Monisme pernah mengakar dalam sejarah manusia. Amenhotep IV secara sporadic mengubah pandangan keyakinan masyarakat Mesir Kuno waktu itu. Sebuah upaya nekad yang dilakukan oleh Akhenaten (Ikhnatun) mengubah konsep politeisme menjadi monoteisme. Tampak, kekuasaan – terlebih sistem monarki – memiliki paksaan kuat terhadap keharusan rakyat untuk mengikuti penguasa, Sabda Raja adalah Sabda Dewa. Akhenaten membawa masyarakat mesir kuno untuk meninggalkan tradisi politeisme ke monoteisme, penyembahan terhadap Aten, dewa tertinggi yang telah memberikan kehidupan kepada bangsa mesir Kuno.
Akhenaten bertindak bukan tanpa alasan. Permenungan dirinya terhadap hal paling substansi telah menemukan betapa dirinya berada di ruang dengan celah-celah sempit. Ra, dewa Matahari, dewa tertinggi MEsir Kuno, dibantu oleh dewa-dewa lainnya; Anubis, Isis, Osiris, telah menjelma menjadi bentuk Dewa paling menakutkan sepanjang sejarah bangsa Mesir. Dewa yang dipenuhi oleh kerakusan, permintaan jiwa manusia, iri, dengki, dan membawa kobaran api pada setiap tangannya.
Akhenaten memupus Ra dan digantikannya dengan Aten. Dzat substansi, Yang Maha Tunggal. Dewa yang menghadirkan kedamaian, Dia yang telah memciptakan alam ini dengat taburan bungan-bunga di taman. Dewa yang hinggap pada pucuk-pucuk pepohonan seperti embun di pagi hari yang mebawa kepada kesejukan. Substansi yang tunggal ini menyatu dengan alam. Di era kekuasaan Akhenaten, panteisme, dimana substansi ke-ilahian menyatu dengan alam pun lahir.
Bukan dari sini sebetulnya pandangan tentang keMaha Tunggalan Sang Pencipta bermula. Pertentangan, lahirnya metodologi pembid’ahan terjadi di penghujung meninggalnya Akhenaten. Akhenaten tidak memaksakan keyakinannya agar tetap diikuti oleh bangsa Mesir, dia hanya menjembatani pemikiran terhadap nilai-nilai kebaikan yang memang dimiliki oleh dzat Yang Maha Tunggal.
Seiring dengan meninggalnya Akhenaten , ajarannya tentang monisme, monoteisme pun pudar . keyakinan terhadap Amun Ra dihidupkan kembali. Metodologi pembid’ahan tidak sekedar menyebut bid’ah terhadap ajaran Monoteisme, lebih dari itu, dengan mengatasnamakan Amun Ra, para pengikut monoteisme disiksa, diperbudak. Karena pada metodologi seperti ini, seseorang akan diampuni oleh siapa yang memerintah, Dewa Amun Ra, meskipun harus menumpahkan darah orang lain. Meleburkan diri sendiri akan menyucikan jiwa seseorang untuk menyambut uluran tangan Osiris.
Lima puluh tujuh tahun setelah “Kepergian” Akhenaten tahun 1295 SM, Monarki absolute atas nama Dewa menjelma menjadi kerakusan para penguasa. Orang bisa dibakar hanya karena mereka menentang pengorbanan di acara sacral, sementara pada dasarnya, bahkan faktanya, orang yang dianggap bid’ah tersebut tetap saja menjadi korban. Pengorbanan jiwa manusia menjadi cirri utama upacara keagamaan. Saat tubuh dikorbankan, saat kematian menjemput, kelak dia akan disambut oleh Sang “ Hakim yang dipenuhi oleh kebaikan”, Osiris Putra Nut, dewa Bumi. Pengikut monoteisme, Musa dan Harun yang mewahyukan penyembahan kepada dzat Yang Maha Tunggal doproklamirkan sebagai musuh kerajaan.
Perbudakan telah merambah kepada hal yang lebih mengkrucut, bukan karena beda keyakinan, disempitkan dan disudutkan pada rasisme antara Bangsa Titisan Amun Ra dengan Etnis Semit Yahudi. Polarisasi rasial ini tidak membentuk sebuah neraca keseimbangan, namun menempatkan satu wadah neraca berada di atas dan sisi lainnya dianggap kosong. Sang “ Hakim Yang dipenuhi oleh kebaikan” telah menunjuk wadah Negara kosong ini memang harus dikorbankan dalam bentuk perbudakan. Ribuan orang diburu, dicap sebagai penganut keyakinan bid’ah.
Eksodus Musa dari Mesir membawa Kaum Yahudi adalah pengejaran yang dilakukan oleh Firaun dan Pasukannya atas nama Anubis, Dewa Kematian. Titah Anubis untuk menjemput bangsa lemah yang tidak meyakini terhadap kekuasaan Amun Ra. Bukan sekedar eksodus perpindahan tempat dari Mesir ke Jerusalem, juga eksodus pemikiran dan pola pikir. Akulturasi kebudayaan antara bangsa besar dengan kaum budak telah melahirkan formulasi baru, inferioritas harus mengikuti superioritas. Ajaran-ajaran tentang kebengisan Amun Ra masuk ke dalam keyakina Yahudi Awal. Tidak heran, jika di dalam Perjanjian Lama, Yahweh dilukiskan sebagai Tuhan yang senang membawa bara api di tangannya ketika harus berhadapan dengan orang-orang kafir, unbelievers. Deviasi dari ajaran yang telah diwariskan oleh Musa ini membawa manusia kepada polarisasi dua neraca ketidak berimbangan; pernyataan sepihak terhadap adanya bangsa unggulan dengan bangsa lemah/budak.
Semakin jelas, Monoteisme adalah jalan untuk meyakini substansi kebenaran, dia Yang Maha Tunggal, terlepas dari jerat iri dengki, kebencian, hasud, dan penikaman terhadap manusia yang diciptakannya sendiri. Sementara politeisme lahir dari rahim Pembid’ahan, mengecap kafir kepada orang lain, pembentukan neraca kehidupan yang tidak berimbang, antara yang diatas dengan di bawah. Bisa disimpulkan, kemaha- Tunggalan Tuhan menyentuk kehidupan di dunia ini dan membekas pada kuncup-kuncup mawar, di saat semakin banyaknya Tuhan yang disembah oleh manusia dan singgah pada altar-altar pengorbanan, membekas di atasnya.. bercak darah manusia. Lantas, apakah Tuhan mencintai perang? Pada akhir hidupnya, Akhnatun berpesan: Aten adalah dzat yang telah mengutus angin agar menyegarkan manusia saat panas tiba.
“Dia lah yang telah menempatkan embun pada kuncup-kuncup mawar” Dzat Yang Maha Tunggal …
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "REFLEKSI: DIA YANG MENEMPATKAN TITIK EMBUN PADA KUNCUP BUNGA"