KEKECEWAAN

Sumber Foto: fokal[dot]info
Semua orang pernah merasa kesal dan kecewa. Kadar dan ukuran kekecewaan itu sebanding dengan penyebabnya. Manusia modern, manusia transisi (dari low- class ke middle class), tingkat kebutuhan mereka terhadap teknologi telah berada di puncak ubun-ubun. Lingkungan menuntun sekaligus menuntut mereka agar bisa memenuhi apa yang dimiliki oleh rata-rata manusia di zaman ini. Jika tidak? 

Ada semacam sikap streroitif tentang ketertinggalan, gaptek, dan udik. Mau tidak mau, siapa pun, tidak ketinggalan para tokoh agama puritan, Kristen Fundamentalis, Hindu Fundamentalis, dan fundamentalis lainnya dipaksa agar mengikuti trend kekinian. Ketika pemenuhan terhadap keinginan yang telah diminimalisasi ke dalam kebutuhan akan semakin berbanding lurus dengan tingkat kekecewaan dalam kehidupan ini.

Rasa kecewa bukan hanya ketika kita lupa membawa HP, Smartphone, Tablet,  atau Laptop. Tingkat kekecewaan seperti ini barangkali baru masuk kelas satu. Rasa kecewa terhadap hilangnya hal-hal tansendental dalam kehidupan lah yang bisa membuat orang benar-benar kecewa. Memang tidak ada teori mutlak, kemajuan zaman bisa menghilangkan hal-hal transendntal dalam hidup. Hanya saja, diakui atau pun tidak, kita akan terus merasa telah kehilangan sesuatu. Disini lah pentingnya kita dalam merawat masa lalu. Ingatan penting sekali untuk dijaga. Agar rasa kecewa itu  tidak mengendap dalam bentuk sikap puritan ektrem. Apa yang ada di zaman ini dianggap sebagai Iblis yang harus dimusnahkan, dihilangkan, dan tidak dijadikan sahabat.

Engel dan Karl Marx yang menitik beratkan sejarah kehidupan manusia pada dialektika materiliasme, telah merinci bahwa kehidupan ini akan berevolusi, sejarah manusia akan melihat panggung-panggung perubahan, harus ada yang hilang dan digantikan oleh hal baru. Ini tentu saja pada tataran fisik, jasadiah kehidupan. Pemikiran  awal Engel dan Marx ini pada tahap proses pembuatan fondasi pikiran telah menyentuh ranah substansi, hal-hal transendental, keyakinan, dan agama. Perubahan sosial telah memaksa manusia untuk menghilangkan apa yang menurut mereka sama sekali tidak bisa dicerna oleh alam pikiran , tidak logis. Keyakinan tentang adanya roh bahkan Tuhan telah mengalami kemunduran ketika harus dihadapkan dengan penemuan-penemuan baru. Agama akan selalu terlihat kalah ketika berhadapan dengan sebuah lembaga raksasa bernama  Industrialisasi. Maka dalam pandangan atheism, kehilangan hal-hal transcendental dalam kehidupan adalah hal wajar, rasa kecewa tidak harus ada.

Pandangan ini tentu sangat paradox dengan dialektika spiritualisme Hegel. Pertemuan kedua dialektika ini bersifat tolak-menolak, antara idealism dengan materialism. Dalam hal ini, kehilangan nilai-nilai spiritualitas telah memukul Hegelian dalam bentuk rasa kecewa. Dunia harus kehilangan rasa, kebaikan, sikap tolong menolong, dan ide-ide yang keluar dari pikiran abstraks. Kohesivitas kehidupan antara nilai dan materi mewujud, hilangnya kebaikan-kebaikan kuno , tradisi-tradisi masa lalu, bukan menjadi soal, ini sebuah kewajaran. Manusia harus mencari alat pemuas kehidupan berupa materi, tidak lebih dari itu. Meskipun idealism Hegelian menyentuh pada rasio sebagai pengendali kehidupan.

Mayoritas manusia tidak akan memperduluikan apakah Marxisme dan Hegelianisme pernah ada dan dijadikan kiblat pemikiran oleh manusia. Sebab, mereka lebih membutuhkan pemenuhan-pemenuhan apa yang diperlukan oleh mereka, materi dan jiwa. Faktanya, sejauh apapun sejarah kehidupan telah melangkah, pertemuan antara materi dan jiwa menjadi cirri utama kehidupan. Kekecewaan timbul karena ada sesuatu yang hilang, bisa materi juga bisa jiwa atau hal yang tidak tersentuh.

