Manusia tidak dilahirkan untuk dirinya sendiri. Ada interdepedensi, dalam pandangan Al-Farabi, penyatuan dan asosiasi merupakan ciri khas dan unik yang melekat pada diri manusia. Keheterogenan ini telah mengantarkan kehidupan manusia kepada perbedaan. Dan keyakinan selalu menjadi hal paling peka dan tampak selalu didiskusikan.
Ketika masalah-masalah keyakinan didiskusikan, hal-hal immanent dibawa ke ranah profane, sering menimbulkan benturan, pengakuan terhadap diri paling benar, pembentukan kelompok-kelompok baru, faksi-faksi yang ingin tampil berbeda dengan kelompok lain. Interdepedensi terlihat bias ketika sikap eksklusif menjadi ciri utama.
Ada hal yang bisa dikompromikan, didiskusikan, dan diperdebatkan dalam kehidupan ini. Out–putnya sudah tentu adalah lahirnya pengetahuan. Contoh dalam hal ini barangkali, betapa sengitnya perdebatan antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Dari sini terlihat, perdebatan pada tataran ide dilakukan para ranah ide, dan ini telah melahirkan karya-karya besar, menjadi sumber telaah bagi generasi setelahnya. Pemikiran-pemikiran ke-dua cendikiawan ini diadopsi bukan hanya oleh ummat Islam , juga oleh para pemikir Barat.
Ekslusifitas cenderung mengabaikan perbedaan. Ada muatan sentimen terhadap kehadiran orang lain. Kebenaran mutlak diaku hanya milik kelompoknya saja. Telunjuk menuduh bahwa kesalahan pemikiran ada di kelompok orang lain. Maka, segala sesuatu karena kekinian telah dibawa ke ranah immanent telah menghadirkan nilai-nilai yang tidak bisa dikompromikan. Wahyu-wahyu di dalam kitab suci, oleh kelompok-kelompok ini dijadikan landasan berpijak ketika ayat-ayat dalam kitab suci tidak menghendaki demikian. Wahyu didistorsikan secara tekstual, apa yang seharusnya terjadi di masa lalu, ditransformasikan secara utuh hingga sekarang.
Perjalanan sejarah manusia pernah terdampar di sebuah zaman kegelapan. Jahiliyyah dan Dark Ages. Lahirnya zaman ini dilatar belakangi oleh: ketika penafsiran terhadap ayat-ayat Tuhan diartikulasikan tidak tepat. Kerajaan Tuhan harus dibumikan dalam bentuk simbol-simbol yang Nampak. Penyematan simbol-simbol ini sama sekali di luar apa yang terdapat dalam ayat-ayat suci. Sebab, manusia begitu kompleks. Penyematan simbol-simbol keyakinan telah merenggangkan kohesivitas masyarakat pada unit-unit terkecil. Manusia dibedakan bukan berdasarkan peran (pengabdian kepada Tuhan) dan semangat intelektualitasnya semata, tetapi dihormati berdasarkan pakaian atau jubah yang mereka gunakan.
Kegelapan ini telah dihancurkan oleh Para Rosul dan orang-orang tercerahkan. “ Laysal Birra An Tuwalluu Wujuuhakum Qibalal Masyriqi Wal-Maghribi..” Kebaikan manusia tidak ditentukan oleh ke mana wajah dihadapkan. Dalil ini diturunkan ketika Kiblat ummat Islam dipindahkan dari Al-Aqsa ke Masjidil Haram, namun nilai-nilai keumuman darinya adalah sebuah pesan begitu jelas. Bahwa kebaikan apa pun tidak semata dilihat oleh filsafat apa yang mereka kagumi,bukan berdasarkan simbol-simbol yang digunakan, kecuali oleh Keimanan manusia kepada Tuhannya. Semangat ini telah menjadi dasar pemikiran para Rasul. Musa dan Harun tidak memerangi Fir’aun , kecuali telah tercipta simbol-simbol yang tidak seharusnya ditempatkan pada diri manusia. Perbudakan, pengakuan superioritas bangsa mesir atas bangsa lain, pengakuan diri sebagai Tuhan, dan pemenjaraan terhadap hak-hak manusia.
