terhadap permasalahan sosial. Tak mengherankan, roda reformasi 1998 digerakkan oleh generasi X dan Y.
Kehidupan di Kota Sukabumi saat dihuni oleh empat generasi ini berjalan normal dan wajar-wajar saja. Harga tanah di perkampungan relatif sangat murah dan belum menjadi incaran orang-orang kota. Investasi pada tanah masih belum terpikirkan karena di era swasembada pangan, lahan persawahan menjadi hal penting dalam penyediaan pangan.
Pemikiran masyarakat perkampungan masih berkutat pada: makan tak makan asal ngumpul. Bagi generasi baby boomers, sawah dan ladang mereka dapatkan melalui kerja keras agar dapat menyediakan pangan dengan lebih murah.
Maka, untuk apa lahan atau tanah ini harus mereka jual kembali, apalagi harus ditukar dengan barang hasil teknologi seperti televisi. Bagi mereka, akan terdengar aneh ketika ada orang menjual tanah kemudian membeli beras, televisi, dan baju.
Swasembada pangan ini berdampak pada inflasi yang rendah. Harga kebutuhan sangat murah, dan kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur oleh besarnya rumah dan megahnya gedung, melainkan dari sikap sederhana dalam kehidupan.
Kendati harga kebutuhan terbilang murah, kehadiran generasi silent dan baby boomers ini telah menempatkan kehidupan pada sikap dan cara sederhana serta lebih menghemat sumber energi. Saat makan bersama, dua orang anak bisa berbagi sebutir telur, masing-masing mendapatkan setengahnya.
Model sosial seperti ini memengaruhi pola perkampungan. Masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kampung mereka dan memadukannya dengan hal alamiah. Setiap rumah memiliki halaman yang ditumbuhi oleh pohon kecil hingga tinggi. Suasana perkampungan menjadi lebih asri dan rindang.
Kota besar seperti Jakarta dipandang sebagai kemajuan oleh masyarakat perdesaan. Urbanisasi mengalami puncaknya di tahun 80–90-an dan sering dibahas, bahkan di bangku sekolah juga dijadikan sub-tema dalam materi kependudukan. Perbedaan wajah kota besar dan kota kecil sangat jelas.
Kota besar dengan fenomena kemacetannya tidak pernah dialami oleh kota kecil seperti Sukabumi. Kemacetan yang disebabkan oleh kendaraan baru berlangsung di Kota Sukabumi saat kendaraan diproduksi secara besar-besaran dan cara masyarakat atau konsumen mendapatkannya menjadi lebih longgar melalui berbagai skema cicilan atau kredit.
Orang kampung yang bekerja ke Jakarta, saat pulang kampung entah seminggu sekali atau sebulan sekali, akan menceritakan Jakarta menurut perspektifnya, kadang dilebih-lebihkan. Pertanyaan: "Kamu pernah ke Jakarta tidak?" menjadi trending topik di kalangan anak-anak kampung saat itu. Anak yang pernah ke Jakarta dipandang keren.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 19)"