Bencana kemanusiaan akan menjadi sebuah kekecewaan besar jika dihadapkan dengan manusia yang masih memiliki nilai-nilai rohani dalam dirinya. Bahkan, adalah sebuah kebohongan ketika seorang Atheis sejati tidak memiliki rasa kecewa, sedih, dan haru saat mereka kehilangan orang yang dicintai. Manusiawi sekali rasa sedih ini menghasilkan linangan air mata. Dari fakta ini merupakan hal mustahil, sejarah kehidupan manusia hanya dikendalikan oleh dialektika materialism, pun sebaliknya, sejarah kehidupan manusia sangat tidak mungkin jika hanya dikendalikan oleh dialektika spiritualisme. Tidak ada yang perlu dikorbankan satu pun jika kehidupan ingin terus berjalan. Walaupun pada akhirnya, satu dari dua, bahkan kedua-duanya akan hilang dalam kehidupan ini.

Banyak hal yang telah hilang dalam kehidupan ini, jika rasa kecewa terhadap hilangnya areal pesawahan, tradisi-tradisi ketimuran, dan budaya bangsa disikapi dengan rasa kecewa berkepanjangan, bisa dipastikan ini akan membentuk bangsa apologi, bangsa yang bangga dengan kejayaan masa lalu tanpa melihat hari ini. Namun ketika rasa kecewa ini disikapi dengan jernih, maka akan membangkitkan semangat hidup; nilai-nilai baik di masa lalu harus ditransformasikan ke masa kini. Budaya akan tetap terjaga, apa yang seharusnya dimiliki oleh sebuah bangsa akan tetap menjadi cirri khas bangsa tersebut.

Pertemuan dua pemikiran, antara konservatisme dengan Liberasime hal nyata dalam kehidupan ini. Tidak jauh berbeda dengan pertemuan Hegelianisme dengan Marxisme. Konservatisme meletakan alam pikiran manusia di masa lalu, gerakannya merusak apa yang mereka temui hari ini.  Sementara liberalism meletakkan alam pikiran manusia di masa kini, ada obsesi besar menghilangkan masa lalu, penyelarasan kehidupan dengan kekinian tanpa melihat nilai yang harus tetap terjaga dan dijaga dengan apa yang akan dan sudah menjadi sebuah keniscayaan dia akan berubah. Konservatisme memandang kehidupan modern sebagai Iblis yang harus dilawan, mereka memosisikan diri sebagai para malaikat suci pada saat kaum Liberal memiliki pemikiran mereka sebagai Lucifer, pencerah terhadap cara pandang jumud dan hendak mengajak manusia kepada pencerahan.

Kekecewaan dari seorang Konservatif akan membentuk rasa teralienasi dalam kehidupan. Dia menjadi merasa asing saat apa yang seharusnya dengan apa yang dilihat begitu kontradiktif. Seorang liberalis akan merasa menjadi raja saat kehidupan memihak dirinya, saat kebebasan cara berpikir dan bertindak menjadi warna dominan kehidupan. Ketidak akuran ini telah menciptakan kekerasan-kekerasan fisik.

Padahal, kehidupan ini harus tetap dipertahankan. Jika bangsa ini telah mampu menafsirkan dengan jernih sejarah kehidupan, pemikiran-pemikirannya, penyatuan antara nilai dan materi, kekecewaan tidak akan mengendap terlalu lama dalam kehidupan. Hari ini, saat ini, betapa kita begitu kecewa ketika melihat akar budaya dan jati diri bangsa telah tercabut dari diri bangsanya sendiri. Pengakuan kita sebagai bangsa merdeka, bangsa Timur terpupus saat melihat acara-acara di televisi, keinginan liar anak cucu kita, cita-cita yang belum pernah terbayangkan oleh orangtua, telah terlempar jauh dari semangat merawat masa lalu dan menjaga ingatan. Memang, kita telah memasuki era Post-Modern! 

Dan kiblat kita di zaman ini adalah : Dialektika Materialisme. Maka sangat wajar, kekecewaan dalam kehidupan terwujud ketika dialektika spiritualisme sedang mengalami sakit parah![ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "KEKECEWAAN"