Apartheid bukan sebuah gerakan pembawa nilai-nilai kemanusian. Dia lahir dari rahim kesombongan. Ukurannya adalah warna kulit, agama yang dianut, dan dari mana manusia berasal. Disadari atau tidak, klasifikasi sosial terjadi bukan pada tatanan dan struktur alamiah dimana ini seharusnya ditentukan oleh apa yang dihasilkan oleh manusia. Dalam lingkungan, ketika sebuah tempat telah dipenuhi oleh apartheid, akan tumbuh dengan subur penolakan pengakuan terhadap jerih payah orang lain. Karena usaha dalam bentuk apa pun tidak diakui dalam lingkungan ini.
Munculnya apartheid dilandasi oleh nilai-nilai egosentris manusia. Ada rasa bangga ketika melihat dirinya berbeda dengan orang lain. Melihat manusia pada aspek sempurna dan belum sempurna. Darwinisme sosial telah menciptakan pemikiran mengerikan sepanjang sejarah kemanusiaan. Penemuan-penemuan terhadap fosil manusia purbakala dijadikan alasan aneh tentang adanya kelompok dan ras manusia yang belum sempurna karena baru memasuki tahap penyempurnaan struktur dan organ-organ tubuh. Anehnya, pemahaman sempit ini tidak hanya menjalar kepada warna kulit dan struktur tubuh saja, juga menyentuh hamper setiap element kehidupan; agama, budaya, dan hal-hal yang berkaitan di luar kelompok.
Darwinisme sosial mendorong manusia, khususnya Eropa -dimana faham tersebut mula-mula menyebar- untuk mencari sumber-sumber baru tentang kehidupan. Muncul anggapan aneh namun ini merupakan pemikiran lama, manusia-manusia berkulit putih merasa lebih tinggi nilainya dari ras kulit hitam ketika mereka tahu, ada manusia lain, dalam balut kulit berbeda dengan mereka. Kaum kolonial berada di puncak piramida kelas sosial, sementara manusia-manusia berkulit selain putih adalah ras terjajah, ada di dunia untuk mengabdi kepada ras berkulit putih. pemikiran ini menyebar di dunia belahan Barat sejak abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20.
Rasisme mengakar, lantas tumbuh menjadi tindakan-tindakan radikal, ras unggul menindas ras tidak unggul. Manusia sempurna dihalalkan membunuh manusia yang dianggap baru mencapai mata rantai akan menjadi manusia. Naziisme memiliki landasan berpijak begitu jelas, sangat menagungkan perbedaan ras sebagai motor penggerak harus adanya manusia-manusia super, ras-ras unggulan. Terilhami oleh Ubermenchs-nya F.W Nietczhe, Hitler memiliki semangat untuk membombardir ras-ras lain selain Aria. Ras lain dimarjinalkan. Lebih aneh, di masa kekuasaannya, ada kebijakan kasar, dimana manusia tidak dihargai sama sekali ketika manusia memiliki penanganan khusus dari segi fisik dan mental. Orang-orang cacat baik fisik maupun mental dipisahkan kehidupannya dengan manusia-manusia normal. Ini merupakan anomaly kehidupan, keunggulan manusia diukur dari ukuran kepalanya.
Anti Semit menjadi slogan baru untuk menekan pertumbuhan kegiatan-kegiatan ras Yahudi di Eropa. Jika kita memaknai sejarah dengan jernih disini akan ada sebuah korelasi antara gerakan anti Semit dengan semakin tumbuhnya kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya Yahudi di Eropa di awal abad ke-20. Yahudi mampu memasuki ranah-ranah kehidupan; perekonomian dan keuangan dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Ketakutan muncul dari ras mayoritas, maka disebarkanlah sebuah kengerian, diceritakan dongeng-dongeng tentang kejelekan Ras Yahudi dari zaman ke zaman. Klimaksnya adalah bentuk ketakutan massal, ada dorongan agar penguasa menghentikan pergerakan kaum Yahudi, anti semit memarjinalkan kaum Yahudi, mereka hidup di getho-getho kumuh. Namun, ada hal lebih, kenyataan pahit ini dijadikan alasan oleh Zionisme untuk menempati tanah yang dijanjikan, Holy-Land. Merebut tanah dari Bangsa Palestina.
Seolah, ada mata rantai antara semangat anti semit dengan eksodus besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina. Celakanya,Zionisme menempatkan mereka sebagai kaum penjajah, ras terhormat, manusia-manusia unggulan dari bangsa Palestina. Rasisme lain muncul , motivasi dendam menjadi alasan utama. Dendam terhadap perlakuan bangsa berkulit putih, ras Aria Normandia. Dibumbui oleh wahyu-wahyu Elohim; di dalam Kitab Suci mereka, Talmud, diilustrasikan Ras , orang-orang Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, diunggulkan atas bangsa-bangsa lain, maka.. disahkan, dalam bentuk apa pun untuk meniadakan bangsa-bangsa lain ini, karena ini merupakan titah Tuhan. Jika kitab suci telah mewahyukan ini, mencetak perbedaan manusia dari keturunan, ini akan memunculkan perang suci atas nama Tuhan. Dan di kutub yang berlawanan, akan ada sekelompok manusia yang berjuang untuk melawan, karena posisi mereka sebagai kaum yang terdesak, termarjinalkan, terjajah, tentindas.
Berdiam diri binasa, maka lebih baik melakukan perlawanan sebagai bangsa terhormat.
Tuhan tidak akan mewahyukan ayat-ayat rasisme. Bagaimana bisa Tuhan menghendaki manusia ciptaannya menginginkan saling serang, perang, dan saling bunuh? Motiv- utama peperangan adalah kerakusan terhadap sumberdaya alam dan pengakultusan diri sebagai ras unggul. Ayat-ayat Quran akan menyebut manusia sebagai manusia secara umum: Ya, Ayyuhannas! , kehebatan manusia tidak hanya ditentukan oleh keturunan dan warna kulit.
Mahatma Gandhi sangat menyesali, ketika perbedaan agama dijadikan alasan pecahnya India menjadi dua Negara: India dan Pakistan. Dengan Ahimsa-nya, anti kekerasan, Gandhi mengepalkan tangan melawan sendi-sendi rasisme. “ Cinta tidak sekedar meminta, tapi dia harus memberi. Kehidupan akan tumbuh ketiak cinta ada..”. walaupun, di akhir kehidupannya, Gandhi dibunuh oleh seorang Hindu Fundamentalis karena lebih seringnya Gandhi membela orang-orang Islam.
Saat ini, rasisme masih menjadi trend di dunia. Iklan-iklan menjadi media propaganda rasisme, dimana ada klaim dan pengaruhnya begitu besar terhadap alam bawah sadar kita: Kulit putih lebih bagus dari Kulit hitam, dibuatlah kosmetika pemutih kulit. Keratonisme dalam kehidupan pun masih menggejala di dunia. Harus ada Tuan dan Hamba di saat semakin gencarnya semangat anti rasisme dikumandangkan. Akan tetapi ini akan menjadi serba mungkin. Rasisme akan kembali menjadi motor penggerak kehidupan, atau mungkin saja rasisme akan benar-benar terkikis habis di dunia.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "KOLOM: APARTHEID"