Ini bukan hal aneh. Di awal tahun 1980-an, ketika spanduk dan reklame mulai dipasang di warung-warung, saya, sebagai anak kecil, merasa takjub dan kagum. Misalnya, reklame Sabun Lifebuoy yang menampilkan foto seorang ayah, ibu, dan dua anak dengan pakaian serba putih dan bersih.
Foto itu menggambarkan keharmonisan rumah tangga dan menyampaikan pesan sederhana: seorang ibu sebaiknya merawat anak-anaknya, dimulai dari hal kecil seperti memandikan mereka agar bersih dan sehat.
Bukan hanya saya yang takjub. Karena spanduk dan baliho masih langka saat itu, masyarakat dari berbagai golongan pun tersihir oleh reklame-reklame tersebut. Hal ini sejalan dengan cara masyarakat menjaga kesehatan yang sederhana namun efektif.
Nilai intrinsik dan ekstrinsik dalam mata uang rupiah saat itu sebanding dengan harga produk seperti sabun. Hidup sehat memang tidak mahal—cukup rajin mandi, menggosok gigi, seperti yang diajarkan dalam lagu anak-anak.
Di dekade 1980-an, baliho, spanduk, dan billboard reklame menjadi fenomena sosial yang memukau. Banyak orang terpesona karena ini adalah hal baru. Pesan dalam iklan dibaca dengan saksama. Meskipun substansinya adalah bujukan dan rayuan kapitalis, reklame ini muncul pada waktu dan massa yang tepat.
Billboard pemerintahan juga ikut meramaikan ruang publik. Salah satu yang terkenal adalah foto Soeharto tersenyum bersama petani, dengan latar sawah siap panen. Reklame ini tidak hanya menggambarkan swa-sembada pangan, tetapi juga mencerminkan kebanggaan menjadi petani.
Bahkan, di desa-desa, terbentuk kelompok tani yang terinspirasi dari sosok Presiden yang sering digambarkan mengenakan caping bambu sambil memanen padi.
Memasuki dekade 1990-an, TVRI, sebagai stasiun televisi pemerintah, mulai menarik iklan-iklan dari tayangan televisi, meski alasannya tidak jelas. Iklan dalam bentuk audio lebih banyak mengisi siaran radio.
Sementara itu, billboard, spanduk, dan baliho tetap bertahan. Pada masa itu, masyarakat masih menerima iklan-iklan ini dengan sikap positif karena mereka dianggap sesuai dengan realitas dan mentalitas masyarakat waktu itu.
Era Reformasi: Ketimpangan Antara Iklan dan Realitas
Kini, para calon kepala daerah, entah itu gubernur, bupati, wali kota, atau caleg, harus berhati-hati memasang foto mereka di baliho dan spanduk. Mengapa?
Pertama, masyarakat semakin muak dengan iklan yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Iklan menjual kebaikan dengan wajah-wajah artis cantik dan tampan, namun dalam kehidupan sehari-hari, senyuman seperti itu jarang terlihat di jalanan atau di ruang publik.
Kedua, era reformasi sangat berbeda dengan dekade 1980-an dan 1990-an. Iklan pada masa itu, meski tidak selalu benar, masih jauh dari kesan munafik. Reklame saat itu seperti obor yang menerangi, menyampaikan pesan moral yang masih relevan.
Tetapi, kapitalisme yang semakin mengakar telah membingungkan masyarakat dengan berbagai tawaran produk yang berlebihan dan sering kali tidak memperhatikan psikologi audiens.
Para calon yang terlalu gemar menampilkan potret diri mereka dengan senyum hangat di baliho akan menghadapi reaksi sinis dari masyarakat. Masyarakat kini lebih kritis, mempertanyakan integritas dan sikap asli calon tersebut. Mereka akan mencari tahu apakah senyuman di baliho itu tulus atau hanya sekadar kepalsuan.
Tidak sedikit masyarakat yang merasa tertipu oleh slogan-slogan kebaikan di spanduk, yang tidak tercermin dalam tindakan nyata calon. Sebagai contoh, bagaimana mungkin masyarakat percaya pada potret seorang calon yang terlihat akrab dengan pemulung, sementara mereka tahu bahwa calon tersebut hanya bersilaturahmi lima tahun sekali?
Jika nilai-nilai kebaikan hanya ditampilkan di baliho, tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, masyarakat justru akan merasa kecewa. Potret dan slogan dalam reklame politik bisa berubah menjadi bahan olok-olok. Bahkan, tidak jarang baliho ini dianggap sebagai sampah visual, tidak lebih dari polusi ruang publik.
Celakanya, peningkatan angka golput bisa jadi terkait dengan kehadiran baliho yang berlebihan. Masyarakat bingung harus memilih siapa, atau lebih parah, merasa kecewa karena nilai kebaikan dalam slogan tidak sebanding dengan kenyataan.
Reklame politik seharusnya menjadi alat komunikasi yang jujur dan tulus. Jika tidak, baliho dan spanduk hanya akan menambah jarak antara masyarakat dan para calon pemimpin.
Tugas calon adalah menunjukkan integritas mereka, bukan sekadar menghias ruang publik dengan janji-janji kosong. Sebab pada akhirnya, masyarakat akan menilai bukan dari apa yang terlihat, tetapi dari apa yang benar-benar dilakukan.
Posting Komentar untuk "REKLAME, SPANDUK, DAN BALIHO"