Bukan karena ada sesuatu yang dirampas, tidak juga karena masa kini dan nilai-nilai modernitas diposisikan telah merampok masa lalu dengan kekentalan niai-nilai tradisionalnya. Ini hanya sebagai penyeimbang dari betapa kuatnya cengkraman –seperti kata Max Weber- Kapitalisme dalam menyudutkan unsur-unsur abstraks dalam kehidupan; ide tentang ketawadhuan.
Tanpa melalui penelitian serius juga, ada bahkan tidak sedikit sesuatu yang telah hilang dalam kehidupan kita sebagai mahluk sosial. Menyalahkan kemajuan dan modernitas sebagai biang keladi hancurnya tatanan nilai dan kepribadian serta jati diri bangsa sama sekali tidak dibenarkan. Sebab, kemajuan gagasan, pandangan, pola pikir, dan cara hidup akan mengubah dan membawa kehidupan kepada keadaan apa yang kita lihat sekarang, serba mudah, instan , dan cepat.
Sifatnya begitu linear, antara kemajuan berpikir dengan kemajuan peradaban. Semakin mekar dan berkembang pola pikir, peradaban manusia akan mengikutinya. Ruang dan waktu memang mejadi sekat dalam hal ini, perubahan dibatasi oleh kapan pola pikir manusia mulai mekar dari kejumudan kepada pencerahan.
Ada deviasi dan pembiasan darinya, ini yang patut dipertanyakan, jika nilai-nilai merupakan energi, maka sesuai dengan hukumnya: energi tidak dapat dimusnahkan namun hanya bisa diubah dari bentuk satu ke bentuk lainnya, maka apakah nilai juga demikian? Mengalami apa yang disebut dengan evolusi? Adakah Evolusi nilai saat rasionalisme mengokohkan dirinya pada pandangan dunia telah bebas dari nilai?
Indra J Piliang pernah menulis kalimat : “ Kembalikan Kampung Halamanku” pada website pribadinya, barangkali disinilah ada kepekaan yang membawa seorang Indra Piliang demikian, ada hal-hal besar yang telah hilang , dipaksa hilang, dan dirampas oleh peradaban baru. Padahal peradaban baru itu merupakan buah ranum dari nilai-nilai yang telah dirampas tadi.
Tempo hari, Saya sering menuliskan kalimat seperti ini: konservatisme berperan dalam menghancurkan kekinian saat liberalisme memiliki peran sentral dalam menghancurkan masa lalu. Ukurannya terhadap nilai. Modernitas adalah buah dari kemajuan berpikir, penyatuan antara unsur-unsur tradisi dengan cara pandang manusia terhadap fenomena sosial tan tantangan yang menjadi muatan kehidupan.
Nietzsche menulis tentang Kematian Tuhan, saat dunia dihinggapi oleh rasa rendah diri ketika mengakui adanya Tuhan, rasa inferioritas ketika mengaku manusia sebagai homo rasionalis sementara pandangan dan segala kebutuhan hidup diserahkan kepada Tuhan. Saat Tuhan dengan nilai-nilai lainnya memang telah dibunuh oleh kerakusan manusia, penyimpangan dari hal mendasar dalam kehidupan: Keimanan!
Yang telah hilang dalam kehidupan kita bukan sebenarnya hilang, kecuali telah diganti oleh nilai lain. Seperti halnya, kita telah mewarisi kromosom kita kepada anak cucu kita. Dalam tubuh kita mengalir darah Adam dan Hawa. Hanya saja, perubahan sosial sama sekali tidak diwariskan secara genetis, dia dihasilkan dari sebuah kreasi pikir, olah rasa, penyajian dari apa yang kita lihat dengan apa yang kita pikirkan.
Karena perubahan ini tidak diwariskan secara genetis, maka kehidupan dari generasi ke generasi akan sering terlihat berbeda, bahkan berseberangan. Lahirlah pertentangan antara konservatisme dengan liberasime, pemuliaan terhadap nilai dengan pemujaan terhadap kebebasan nilai.
Liberasasi pemikiran telah membawa pada perubahan logis. Cara pandang rumit seperti adanya surga, neraka, pahala, dan hal ikhwal peribadatan sama sekali hanya akan menghadang pesatnya kemajuan. Cara pandang harus sederhana serta logis, jika 2+2=4, hasilnya bisa dianalisa dan dibuktikan dengan sederhana. Lantas kenapa kehidupan dipaksa dengan harus hadirnya hal transenden yang tidak terjangkau oleh rasio?
