Multatuli: Eduard Douwes Dekker |
Penempatan dirinya di Kantor Dagang, menjadi alasan yang tepat. Bahwa pada suatu hari dia akan menjadi seorang penulis dengan ungkapan-ungkapan satire serta sindiran terhadap kemapanan pemerintah namun pada dasarnya sangat bobrok dan keropos. Penempatan dirinya di Kantor Dagang itu telah memosisikan Eduard sebagai kelompok marjinal, miskin, dan hanya menjadi cemoohan dari kawan-kawannya. Ketika kebobrokan sebuah negara telah menjadi ciri utama, maka status sosial menjadi alasan tersendiri bagi satu kelompok untuk menyakiti kelompok lain dengan pandangan nyinyir. Itu dirasakan oleh Eduard.
Penderitaan hidup membawa harapan baru. Hindia Belanda membawa angin surga. Eduard pindah ke Hindia Belanda , walaupun ini bukan keputusannya, melainkan keinginan orangtuanya. Di Hindia Belanda, kekayaan mudah dicari, alam bisa dieksploitasi, begitulah kabar dari orang-orang Belanda yang telah terlebih dahulu pindah ke Hindia Belanda. Pada tahun 1839, Eduard tiba di Batavia. Tidak sulit bagi seorang keturunan Belanda seperti Eduard untuk mencari pekerjaan. Atas bantuan beberapa relasi orang tuanya, Eduard diangkat menjadi seorang Pegawai Negara (ambtenaar).
Dari sinilah segalanya bermula. Latar belakang penderitaan hidup di Belanda, menjadi pemantik terhadap munculnya kesadaran diri terhadap fenomena dan realita sebenarnya kehidupan masyarakat. Dengan menjadi seorang ambteenar, dia bisa bersentuhan langsung dengan penderitaan sebenarnya yang dialami oleh warga pribumi. Lebak, diilustrasikan oleh Eduard, sebagai tempat paling mengenaskan, menakutkan, walaupun telah menjadi ladang emas bagi pemerintah dan Bupati Lebak waktu itu. Negara bangkrut, bukan karena besarnya biaya pengeluaran untuk konsumsi pemerintah, kecuali digunakan untuk menutupi anggaran rumah tangga Bupati Lebak. Sebagai pengganti biaya konsumsi rumah tangga karena keborosan Bupati, dikerjakanlah warga pribumi secara rodi.
Kerja Rodi ini mendapat perhatian serius dari Eduard. Bupati Lebak, meskipun dia sendiri sebagai putra Daerah, namun tidak segan-segan melakukan penindasan kepada rakyatnya sendiri, sesame warga pribumi. Kerja paksa telah berada pada puncak tertinggi dehumanisasi. Manusia diperas, bukan sekedar tenaganya, juga derajat kemanusiaannya. Tidak sekedar memaksa untuk bekerja, juga memaksa agar hasil panen dan ternak warga masuk ke dalam kas Negara tanpa dibayar, dan jika dibayar pun jauh dari cukup. Warga dipaksa bersimpuh dibawah telapak kaki para pejabat waktu itu. Ini menjadi satu alasan dari Eduard, bahwa dirinya harus kembali ke Belanda.
Di Belanda, Eduard kembali kepada cita-cita asal. Dia harus menjadi pengarang. Pengalaman-pengalaman ketika menjabat menjadi ambtenaar itu dia tulis, naskah-naskah drama ditulis. Entah berapa lama, dia mengurung diri. Memulai menulis buku, Max Havelaar. Buku ini begitu menggemparkan Eropa pada tahun 1860, terlebih di Belanda. Apakah dengan telah menjadi seorang penulis, pengarang, sastrawan, lantas dia bahagia dan cukup sampai di situ?
Pesannya begitu Jelas, bahwa Haveelar tidak akan terhenti sampai disana, senjata yang akan digunakan semakin tajam, ketika harus berhadapan dengan kezaliman-kezaliman Penguasa. Dan Eduard menutup Max Havelaar dengan kalimat, Nun Jauh di sana tiga puluh juta lebih rakyat di Hindia Belanda disiksa dan ditindas atas nama Kaisar! Inilah Indonesia….
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Telah Lama, Aku Begitu Menderita"