Fenomena sosial yang dikaji oleh sosiologi adalah adanya kelompok-kelompok sosial. Ibnu Khaldun telah lama memformulasikan persoalan ini dalam konsep “Ahabiyyah”. Munculnya group-feeling ini dilatar belakangi oleh adanya perasaan yang sama antara masyarakat. Seseorang akan merasakan kepedihan atau kesedihan jika salah seorang di dalam masyarakat larut dalam kesedihan.
Masyarakat Kota, terutama kalangan anak muda Kota Sukabumi sejak tahun 70-an telah membentuk kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur. Di tahun itu, kelompok sosial terbentuk besar dipengaruhi oleh munculnya kelompok-kelompok sosial yang telah terjalin di Eropa di tahun 60-an. Di era orde lama, informasi-informasi dari Eropa, terutama dari Inggris dinyatakan sebagai paham NEKOLIM oleh pemerintah. Tidak heran, di era 50-60an, kelompok-kelompok sosial terbentuk melalui ikatan partai politik. Politik aliran ini menempatkan masyarakat pada kelompok-kelompok bertolak belakang antara kaum agamis, nasionalis, dan komunis.
Imbasnya sampai ke kelompok akar rumput. Ashabiyah-ashabiyyah baru terbentuk bukan saling mendukung satu sama lain, kecuali kerap mempertontonkan nilai-nilai yang terbentuk dalam masing-masing kelompok tersebut. Adalah wajar jika Soekarno mencetuskan NASAKOM untuk mempersatukan politik aliran yang bersebrangan itu dalam satu wadah besar, intinya ingin mengingatkan rakyat kepada pentingnya bersatu. Kebudayaan sudah tentu mandeg, sebab budaya di era itu tidak bersifat cair.
Di era orde baru, tepatnya di tahun 70-an, budaya Barat menyerbu Negara ini. Kaum muda-mudi ketika di era sebelumnya lebih kerap menceburkan diri ke dalam berbagai kelompok politik, sekarang berpindah arah , mereka lebih memfokuskan diri masuk ke dalam kerumunan-kerumunan, gang dan kelompok yang tidak berafiliasi sama sekali dengan politik. Fenomena sosial digegerkan oleh munculnya penghormatan terhadap segala asesoris Beatles. Kekhasan budaya di kalangan muda besar dipengaruhi oleh mode yang diperagakan oleh kelompok Band asal Liverpool tersebut.
Era Beatles dipertajam dengan masuknya berbagai cabang aliran music. Pasca The Beatles Bubar, gema hippies mengguncang dunia. Kehidupan telah terbebas dari nilai, meskipun Lennon mengungkapkan dalam Imagine-nya: kehidupan seharusnya terbebas dari pengakuan keyakinan, tetapi hal tersebut malah melahirkan keyakinan-keyakinan baru dengan berbagai variannya. Koes Plus menyinggung dalam lagunya: “Muda-mudi.. zaman sekarang, pergaulan bebas nian!” kelompok-kelompok sosial di perkotaan terbentuk dengan berbagai variannya.
Imbasnya sampai sekarang. Sudut-sudut Kota di Sukabumi setiap malam, terlebih di malam minggu disesaki oleh berbagai kelompok, group, muda-mudi, abg. Kehidupan malam semakin terlihat berwarna memang. Pandangan Ibnu Khaldun terhadap ashobiyyan di perkotaan, di dalam kehidupan masyarakat Kota memberi penekanan yang berbeda ketika mengupas ashobiyyah di perdesaan. Ashobiyyah di perkotaan cenderung diikat oleh kohesi profane sosial. Hilangnya nilai-nilai keberagamaan lantas terkikis oleh nilai-nilai keberagaman.
Tidak heran, Jika ashobiyyah di perkotaan ini mengasilkan sebuah kreasi profane: kelompok-kelompok yang mengikat dirinya bukan dengan nilai-nilai sakral. Bahkan cenderung tidak mengindahkan budaya local dan kearifan yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Adalah wajar jika sikap setiap para remaja seperti itu. Eksistensi diri dan penemuan jati diri mereka menjadi alasan betapa para remaja tersebut akan memasukkan diri mereka ke dalam sebuah kohesi sosial yang lebih kuat mengikat mereka karena memiliki pemikiran, nilai, perasaan, dan hal-hal sama daripada meleburkan diri ke dalam keluarga yang tidak memahami perasaan para remaja. Sebab kota merupakan sebuah tempat ketika interaksi antara manusia hampir tidak pernah mati! [ kang warsa ]
Posting Komentar untuk "ASHABIYYAH REMAJA PERKOTAAN"