Semangat simbolisasi kemudian ditampilkan kembali oleh manusia-manusia setelah era kegelapan berakhir. Hitler menyematkan simbol Bintang David kepada rakyat Jerman keturunan Yahudi. Pengakuan superioritas ras Aria atas bangsa-bangsa lain mewujud dalam piramida evolusi manusia. Penghambaan bangsa-bangsa lemah terhadap bangsa-bangsa unggulan adalah sebuah keharusan. Agama baru ini lahir dalam bentuk kekuasaan, Naziisme dan Fasisme.
Penyematan simbol keagamaan dalam kehidupan telah membuat muak para penganut rasionalisme. Dosa tidak perlu diperdagangkan, penghapusan dosa dengan cara dibeli sungguh merupakan wujud arogansi lembaga keagamaan dalam membodohi ummat, angin surga yang dihembuskan oleh tokoh-tokoh agama dianggap sebagai lagu-lagu yang bisa menjerat manusia kepada alam pesimis. Penyerahan diri kepada Tuhan disangka sebagai bentuk ketidak mampuan manusia dalam melawan kekejian yang dilakukan oleh dua lembaga : Kekuasaan dan Kepausan. Skeptisisme lahir, meragukan antara ada dan tidak adanya Tuhan.
Konklusi dan kesepakatan utama dari kaum rasionalis adalah: Tuhan tidak ada. Ketika mereka mengatakan demikian, anehnya, mereka sendiri terjebak ke dalam upaya untuk menyematkan simbol-simbol anti Tuhan dalam kehidupan manusia. Akal didewakan, namun penuhanan terhadap rasio tersebut disertai keharusan manusia dalam menyematkan simbol keanti-Tuhanan mereka. Komunisme berpijak pada landasan pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan telah menjelma menjadi tirani baru. Penghapusan kelas dalam masyarakat bukan menghapus simbol-simbol pengkutuban kehidupan kecuali telah menjadi pendukung terhadap lahirnya kelas baru, kelas komunal, kelas proletar, dan dunia satu atap, rezim Komunis.
Jika saat ini, dalam tubuh Ummat Islam telah terpecah belah ke dalam berbagai kelompok dan aliran. Maka, prediksi profetik Rasulullah patut mendapat sambutan dari kita sebagai sebuah “Prediksi Futuristik” yang akurat. Kenyataannya demikian. Pengakuan-pengakuan kelompok yang paling benar telah menjadi sarapan dalam kehidupan kita saat ini. Dengan mudah, seseorang akan menganggap orang lain bahkan orangtua sebagai musuh yang harus diperangi. Tidak sedikit dari mereka menyebut : “ Inilah yang benar!” sementara cara mereka menyampaikan kebenaran dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Simbol keagamaan adalah hal yang sakral. Tidak pantas hal yang suci disandingkan dengan hal-hal profrane, keduniawian. Tidak sedikit partai Politik di negeri ini yang menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti Gambar Ka’bah, Lafadz Laa-ilaaha illallah. Spanduk , baligo, kaos, dan bendera dipenuhi oleh simbol-simbol keagamaan, sampai pada suatu waktu, sebuah gambar Ka’bah yang tertulis dalam sebuah kaos digunakan sebagai kain lap pengepel sebuah toilet. Sampai pada suatu waktu kita melihat spanduk dengan lafadz Laa Ilaaha Illallah dilipat digulung lantas disimpan di dalam gudang disandingkan dengan rongsokan.
Saling ketergantungan pun tampak bias ketika manusia benar-benar telah mengekskusifkan dirinya. Manusia tidak terlahir hanya untuk dirinya saja. Ada orang lain yang harus diakui keberadaan dan keyakinannya. Manusia harus menghormati manusia lain, disaat mereka meyakini kebenaran telah menjadi jalan hidupnya. Menganggap rendah keyakinan orang lain adalah ciri betapa kita masih belum menjadi penganut sebuah agama yang benar. Non Nobis Solum Nati Sumus, begitu Cicero mengingatkan.