Jika manusia telah mampu memperdaya alam, mengahasilkan kreasi-kreasi baru, kenapa alam harus dihormati laiknya manusia menghormati sesama, toh penghormatan kepada manusia pun harus dieliminasi dengan sikap pragmatis, apa untungnya bagi kita?
Kaum liberalis juga mempertanyakan, apa yang telah hilang dari kehidupan kita? Tidak ada, justru saat ini kehidupan terlihat semakin mudah? Orang tidak perlu lagi bersusah payah berjalan kaki menuju tempat tujuan, sampai kumadang adzan pun bisa disulap dan disimpan ke dalam kaset.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hilangnya nilai-nilai tradisional dalam kehidupan? Aturan-aturan Tuhan harus diselaraskan dengan perkembangan zaman. Barangkali seperti itulah pikiran kaum liberal demi menyikapi kehidupan sekarang.
Di saat yang sama, pandangan kaum liberal tersebut telah menjadi salah satu pemantik bagi kaum konservatif untuk menyerang, menyerobot, dan merebut kembali dominasi dari kaum liberal. Kapitalisasi kehidupan sebagai deviasi dari kekuasaan agama dianggap telah menjadi pemicu semakin runyam dan kehidupan diwarnai dengan aroma Iblis. Dunia yang dirasuki oleh Iblis dan setan adalah musuh, harus diperangi.
Entitas-entitas terkecil dari dunia sekuler, dunia iblis harus dimusnahkan tanpa kecuali. Terbentuklah kelompok yang hidup dalam klandestin-klandestin, pikiran disempitkan dengan memandang orang di luar kelompoknya merupakan musuh abadi, kekuasaan Tuhan harus menjelma dalam bentuk dan cara apa saja.
Hukum, aturan, dan rule of thinking kehidupan harus tektual ilahiyah jika hidup ingin lebih cerah. Mereka memandang bencana kemanusiaan telah merendahkan martabat kemanusiaan, harus diperangi saat mereka pun melakukan hal sama: meledakan bom bunuh diri di hiruk pikuknya keramaian, tanpa merasa bersalah.
Padahal dengan pertimbangan jernih kita dapat mengambil contoh dari Jepang yang telah menyepakati sebuah restorasi. Modernitas bukan sesuatu yang haram saat dipadukan dengan nilai-nilai tradisional- apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka- misalkan semangat samurai.
Tubuh sebuah bangsa harus berdiri pada dua kaki, supaya keajegan bangsa tersebut tidak goyah. Mengangkat satu kaki sama artinya dengan siap untuk jatuh, menyilangkan kaki saat berdiri hanya akan menghasilkan satu kekonyolan dalan cara berdiri. Terlebih jika ke dua kaki tersebut dipertentangan satu sama lain, dipertarungkan mana yang lebih kuat.
Bukankah saat kita berjalan dan melangkah, kedua kaki kita tampak tidak sepemikiran? Kaki kanan ke depan, kaki kiri ke belakang terus berulang silih berganti. Walakin dengan demikian telah menghasilan satu irama, ketika saat diam dan berhenti, kembali mereka mengokohkan tubuh kita. Begitulah seharusnya cara pandang kita.
Idealisme manusia menekuk pada suatu praduga, kita sebagai bangsa Indonesia memang telah merasa dirampas oleh bangsa kita sendiri, juga oleh bangsa lain. Disinilah pentingnya apa yang dikatakan oleh Bung Karno: Menghargai sejarah! Menghargai masa lalu, merawat masa lalu, mengbongkar ingatan.
Tradisional dan modern harus ditempatkan secara terbuka, di sana ada sebuah relativitas, kenisbian, danbtemporer. Saat listrik mati, bukan kah kita masih membutuhkan cahaya dari sepercik api
Jika modernitas terlalu dipaksakan hanya akan melahirkan generasi aneh, kepala tanpa kaki. Cerdas tanpa nurani. Perampasan dan perampokan sumber daya alam dan perbudakan pikiran manusia akan terus menjadi adegan dominan dalam hidup ini. Bahkan, sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara akan dirampas juga.
