Ada banyak hal yang seharusnya tidak diucapkan. Atau, kelakuan yang seharusnya tidak dilakukan. Namun semua itu dilakukan dengan dasar penegeasan. Dikatakan sebagai penjelas dari hal sebelumnya. Dan semua telah tahu itu, karena merupakan keseharian kita, memang demikian adanya.
Orang sering mengatakan; “ Turunlah ke bawah sebab saya ingin melihat Kamu dengan mata kepala sendiri!” Ya, benar semua orang tahu, apa pun dan siapa pun: turun sudah pasti ke bawah, melihat sudah pasti dengan mata, dan mata sudah pasti terletak di kepala. Bahasa sambil lalu terhadap pengungkapan bahasa ini adalah penegasan dan penjelas.
Pleonasme kerap menjadi santapan dalam kehidupan keseharian kita. Penggunaannya melebihi apa yang sering kita pikirkan di Sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan. Ini telah melahirkan pemikiran baru walaupun kita tahu ini merupakan stok lama. Orang sering menanyakan kepada teman, guru, juga dirinya sendiri, apa guna kita mempelajari ilmu bumi, matematika, dan ilmu-ilmu lain, sampai harus dikuasai oleh peserta didik ketika sama sekali ilmu tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kehidupan di masa depan peserta didik?
Misalkan dalam Matematika, dipelajari geometri sementara dalam kehidupan ini orang sangat heterogen, kompleks. Sehingga pada saatnya nanti, geometri hanya akan digunakan oleh orang-orang tertentu dari jutaan peserta didik di Negara ini? Barangkali, karena keheterogenan dan kekompleksan manusia inilah, sekolah-sekolah di Negara ini tidak sekedar mengajarkan “Baca, Tulis, dan Berhitung” kepada peserta didik. Siapa pun harus mengetahui sedikit dari yang banyak.
Namun, keheterogenan dan kekompleksan manusia tidak menjadi pembatas bahwa pengetahuan yang telah didapat oleh manusia sama sekali tidak bermanfaat dan membumi dalam kehidupan sebenarnya. Perlahan realitas kehidupan akan menjadi wadah penadah terhadap teori-teori. Pleonasme dalam kehidupan pun demikian. Pada mulanya dia hanya dibatasi oleh buku Pelajaran Bahasa Indonesia, tapi lambat laun mengalami perluasan dan mewujud dalam kehidupan manusia.
Dalam kehidupan bernegara harus ada penegasan bahwa kita adalah warga Negara yang baik. Lingkungan telah mengenal siapa kita, sikap kita, dan keyakinan kita. Lalu digunakanlah pleonasme dalam kehidupan; Harus ada bukti dan pengakuan jika kita sebagai warga Negara yang baik tersebut dalam bentuk kertas bernama KTP, SIM, Pass-port, dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Sebagai penjelas terhadap diri kita, meskipun pada kebaikan bahkan keyakinan kita tidak bersifat kuantitatif. Ya, pengakuan ini berlaku sebagai penegasan terhadap eksistensi atau keberadaan kita. Sebab, melihat tidak selalu berarti dengan mata, mendengar tidak selalu berarti dengan telinga, pada ranah yang lebih luas, bersifat kualitatif.
Muncul banyak paradoks dalam kehidupan ini. Jika pleonasme dan penegasan dilakukan tidak di tempat yang seharusnya. Pemerintah menyebut, angka kemiskinan di Negara ini semakin berkurang, sekitar 30 juta jiwa di tahun 2010. Penegasan angka tertulis dengan jelas di 30 juta jiwa. Sementara antara harapan dan realita begitu paradoks. Jika kemiskinan diukur dengan hitungan kuantitatif, apa yang bisa dilihat, bukan oleh kualitas manusia tersebut maka boleh saja klaim pemerintah itu benar. Tapi, seorang tukang beca dengan penghasilan rata-rata perhari di bawah 50 ribu dengan kualitas hidup yang belum terjamin apa masih bisa dikategorikan sebagai warga tidak miskin? Ada penilaian lain yang harus dikedepankan oleh pemerintah dari sekedar melihat data-data survey.
Rencana diturunkannya subsidi BBM sama sekali tidak dipahami oleh rakyat kecil. Mengenal kata subsidi pun kening mereka akan berkerut-kerut, namun pengungkapan kata ini, kalimat ini, “ Harga BBM itu murah karena disubsidi oleh Pemerintah..” masih saja diucapkan dan dituliskan. Padahal, adalah tanggungjawab pemerintah mensejahterakan juga memberitahukan kepada rakyat tentang subsidi ini, bukan sekedar tertulis di reklame dan baliho tanpa dimengerti oleh rakyat kecil. Sebab, pemikiran rakyat kecil sering berbanding terbalik dengan rumus-rumus kebijakan pemerintah. Subsidi BBM hakikatnya diturunkan, namun dipahami oleh rakyat kecil harga BBM dinaikkan oleh pemerintah.
Di baligo dan spanduk bertebaran ditulis, “ Kesejahteraan Rakyat Harus diwujudkan!” memang harus begitu. Ini tidak perlu dituliskan di spanduk dan baligo, adalah tugas kita untuk mewujudkan kesejahteraan ini. Kontradiksi sekali, penegasan terhadap ruang-ruang di dalam baligo tersebut hanya diisi oleh potret diri saja. Meskipun, ada sedikit orang yang memajang potret diri setelah melakukan praktek terhadap teori-teori yang ditulis di spanduk dan baligonya.
Saya sering melintas di Jalan Ahmad Yani, Kota Sukabumi. Tepat di sebuah Mall Besar, lalu lalang orang, pedagang, dan hiruk-pikuk lainnya meramaikan suasana. Ruang publik tercipta. Menimbulkan kesan tontonan ketika mata kita melihat apa yang ada di luar diri kita. Suasana ramai itu telah menciptakan etalase kehidupan, dimana aktivitas berbagai manusia dipajang. Gaya hidup dipertontonkan. Manusia telah menjadi model bagi dirinya sendiri juga bagi di luar dirinya. Penegasan yang dari bentuk-bentuk komunikasi non verbal, penegasan dari ruang pikiran dan memujud menjadi bangunan-bangunan seperti pusat perbelanjaan.
Paradoksnya kental, ruang publik seharusnya memiliki ruang yang jelas, tidak dibatasi oleh berdesakannya manusia Karena kemacetan. Walaupun, di zaman ini, ruang publik manusia telah mengalami perpindahan ke dunia maya, dunia yang cukup luas. Sayangnya, ketika kita leluasa menguasai ruang publik di dunia maya, dalam dunia nyata, kita sedang terjebak dalam ruang sempit dengan judul kemacetan.
Siapa pun masih mengharapkan, di awal Bulan April nanti, harga BBM tidak jadi dinaikkan. Penegasannya, kenaikan harga BBM akan menjadi pemantik naiknya semua harga barang dan kebutuhan. Rakyat kecil akan merasakan langsung akibatnya sebab, kenaikan harga BBM tersebut tidak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah menaikan UMR bagi para buruh. Sopir Angkot, Tukang Ojeg bisa saja menaikkan ongkos angkutan kepada penumpang, tanpa adanya Peraturan Daerah.
Logika di Negara ini kadang sederhana, lempar dulu batunya, apa pun yang akan jatuh; entah itu Buah Apel atau Kaca Pecah itu urusan kemudian, seolah segalanya bisa dikompromikan. Seolah penegasan dan penjelas dalam kehidupan ini bisa menyusul kemudian setelah ada peristiwa harus dimunculkannya penjelasan itu. Itu pun jika masih diperlukan.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "PLEONASME"