Adalah sebuah arogansi kekuasaan menjadi latar belakang didirikannya “Akademia” oleh Plato. Saat kelompok tyranoi memegang tampuk kekuasaan, ada cara pandang baru terhadap politik sederhana saat itu: Jangan biarkan rakyat mengetahui hal-hal penting, sebab ini merupakan ancaman terhadap pemerintahan tyranoi di mana kekuasaan dibagi-bagi berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok. Ibarat kue-kue besar dipotong-potong lantas dibagikan kepada orang yang telah menduduki kursi menghadap meja makan. Pencerdasan terhadap rakyat melalui proses pendidikan adalah salah satu hal terlemah dalam kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu.
Kelompok tyranoi merupakan pemenggal sejarah Athena, dimana kebijaksanaan diletakan bukan pada pandangan dan pikiran para filsuf kecuali ditentukan oleh ketajaman pedang penguasa. Lebih celaka, kekuasaan ini seperti Saya sebut, dibagi-bagi dan menghasilkan mesin pembunuh kreatifitas manusia. Saat kelompok memegang kendali, kekuasaan dipegang oleh 11 orang yang mengendalikan aktivitas kehidupan. Ruang-ruang gerak dibatasi oleh aturan yang bisa berujung pada kematian. Socrates dipaksa meminum racun demi ketakutan para pemegang kekuasaan ini. Bentuk pemerintahan terburuk pasca demokrasi diterapkan di Athena.
Pemerintah menegaskan, pendidikan harus diarahkan kepada penyehatan dan penguatan fisik, saat idealism menyerukan: hanya orang-orang berilmu dan cendikiawan lah yang akan mampu membawa masyarakat kepada kesejahteraan sebenarnya yang disebut eaudemonia. Pemerintah tyranoi seperti tyrannosaurus, mencabik-cabiik daging buruannya. Contoh utama kelompok ini adalah: Betapa agungnya orang-orang Kreta , mereka adalah pasukan-pasukan tempur hebat, tanpa keilmuan pun , orang-orang Kreta telah melahirkan tokoh legenda seperti halnya Achiles. Pandangan ini telah meruntuhkan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya pemenuhan terhadap akal.
Akademia didirikan oleh Plato sebagai bentuk penghormatan terhadap kegigihan gurunya, Socrates, dalam memperjuangkan gagasan-gagasan hasil dari olah pikir, proses permenungan. Akademia pun dimusuhi, diawasi ruang geraknya, diawasi muatan-muatan yang diajarkan oleh para filsuf kepada murid-muridnya. Pemerintah telah menjadi oposisi terhadap dunia pendidikan waktu itu. Dan ketika konsern terhadap pendidikan pun, mereka membangun pendidikan dan menyediakan uang untuk membeli guru-guru yang bisa mereka kendalikan. Tidak heran, sebagai pendiri Akademia, Plato menyindir sikap pemerintah dan guru-guru gadungan itu sebagai bentuk prostitusi pendidikan. Pemerintah mendirikan sekolah-sekolah mewah, namun harus dijual kembali dengan cara melacurkan apa yang seharusnya dipertahankan dalam pendidikan itu sendiri.
Dari lembaga prostitusi seperti itu tidak menghasilkan apapun, kecuali lulusan-lulusan tanpa kewajaran yang akan menjadi abdi kekuasaan. Sementara lembaga pendidikan yang didasari oleh keikhlasan, seperti halnya Akademia telah melahirkan seorang Aristoteles. Ini telah tercatat dalam lembaran sejarah.
Sembilan abad setelah kematian Plato, penegasan tentang pentingnya merawat dunia pendidikan digagas oleh Rasulullah melalui wahyu pertama: Iqro! Revolusi pemikiran ini telah meruntuhkan kekuasaan kepemilikan dan rasa taashub terhadap suku dan golongan. Milieu, dimana kebanggaan terhadap maskulinitas lebih dijadikan panduan keberhasilan, di mana kekuatan dalam perang menjadi andalan penilaian kesuksesan sebuah bangsa di sana tidak akan ditemukan pucuk-pucuk kecerdasan kecuali kebodohan. Dan pandangan ini diruntuhkan oleh Rasulullah.
Simpulan terbesar adalah: arogansi kekuasaan, tirani dalam kehidupan baik dalam bentuk penjajahan fisik atau moral pada dasarnya memiliki cita-cita untuk menyumbat kecerdasan rakyat sebuah bangsa. Memahalkan pendidikan, memisah dan memilah lembaga pendidikan ke dalam kelas-kelas, adalah teknis dari pencangkokan kebodohan. Agar orang tidak lebih tahu dari orang yang memerintah. Adalah kewajaran saat Ki Hajar Dewantara menulis Als Ik Inlander, demi menyikapi fenomena sosial yang dibangun di atas landasan berpijak kaum kolonilal. Adalah logis ketika Ahmad Dahlan, mendirikan lembaga pendidikan untuk membunuh arogansi pola pikir kebodohan dan sikap seperti ingin mencerdaskan namun pada dasarnya membodohkan rakyat secara teratur, sistematik, hingga menjadi satu pandangan permanent.
Nyatanya? Seperti kata Preire, jika pendidikan hanya menyentuh ranah intelektualitas, maka lulusan-lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan teknokrat, aristocrat, dan ekonom ulung cerdik serta membodohi orang lain dengan keterbatasan pengetahuannya. Di belahan lain dari dunia ini, barangkali masih ada lembaga pendidikan seperti halnya Akademia yang telah didirikan oleh Plato sebagai jawaban terhadap pandangan bahwa kecerdasan hanya sekedar intelektual (I.Q) semata.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "AKADEMIA"