Korbannya adalah kampung halaman tempat kita berteduh. Ia akan menjadi tempat paling gersang. Maka, tidak heran jika kampung halaman hanya akan menjadi tempat peristirahatan terakhir kita. Saya begitu percaya pada pepatah "setinggi-tinggi bahkan sejauh apa pun bangau terbang, mereka akan kembali ke kubangan."
Tanpa melalui penelitian serius juga, ada bahkan tidak sedikit sesuatu yang telah hilang dalam kehidupan kita sebagai mahluk sosial. Menyalahkan kemajuan dan modernitas sebagai biang keladi hancurnya tatanan nilai dan kepribadian serta jati diri bangsa sama sekali tidak dibenarkan. Sebab, kemajuan gagasan, pandangan, pola pikir, dan cara hidup akan mengubah dan membawa kehidupan kepada keadaan apa yang kita lihat sekarang, serba mudah, instan , dan cepat.
Sifatnya begitu linear, antara kemajuan berpikir dengan kemajuan peradaban. Semakin mekar dan berkembang pola pikir, peradaban manusia akan mengikutinya. Ruang dan waktu memang mejadi sekat dalam hal ini, perubahan dibatasi oleh kapan pola pikir manusia mulai mekar dari kejumudan kepada pencerahan.
Ada deviasi dan pembiasan darinya, ini yang patut dipertanyakan, jika nilai-nilai merupakan energi, maka sesuai dengan hukumnya: energi tidak dapat dimusnahkan namun hanya bisa diubah dari bentuk satu ke bentuk lainnya, maka apakah nilai juga demikian? Mengalami apa yang disebut dengan evolusi? Adakah Evolusi nilai saat rasionalisme mengokohkan dirinya pada pandangan dunia telah bebas dari nilai?
Indra J Piliang pernah menulis kalimat : “ Kembalikan Kampung Halamanku” pada website pribadinya, barangkali disinilah ada kepekaan yang membawa seorang Indra Piliang demikian, ada hal-hal besar yang telah hilang , dipaksa hilang, dan dirampas oleh peradaban baru. Padahal peradaban baru itu merupakan buah ranum dari nilai-nilai yang telah dirampas tadi.
Tempo hari, Saya sering menuliskan kalimat seperti ini: konservatisme berperan dalam menghancurkan kekinian saat liberalisme memiliki peran sentral dalam menghancurkan masa lalu. Ukurannya terhadap nilai. Modernitas adalah buah dari kemajuan berpikir, penyatuan antara unsur-unsur tradisi dengan cara pandang manusia terhadap fenomena sosial tan tantangan yang menjadi muatan kehidupan.
Nietzsche menulis tentang Kematian Tuhan, saat dunia dihinggapi oleh rasa rendah diri ketika mengakui adanya Tuhan, rasa inferioritas ketika mengaku manusia sebagai homo rasionalis sementara pandangan dan segala kebutuhan hidup diserahkan kepada Tuhan. Saat Tuhan dengan nilai-nilai lainnya memang telah dibunuh oleh kerakusan manusia, penyimpangan dari hal mendasar dalam kehidupan: Keimanan!
Yang telah hilang dalam kehidupan kita bukan sebenarnya hilang, kecuali telah diganti oleh nilai lain. Seperti halnya, kita telah mewarisi kromosom kita kepada anak cucu kita. Dalam tubuh kita mengalir darah Adam dan Hawa. Hanya saja, perubahan sosial sama sekali tidak diwariskan secara genetis, dia dihasilkan dari sebuah kreasi pikir, olah rasa, penyajian dari apa yang kita lihat dengan apa yang kita pikirkan.
Karena perubahan ini tidak diwariskan secara genetis, maka kehidupan dari generasi ke generasi akan sering terlihat berbeda, bahkan berseberangan. Lahirlah pertentangan antara konservatisme dengan liberasime, pemuliaan terhadap nilai dengan pemujaan terhadap kebebasan nilai.
Liberasasi pemikiran telah membawa pada perubahan logis. Cara pandang rumit seperti adanya surga, neraka, pahala, dan hal ikhwal peribadatan sama sekali hanya akan menghadang pesatnya kemajuan. Cara pandang harus sederhana serta logis, jika 2+2=4, hasilnya bisa dianalisa dan dibuktikan dengan sederhana. Lantas kenapa kehidupan dipaksa dengan harus hadirnya hal transenden yang tidak terjangkau oleh rasio?
