TPA Santiong, Kecamatan Lembursitu |
Kota tidak pernah mati? Kaum urban selalu hidup? Kota selalu jauh melangkah dari desa? Jika takarannya kemajuan materi bisa benar. Tetapi takaran kemajuan sebuah bangsa atau masyarakat tidak selalu harus dikaitkan dengan kepemilikan materi bukan? Ciri utama kemajuan di wilayah perkotaan akan selalu berbanding lurus dengan konsekwensi yang diterima oleh masyarakat di Kota tersebut.
Sejarahwan mencapat, ciri utama masyarakat primitif adalah seringnya mereka berpindah-pindah tempat, hidup nomaden, mengandalkan pemberian alam, pindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Ini barangkali yang menjadi penyebab, gersangnya daerah-daerah di wilayah Sub-sahara, food gathering telah menyebabkan wabah alamiah, alam menjadi hilang sumber-sumbernya, lantas ditinggalkan begitu saja. Setelah itu, manusia primitif kembali mencari sumber kehidupan lain di wilayah yang lebih subur, basah, dan alam telah menyediakan apa pun di sana, siap untuk dipanen.
Di era gelombang pertama, kehidupan manusia diilustrasikan seperti itu. Lantas masuklah peradaban manusia ke dalam milieu gelombang ke-dua, ketika manusia telah menemukan roda. Sebuah alat mobile, manusia bisa berpindah dan memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat lain. Terjadi revolusi besar, revolusi mekanik, kebutuhan terhadap alat-alat semakin tinggi. Apakah dengan beralihnya perubaha tersebut mengubah mentalitas manusia? Secara lahiriah perubahan tersebut telah membawa manusia pada perubahan prilaku.
Manusia cenderung memikirkan, bagaimana cara mereka bisa mengolah alam, tidak selalu menggantungkan diri kepada apa yang disediakan alam. Lahirnya gelombang ke-tiga, dalam padangan kaum evolusionis telah membawa manusia pada perubahan ukuran otak, otak semakin membesar, manusia semakin berpikir. Lahir lah masyarakat agraris, food gathering diubah menjadi food producing.
Pertumbuhan kuantitas manusia sendiri bertambah seiring bertambahnya usia zaman. Wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk cukup tinggi sudah pasti membutuhkan alat dan kebutuhan-kebutuhan yang lebih banyak. Populasi di sebuah wilayah selalu berbanding lurus dengan penataan wilayah tersebut entah itu sistem ekonomi, budaya, atau politik. Polis-polis di wilayah Yunani kuno membentuk satu negara Kota. Sistem hidup di negara Kota semakin jauh dari sistem kehidupan di desa-desa terpencil di wilayah Yunani waktu itu. Lalu, identiklah Kota atau polis dengan sebuah kemajuan.
Sejak ditemukannya mesin upan, manusia telah memasuki era baru, gelombang ke-tiga. Penemuan-penemuan menjadi hal biasa, manusia tidak hanya memikirkan bagaimana cara mereka bertahan hidup, lebih dari itu telah berpikir bagaimana cara mereka mengahadapi hidup agar lebih mudah. Penemuan-penemuan alat baru di berbagai bidang kehidupan adalah jawaban agar manusia bisa lebih sederhana dan mudah dalam menjalani hidup.
Jumlah barang sebagai alat pemuas kebutuhan semakin tidak bisa dibendung seiring dengan semakin bertambahnya populasi manusia. Dalam kajian seorang Malthus, ledakan penduduk telah memenuhi deret ukur dan ini membawa kepada sebuah konsekwensi logis. Alat pemuas kebutuhan harus dieksplitasi dan dieksplorasi. Negara-negara industri di abad ke-17 mulai mencari cara agar alat pemuas kebutuhan mereka bisa terpenuhi sampai tidak ada habisnya. Diciptakan para Conquistador, sumber-sumber daya alam baru dicari, penjelajahan di mulai. Benua-benua baru dicari. Imperialisme Romawi Kuno yang hanya menjamah wilayah-wilayah daratan Eropa hingga Asia Kecil diperluas ke dalam wilayah lebih besar oleh negara-negara yang notabene merupakan pecahan dari kekuasaan Imperium Romawi Kuno.
Penyetaraan wilayah-wilayah baru dengan negara asal para Conquistador menjadi alasan tersendiri. Budaya harus dimajukan, perkampungan di benua Amerika dan sepanjang pedalaman Amazone harus mengikuti kemajuan di Inggris dan Spanyol. Desa-desa disulap menjadi Kota. Wilayah-wilayah pantai di Asia Tenggara; Sunda Kelapa harus disulap menjadi sebuah kota Industri. Kota terbentuk, tentu saja dengan aneka daya tariknya, urbanisasi tercipta, bahkan sulit dihindari.
Di zaman gelombang ke-tiga ini, Kota telah menjadi sebuah raksasa menakutkan bagi para pecinta kebudayaan. Alasannya? Ketika kota telah menjelma menjadi sebuah raksasa, dia hanya akan mampu memproduksi ribuan ton sampah perharinya. Ada sebuah ambivalensi cukup besar, dilema berkepanjangan: Membuang sampai tidak tepat pada tempat yang seharusnya akan menyebabkan akibat fatal bagi Kota tersebut, wajah kota sudah pasti semakin suram dan kotor. Ketika Warga Kota melakukan disiplin , membuang sampah pada tempatnya, dia akan menjadi pendonor utama rusaknya lingkungan alam di tempat Pembuangan Akhir. Polusi udara yang disebabkan oleh bau tak sedap dari lokasi Tempat Pembuangan Sampah Akhir menjadi semacam tempat penyiksaan bagi orang-orang desa yang hidup di pinggiran kota. Jika sampah tidak ditangani secara serius.
Bisa jadi benar, modernisme telah menjadi penyumbang utama dari rusaknya alam di era gelombang ke-tiga ini. Apalagi jika di era teknomania ini kehidupan telah dipengaruhi sangat besar oleh tigas sistem linear dalam hidup: Beli, Pakai, Buang! [ ]
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "ERA KOTA"