When VOC power claw stuck in the archipelago, when the kingdoms of this country with its citizens feel how much power is directly proportional to the VOC was the plunder of natural resources of this country, history has recorded, in such conditions it was born for society movements take over the role of VOC. Resistance against the interests of the nation's natural resources robber was done by various kingdoms in the archipelago outposts. The reason, robbery and theft committed by anyone, any country in the name of power, government, and especially Colonialism always hated by the host population. VOC strike back, the rebels in their version portrayed as hordes of extremists, enemies of the state and power.
This portrait, this historical fact, not only have happened in an era when life was simpler. Independence movements in various parts of the world is born on the grounds that there has been a massive robbery of natural resources owned by natives. An imbalance what is robbed by someone else with what enjoyed by the natives. This gave rise to jealousy resistance, a great expression: We should be free. Not only in this country, resistance-resistance in Asian and African countries to the ballpark thieves of natural resources by residents in the two continents.
There is one oddity, this is a deviation of human behavior from the view of a conviction. Groups robbers natural resources that, instead of giving back what has been exploited from the regions they belong to someone else instead provide resistance and gives an ugly stamp to the liberators. The legal owner of natural resources is even referred to as the extremists, enemies of the state which must be fought. During 200 years, either out of boredom or because it has been deemed feel full rob natural resources archipelago, VOCs leave the country. Another source said the departure of VOC from the archipelago since the Dutch trading partners that have collapsed due to the growing dominance of the corrupt in the VOC own body.
However, with the departure of VOC from this archipelago, not necessarily the Dutch give this country back to its rightful owner. World War I and II has become a field of conflict actors illicit transactions. They fight over the lands that are outside their area. Massive expansion of European nations to invade another country more wild than greedy attitude of the Roman Empire in the era before the birth of Jesus. The illicit transactions covered by the veil of oddly named treaty. Two large blocks of each other less-beat, when there is a block has been lost there is manifested an agreement, surrender of the colony to winning the war. Indigenous population in the continent of Asia, Africa, and America does not understand this, suddenly they have become slaves colonized, sudden natural resources at their disposal have been robbed and meet warehouses power of others.
Echoed the country's independence as the pinnacle of Indonesian struggle. As to the golden bridge to the future. Theories about how the nation's great with simple weapons could gain independence abstracted by historians. One side says, this is true as a result of the independence struggle of the nation called Indonesia, and at the same time, this freedom is an agreement, not more than that. Thus, the occupation is not actually experiencing a stalemate, not a missing link, but is a pastiche, he will continue to be inherited by the foreign invaders to the robbers Natives.
The second theory is manifest in the Military Operations Area in Aceh. Government providing partial information to the citizens about the reasons of the emergence of the Independence Movement in Aceh, even cerderung covered except reworded as a series of political conflict between the Free Aceh Pro with legitimate Government of the Republic of Indonesia. Lighters are actually looting by the government on natural resources, legitimate treasure the locals. Centralization has become a giant greedy, Aceh's natural resources, the results of which are only distributed in the centers of power. If anything, there has been an ownership swap, the exploitation of Aceh are used by authorities to buy land and the land of the people in remote corners of the island of Java.
Indigenous residents in Aceh are certainly aware of, although this is done by the government on behalf of the acceleration of development, but because of the imbalance of what has been given by the State to Aceh to what has been dredged by the state culminated in demands, Aceh want to take care of himself. Because pembahasaan promptings of independence and autonomy voiced by political people at that time, with alacrity, the Indonesian government calls this a political conflict, a separatist movement, undermining the legitimate government. Without notice, the background tuntuntan independence comparable to what has been demanded by our ancestors, the freedom fighters of the country when the VOC and the invaders rob the natural resources of this country greedily. The prosecutor's independence in Aceh separatists could be called by the Government as well as the freedom fighters of this country called extremists by VOC.
Anyone would have the same attitude, when independence was seized by another party, when the ancestral inheritance robbed by someone else, then there will emerge a self determination to break away from the sharp claws though done by a legitimate state. Would be different, if the government put forward a policy, the demands of various regions listened carefully not to be confronted head-on with the deployment of the armed forces. Separatism in various countries such as in Queebec, Canada succeeded in peace, without the population should lose their rights as citizens.
A few days ago, OPM established branch offices in Oxford England. This is not a slap to the Homeland government except to be an afterthought, it's how big this country Papua sell assets to others. What has been given by the government for 'Mortgage' - even tend to invite Papua robbed by other countries - Papua to the natives? What has been done by the state to protect the exploitation of oil and gas owned by British Petroleum Papuans? Advantage of what has been given to the Papuans with the presence of Free-port belong to America? If still minimal, the important task of the government is not shooting the people who fly the Morning Star flag in front of his house, but had to brave kongsis evict foreign companies, rather than making agreements and illegal transactions such as the invaders in World War I and II.[ ]
Ketika VOC menancapkan cakar kekuasaannya di Nusantara, saat kerajaan-kerajaan di negeri ini bersama warganya merasakan betapa kekuasaan VOC itu berbanding lurus dengan penjarahan dan perampokan atas sumber daya alam negeri ini, sejarah telah mencatat, dalam kondisi seperti itu lahir lah gerakan-gerakan masyarakat untuk mengambil alih peran VOC. Perlawanan terhadap kepentingan perampok sumber daya alam negeri ini dilakukan oleh berbagai kerajaan di pelosok-pelosok Nusantara. Alasannya, perampokan dan pencurian yang dilakukan oleh siapa pun, negara mana pun dengan mengatasnamakan kekuasaan, pemerintahan, dan apalagi Kolonialisme selalu dibenci oleh penduduk tempatan. VOC menyerang balik, para pemberontak dalam versi mereka dilukiskan sebagai gerombolan ekstrimis, musuh negara dan kekuasaan.