Jika manusia telah mampu memperdaya alam, mengahasilkan kreasi-kreasi baru, kenapa alam harus dihormati laiknya manusia menghormati sesama, toh penghormatan kepada manusia pun harus dieliminasi dengan sikap pragmatis, apa untungnya bagi kita?
Kaum liberalis juga mempertanyakan, apa yang telah hilang dari kehidupan kita? Tidak ada, justru saat ini kehidupan terlihat semakin mudah? Orang tidak perlu lagi bersusah payah berjalan kaki menuju tempat tujuan, sampai kumadang adzan pun bisa disulap dan disimpan ke dalam kaset.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hilangnya nilai-nilai tradisional dalam kehidupan? Aturan-aturan Tuhan harus diselaraskan dengan perkembangan zaman. Barangkali seperti itulah pikiran kaum liberal demi menyikapi kehidupan sekarang.
Di saat yang sama, pandangan kaum liberal tersebut telah menjadi salah satu pemantik bagi kaum konservatif untuk menyerang, menyerobot, dan merebut kembali dominasi dari kaum liberal. Kapitalisasi kehidupan sebagai deviasi dari kekuasaan agama dianggap telah menjadi pemicu semakin runyam dan kehidupan diwarnai dengan aroma Iblis. Dunia yang dirasuki oleh Iblis dan setan adalah musuh, harus diperangi.
Entitas-entitas terkecil dari dunia sekuler, dunia iblis harus dimusnahkan tanpa kecuali. Terbentuklah kelompok yang hidup dalam klandestin-klandestin, pikiran disempitkan dengan memandang orang di luar kelompoknya merupakan musuh abadi, kekuasaan Tuhan harus menjelma dalam bentuk dan cara apa saja.
Hukum, aturan, dan rule of thinking kehidupan harus tektual ilahiyah jika hidup ingin lebih cerah. Mereka memandang bencana kemanusiaan telah merendahkan martabat kemanusiaan, harus diperangi saat mereka pun melakukan hal sama: meledakan bom bunuh diri di hiruk pikuknya keramaian, tanpa merasa bersalah.
Padahal dengan pertimbangan jernih kita dapat mengambil contoh dari Jepang yang telah menyepakati sebuah restorasi. Modernitas bukan sesuatu yang haram saat dipadukan dengan nilai-nilai tradisional- apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka- misalkan semangat samurai.
Tubuh sebuah bangsa harus berdiri pada dua kaki, supaya keajegan bangsa tersebut tidak goyah. Mengangkat satu kaki sama artinya dengan siap untuk jatuh, menyilangkan kaki saat berdiri hanya akan menghasilkan satu kekonyolan dalan cara berdiri. Terlebih jika ke dua kaki tersebut dipertentangan satu sama lain, dipertarungkan mana yang lebih kuat.
Bukankah saat kita berjalan dan melangkah, kedua kaki kita tampak tidak sepemikiran? Kaki kanan ke depan, kaki kiri ke belakang terus berulang silih berganti. Walakin dengan demikian telah menghasilan satu irama, ketika saat diam dan berhenti, kembali mereka mengokohkan tubuh kita. Begitulah seharusnya cara pandang kita.
Idealisme manusia menekuk pada suatu praduga, kita sebagai bangsa Indonesia memang telah merasa dirampas oleh bangsa kita sendiri, juga oleh bangsa lain. Disinilah pentingnya apa yang dikatakan oleh Bung Karno: Menghargai sejarah! Menghargai masa lalu, merawat masa lalu, mengbongkar ingatan.
Tradisional dan modern harus ditempatkan secara terbuka, di sana ada sebuah relativitas, kenisbian, danbtemporer. Saat listrik mati, bukan kah kita masih membutuhkan cahaya dari sepercik api
Jika modernitas terlalu dipaksakan hanya akan melahirkan generasi aneh, kepala tanpa kaki. Cerdas tanpa nurani. Perampasan dan perampokan sumber daya alam dan perbudakan pikiran manusia akan terus menjadi adegan dominan dalam hidup ini. Bahkan, sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara akan dirampas juga.
Korbannya adalah kampung halaman tempat kita berteduh. Ia akan menjadi tempat paling gersang. Maka, tidak heran jika kampung halaman hanya akan menjadi tempat peristirahatan terakhir kita. Saya begitu percaya pada pepatah "setinggi-tinggi bahkan sejauh apa pun bangau terbang, mereka akan kembali ke kubangan."
Posting Komentar untuk "Kembalikan Kampung Halaman Kami"