ROMANTISME DAN KEBUTUHAN AKAN CAHAYA

Sumber Foto: Kompasiana

Beberapa teman di Kampung juga anak-anak generasi 90-an memang sudah tahu, kalau Saya sering menuliskan hal-hal sederhana dan bisa jadi merupakan hal remeh temeh kehidupan dalam pandangan Anda. Seorang teman meminta kepada saya, – dari raut wajahnya sambil mengenang masa lalu, sebuah kehausan akan romantisme bisa jadi- , untuk menuliskan cerita ketika seorang Ulama Besar masih hidup di Kampung kami itu.

Ya, sekitar dua puluh tahun lalu, di Kampung Kami hidup seorang Ulama Besar. Beliau dihormati dan disegani oleh siapa pun. Barangkali, satu babak kehidupan tentangnya telah tertancap begitu utuh dalam memori ini. Saya dan beberapa kawan selalu ajrih dan segan ketika berpapasan dengannya, bukan takut. Semua orang Kampung pun merasakan demikian. Ada satu pertanyaan mendasar dalam diri saya beberapa Tahun setelah saya lulus SMA. Kenapa beliau bisa disegani? Punya ilmu laduni atau semacam “ mantra-mantra” kah?

Barangkali, yang menjadi penyebab beliau disegani oleh orang-orang Kampung bukan karena ucapan, da’wah, dan khutbahnya saja , lebih dari itu disebabkan oleh prilakunya. Ya, sikap konsisten di dalam menegakkan kebenaran inilah yang menjadi lantaran hal itu. Manusia kerap berbicara, saya juga demikian, kadang dari pembicaraan kita ada semacam nada ajakan, dalam bahasa Agama adalah Da’wah, namun kadang antara konsistensi ucapan dengan prilaku yang kita sebar ini sering bertolak belakang.

Nah, prilaku beliau inilah yang tertancap di dalam hati orang-orang Kampung hingga saat ini.
Semasa hidup, beliau menghabiskannya sebagai Guru Madrasah, Guru Ngaji, Imam Mesjid. Setiap pagi, antara konsistensi ucapan dengan prilakunya terpancar dari kegiatan rutin beliau. Jalan berbatu yang kami lewati, kemudian di bawah pohon nangka besar depan Mesjid Jami, kami telah biasa melihat beliau membersihkan halaman rumahnya. Siang, ketika pulang sekolah, halaman itu sudah bersih, benar-benar bersih.  Lalu diri kita bangga dengan slogan Kebersihan Pangakal Kesehatan, Kebersihan Sebagian Dari Iman, ketika kotoran-kotoran menempel dalam diri kita, bukan karena tanpa sengaja, melainkan disengaja oleh kita. Nah, kotoran-kotoran inilah yang menjadi penyebab kurang konsistensinya antara ucapan dengan prilaku kita.

Bagaimana mungkin kita akan disegani oleh orang lain, ketika diri kita belum bisa memberi kekuatan berupa kejernihan konsistensi ucapan dan prilaku terhadap diri kita sekalipun.

Beliau telah meninggal dunia, meninggalkan kami, dan kami merasa kehilangan waktu itu. Sebagian besar orang di zaman ini bisa jadi akan menganggapnya sebagai sebuah romantisme akan masa lalu. Tapi penting ditegaskan, dalam diri manusia ada dua hal penting dan ini menjadi standar baku jika manusia tersebut dikatakan sebagai orang normal; yaitu romantisme dan kebutuhan dasar.

Saya dan beberapa kawan, pernah termenung di bawah pohon nangka besar beberapa tahun lalu, sambil mengenang disaat beliau sedang menyapu halaman rumahnya, inilah sebuah romantisme.
Sementara disaat orang-orang merasa kehilangan atas meninggalnya beliau, dan jujur saya akui, saat ini di kampung kami guru ngaji, imam mesjid, dan tokoh agama sudah jarang ditemui. Kemudian rasa kehilangan terhadap sesuatu yang sangat berharga semakin mengkristal terhadap hadirnya kembali sosok seperti beliau, itulah barangkali yang dimaksud dengan kebutuhan.

Suatu saat, kita pernah lapar, pernah haus, pernah mengalami kegelapan, saat itu kita butuh sesuatu. Walaupun saya sangat yakin, rasa lapar  dan haus anda tidak seberapa jika dibandingkan dengan pernahnya anda merasakan kenyang, cukup. Dan jelas itu tidak perlu diratapi, seperti halnya ketika Anda sakit, padahal sehat Anda jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sakit Anda. Tapi, ketika datang sakit, kita sangat menyadari betapa harusnya kita sehat, nah itulah kebutuhan.

Tidak jauh berbeda, ketika orang-orang di Kampung telah merasa nyaman dengan hadirnya seorang ulama, guru ngaji, dan imam mesjid, lantas beliau meninggal, maka kebutuhan akan munculnya kembali sosok seperti beliau itu menjadi sangat besar.

Sekali lagi, prilaku beliau inilah yang menjadikan alasan kenapa orang-orang Kampung begitu membutuhkan kehadirannya.  Orang bukan hanya melihat kepada apa yang beliau ucapkan, khotbahkan, dan da’wahkan, tetapi mereka lebih melihat antara kesetaraan ucapan dan prilakunya. Sebab, orang tidak hanya melihat dan mendengar terhadap beliau juga merasakan akan hadirnya sosok itu.

Beberapa tahun setelah kepergiannya. Maka, rasa rindu dalam bentuk romantisme itu muncul, bukan hanya romantisme, juga kebutuhan terhadap hadirnya kembali sang imam mesjid seperti beliau. Apalagi ketika kemajuan, peradaban, budaya telah menjadi landasan berpijak kita, ketika antara Kota dan Kampung sudah tidak bisa dibedakan karena semakin semaraknya “kejahatan (kemaksiatan)”, ketika orang-orang pecinta kebaikan meraba-raba kembali apa yang bisa menjadikan suasana kembali terang, kebutuhan akan cahaya, api, pelita itu begitu besar.

Konsistensi ucapan dan prilaku yang terpancar inilah telah menjadikan beliau sebagai cahaya. Dan beliau membawa cahaya kemana pun pergi. Manusia, orang Kampung atau pun kota, selalu membutuhkan cahaya baik secara tekstual maupun konstektual di dalam kehidupan ini.
Cahaya inilah yang telah hilang di zaman ini. [ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "ROMANTISME DAN KEBUTUHAN AKAN CAHAYA"