Potret ini, fakta sejarah ini, tidak hanya saja terjadi di era ketika kehidupan masih sederhana. Gerakan-gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia ini lahir atas alasan telah terjadinya perampokan besar-besaran terhadap sumber daya alam milik pribumi. Adanya ketidak seimbangan apa yang dirampok oleh orang lain dengan apa yang dinikmati oleh para pribumi. Kecemburuan ini melahirkan perlawanan, sebuah ungkapan besar: Kita harus merdeka. Bukan hanya terjadi di negeri ini, perlawanan-perlawanan di negara-negara Asia Afrika terhadap kasarnya pencuri-pencuri sumber daya alam dilakukan oleh warga di dua benua tersebut.
Ada satu keanehan, ini merupakan prilaku deviasi manusia dari pandangan sebuah keyakinan. Kelompok-kelompok perampok sumber daya alam itu, alih-alih memberikan kembali apa yang telah dieksploitasi dari daerah-daerah milik orang lain mereka malah memberikan perlawanan dan memberikan stempel jelek kepada para pembebas. Para pemilik sah sumber daya alam ini malah disebut sebagai kaum ekstrimis, musuh negara yang harus diperangi. Selama 200 tahun lebih, entah karena bosan atau karena sudah dianggap merasa kenyang merampok sumber daya alam Nusantara, VOC hengkang dari negeri ini. Sumber lain menyebutkan, hengkangnya VOC dari Nusantara ini karena kongsi dagang Belanda itu telah mengalami kebangkrutan karena semakin kuatnya dominasi para koruptor di dalam tubuh VOC sendiri.
Hanya saja, dengan hengkangnya VOC dari Nusantara ini, tidak serta-merta Belanda memberikan kembali negara ini kepada pemiliknya yang sah. Perang Dunia I dan II telah menjadi sebuah ladang transaksi haram para pelaku konflik. Mereka memperebutkan tanah-tanah yang berada di luar wilayah mereka. Ekspansi besar-besaran bangsa-bangsa Eropa untuk mencaplok negara lain lebih liar dari sikap rakus Kekaisaran Romawi di era sebelum kelahiran Jesus. Transaksi-transaksi haram itu diselimuti oleh tabir aneh bernama perjanjian. Dua blok besar saling kalah-mengalahkan, ketika ada satu blok telah kalah disana diwujudkan sebuah perjanjian, penyerahan tanah jajahan kepada pemenang perang. Penduduk pribumi di benua Asia, Afrika, dan Amerika tidak mengerti hal ini, tiba-tiba mereka harus menjadi budak terjajah, tiba-tiba sumber daya alam yang mereka miliki harus dirampok dan memenuhi gudang-gudang kekuasaan orang lain.
Kemerdekaan negeri ini digaungkan sebagai puncak perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai jembatan emas menuju ke masa depan. Teori-teori tentang bagaimana bangsa besar dengan persenjataan sederhana ini bisa merebut kemerdekaan disarikan oleh para sejarahwan. Satu sisi menyebutkan, kemerdekaan ini benar sebagai hasil perjuangan bangsa besar bernama Indonesia, dan pada saat yang sama, kemerdekaan ini merupakan perjanjian saja, tidak lebih dari itu. Maka, penjajahan sebenarnya tidak mengalami sebuah jalan buntu, bukan merupakan mata rantai yang hilang, kecuali merupakan satu bunga rampai, dia akan terus diwariskan oleh penjajah Asing kepada para perampok Pribumi.
Teori ke-dua ini memang mengejawantah di masa Daerah Operasi Militer di Aceh. Pemerintah memberikan informasi parsial kepada warga negara tentang alasan besar munculnya Gerakan Kemerdekaan di Aceh, bahkan cerderung ditutupi kecuali dibahasakan sebagai rangkaian konflik politik antara Pro Aceh Merdeka dengan Pemerintahan sah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemantik sebetulnya adalah penjarahan oleh Pemerintah terhadap sumber daya alam, harta sah para penduduk setempat. Sentralisasi telah menjadi raksasa rakus, mengeruk kekayaan alam Aceh, hasil darinya hanya didistribusikan di pusat-pusat kekuasaan. Jika pun ada, telah terjadi sebuah tukar guling kepemilikan, hasil eksploitasi dari Aceh digunakan oleh penguasa untuk membeli tanah dan lahan rakyat di pelosok-pelosok Pulau Jawa.
Warga Pribumi di Aceh tentu menyadari, walaupun ini dilakukan oleh pemerintah atas nama percepatan pembangunan namun karena tidak seimbangnya apa yang telah diberikan oleh negara kepada Aceh dengan apa yang telah dikeruk oleh negara berbuntut pada tuntutan, Aceh ingin mengurus dirinya sendiri. Karena pembahasaan bisikan-bisikan kemerdekaan dan otonomi ini disuarakan oleh orang-orang politik waktu itu, dengan sigap, pemerintah Indonesia menyebut ini sebagai konflik politik, sebuah gerakan separatis, rongrongan terhadap pemerintah yang sah. