Sejak Pasangan Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi didaftarkan oleh Partai Politik dan Gabungan Partai Politik ke KPU Kota Sukabumi, meskipun penetapan nomor urut baru akan dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2012. Walakin, sosialisasi telah dilakukan oleh para Pasangan Bakal Calon dengan memasang baligho dan spanduk yang memenuhi hampir 40% di pinggir-pinggir Jalan Kota Sukabumi.
Sejauh pengamatan, baliho dan spanduk tersebut belum memunculkan visi dan misi untuk membangun Kota Sukabumi ke depan. Termasuk tawaran kebaikan yang lumrah ditampilkan dalam baliho dan spanduk juga masih belum terlihat. Para Pasangan Bakal Calon baru menampilkan ikon-ikon, motto, dan potret pasangan.
Memperdalam konten atau isi baliho, ada fenomena baru yang ditampilkan oleh para pasangan bakal calon. Indikasinya terlihat dari ikon-ikon yang dimunculkan. Fenomena baru ini tidak hanya terlihat dari akronim nama bakal pasangan calon, juga terlihat dari tampilan fisik; pakaian apa yang mereka kenakan.
Dan jika melihat kepada perhelatan Pilkada yang telah usai, fenomena baru seperti ini bisa jadi dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ahok, Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta sebulan yang lalu.
Apakah fenomena ini merupakan trend politik yang bersifat sesaat? Di era kemandirian demokrasi, komunikasi efektif memang penting dilakukan oleh partai politik dan siapa pun yang memiliki tujuan menjadi peraih suara terbanyak dalam perhelatan demokrasi.
Sudah tentu, tidak dengan kesan yang dibuat-buat. Kemeja Kotak-Kotak Jokowi-Ahok tiba-tiba menjadi trend, tentu saja ini dibahasakan kembali oleh tim sukses dan orang-orang yang mengusung pasangan ini kepada masyarakat menjadi sebuah jenama (branding).
Namun, Pilkada tidak sekedar menyampaikan dan membahasakan ikon. Pilkada merupakan ruang yang sangat luas, di mana para pasangan calon diberi keleluasaan untuk membahasakan program dan visi misi mereka kepada pemilih.
Sehebat dan sebagus apa pun ikon yang ditampilkan, ketika pembahasaan kembali program dan visi dan misi paslon tidak diimbangi dengan cara bagaimana menyentuh perasaan pemilih, maka ikon dan apa pun yang melekat pada pasangan tersebut hanya akan dianggap trend sesaat, hanya merupakan salah satu cermin budaya Pop-Art.
Seperti halnya Jokowi-Ahok, pasangan ini tidak sekadar menampilkan ikon dan simbol kemeja kotak-kotak. Track-Record mereka selama menjabat sebagai kepala daerah di Solo dan Belitung juga menjadi pertimbangan masyarakat pemilih. Jokowi, kental sekali dengan bagaimana cara dia menempatkan diri di dalam kehidupan masyarakat. Ahok dikenal dengan ketegasannya.
Hal-hal baik ini penting dicontoh oleh para bakal pasangan calon. Konteksnya tidak dilihat, apakah berasal dari birokrat atau non-birokrat. Sebab, pada akhirnya, para pasangan calon yang terpilih menjadi Wali Kota atau Wakil Wali Kota akan menjadi pimpinan birokrasi dan pemimpin Kota Sukabumi.
Kita sedang membicarakan sikap, hal yang tidak bisa diwariskan secara genetika dan instans. Maka, popularitas dan elektabilitas bukan barang dadakan, tidak bisa diciptakan secara masif.
Ia memerlukan ketelatenan dan kesabaran, perlu dibentuk melalui sebuah proses. Latar belakang, kebaikan-kebaikan para pasangan calon di masa lalu -Sebelum Mereka Mendaftarakan menjadi pertimbangan besar dari pemilih, apakah mereka pantas menjadi Kepala Daerah atau belum? Semuanya mulai terlacak dan dilacak oleh pemilih.
Lebih dari itu, ikon terbesar yang bisa menarik pemilih agar perasaan mereka benar-benar tersentuh adalah ”Ketokohan”pasangan calon. Ini yang menjadi tantangan terberat bagi calon pasangan ketika, di saat ini, sudah jarang sekali masyarakat memiliki sosok bernama ”Tokoh” ini.
Saat ini, justru kita lebih banyak melihat : TOKOH BISA DITOKOHKAN OLEH LEMBAGA ATAU PARTAI, dan yang paling kentara adalah tidak sedikit ada ORANG YANG MENOKOH-NOKOHKAN DIRINYA AGAR DISEBUT TOKOH.
Dimuat Radar Sukabumi, Desember 2012
Posting Komentar untuk "Antara Ketokohan dan Baliho"