Ketika masalah-masalah keyakinan didiskusikan, hal-hal immanent dibawa ke ranah profane, sering menimbulkan benturan, pengakuan terhadap diri paling benar, pembentukan kelompok-kelompok baru, faksi-faksi yang ingin tampil berbeda dengan kelompok lain. Interdepedensi terlihat bias ketika sikap eksklusif menjadi ciri utama.
Ada hal yang bisa dikompromikan, didiskusikan, dan diperdebatkan dalam kehidupan ini. Out–putnya sudah tentu adalah lahirnya pengetahuan. Contoh dalam hal ini barangkali, betapa sengitnya perdebatan antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Dari sini terlihat, perdebatan pada tataran ide dilakukan para ranah ide, dan ini telah melahirkan karya-karya besar, menjadi sumber telaah bagi generasi setelahnya. Pemikiran-pemikiran ke-dua cendikiawan ini diadopsi bukan hanya oleh ummat Islam , juga oleh para pemikir Barat.
Ekslusifitas cenderung mengabaikan perbedaan. Ada muatan sentimen terhadap kehadiran orang lain. Kebenaran mutlak diaku hanya milik kelompoknya saja. Telunjuk menuduh bahwa kesalahan pemikiran ada di kelompok orang lain. Maka, segala sesuatu karena kekinian telah dibawa ke ranah immanent telah menghadirkan nilai-nilai yang tidak bisa dikompromikan. Wahyu-wahyu di dalam kitab suci, oleh kelompok-kelompok ini dijadikan landasan berpijak ketika ayat-ayat dalam kitab suci tidak menghendaki demikian. Wahyu didistorsikan secara tekstual, apa yang seharusnya terjadi di masa lalu, ditransformasikan secara utuh hingga sekarang.
Perjalanan sejarah manusia pernah terdampar di sebuah zaman kegelapan. Jahiliyyah dan Dark Ages. Lahirnya zaman ini dilatar belakangi oleh: ketika penafsiran terhadap ayat-ayat Tuhan diartikulasikan tidak tepat. Kerajaan Tuhan harus dibumikan dalam bentuk simbol-simbol yang Nampak. Penyematan simbol-simbol ini sama sekali di luar apa yang terdapat dalam ayat-ayat suci. Sebab, manusia begitu kompleks. Penyematan simbol-simbol keyakinan telah merenggangkan kohesivitas masyarakat pada unit-unit terkecil. Manusia dibedakan bukan berdasarkan peran (pengabdian kepada Tuhan) dan semangat intelektualitasnya semata, tetapi dihormati berdasarkan pakaian atau jubah yang mereka gunakan.
Kegelapan ini telah dihancurkan oleh Para Rosul dan orang-orang tercerahkan. “ Laysal Birra An Tuwalluu Wujuuhakum Qibalal Masyriqi Wal-Maghribi..” Kebaikan manusia tidak ditentukan oleh ke mana wajah dihadapkan. Dalil ini diturunkan ketika Kiblat ummat Islam dipindahkan dari Al-Aqsa ke Masjidil Haram, namun nilai-nilai keumuman darinya adalah sebuah pesan begitu jelas. Bahwa kebaikan apa pun tidak semata dilihat oleh filsafat apa yang mereka kagumi,bukan berdasarkan simbol-simbol yang digunakan, kecuali oleh Keimanan manusia kepada Tuhannya. Semangat ini telah menjadi dasar pemikiran para Rasul. Musa dan Harun tidak memerangi Fir’aun , kecuali telah tercipta simbol-simbol yang tidak seharusnya ditempatkan pada diri manusia. Perbudakan, pengakuan superioritas bangsa mesir atas bangsa lain, pengakuan diri sebagai Tuhan, dan pemenjaraan terhadap hak-hak manusia.
Semangat simbolisasi kemudian ditampilkan kembali oleh manusia-manusia setelah era kegelapan berakhir. Hitler menyematkan simbol Bintang David kepada rakyat Jerman keturunan Yahudi. Pengakuan superioritas ras Aria atas bangsa-bangsa lain mewujud dalam piramida evolusi manusia. Penghambaan bangsa-bangsa lemah terhadap bangsa-bangsa unggulan adalah sebuah keharusan. Agama baru ini lahir dalam bentuk kekuasaan, Naziisme dan Fasisme.
Penyematan simbol keagamaan dalam kehidupan telah membuat muak para penganut rasionalisme. Dosa tidak perlu diperdagangkan, penghapusan dosa dengan cara dibeli sungguh merupakan wujud arogansi lembaga keagamaan dalam membodohi ummat, angin surga yang dihembuskan oleh tokoh-tokoh agama dianggap sebagai lagu-lagu yang bisa menjerat manusia kepada alam pesimis. Penyerahan diri kepada Tuhan disangka sebagai bentuk ketidak mampuan manusia dalam melawan kekejian yang dilakukan oleh dua lembaga : Kekuasaan dan Kepausan. Skeptisisme lahir, meragukan antara ada dan tidak adanya Tuhan.
Konklusi dan kesepakatan utama dari kaum rasionalis adalah: Tuhan tidak ada. Ketika mereka mengatakan demikian, anehnya, mereka sendiri terjebak ke dalam upaya untuk menyematkan simbol-simbol anti Tuhan dalam kehidupan manusia. Akal didewakan, namun penuhanan terhadap rasio tersebut disertai keharusan manusia dalam menyematkan simbol keanti-Tuhanan mereka. Komunisme berpijak pada landasan pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan telah menjelma menjadi tirani baru. Penghapusan kelas dalam masyarakat bukan menghapus simbol-simbol pengkutuban kehidupan kecuali telah menjadi pendukung terhadap lahirnya kelas baru, kelas komunal, kelas proletar, dan dunia satu atap, rezim Komunis.
Jika saat ini, dalam tubuh Ummat Islam telah terpecah belah ke dalam berbagai kelompok dan aliran. Maka, prediksi profetik Rasulullah patut mendapat sambutan dari kita sebagai sebuah “Prediksi Futuristik” yang akurat. Kenyataannya demikian. Pengakuan-pengakuan kelompok yang paling benar telah menjadi sarapan dalam kehidupan kita saat ini. Dengan mudah, seseorang akan menganggap orang lain bahkan orangtua sebagai musuh yang harus diperangi. Tidak sedikit dari mereka menyebut : “ Inilah yang benar!” sementara cara mereka menyampaikan kebenaran dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Simbol keagamaan adalah hal yang sakral. Tidak pantas hal yang suci disandingkan dengan hal-hal profrane, keduniawian. Tidak sedikit partai Politik di negeri ini yang menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti Gambar Ka’bah, Lafadz Laa-ilaaha illallah. Spanduk , baligo, kaos, dan bendera dipenuhi oleh simbol-simbol keagamaan, sampai pada suatu waktu, sebuah gambar Ka’bah yang tertulis dalam sebuah kaos digunakan sebagai kain lap pengepel sebuah toilet. Sampai pada suatu waktu kita melihat spanduk dengan lafadz Laa Ilaaha Illallah dilipat digulung lantas disimpan di dalam gudang disandingkan dengan rongsokan.
Saling ketergantungan pun tampak bias ketika manusia benar-benar telah mengekskusifkan dirinya. Manusia tidak terlahir hanya untuk dirinya saja. Ada orang lain yang harus diakui keberadaan dan keyakinannya. Manusia harus menghormati manusia lain, disaat mereka meyakini kebenaran telah menjadi jalan hidupnya. Menganggap rendah keyakinan orang lain adalah ciri betapa kita masih belum menjadi penganut sebuah agama yang benar. Non Nobis Solum Nati Sumus, begitu Cicero mengingatkan.
Posting Komentar untuk "Non Nobis Solum Nati Sumus"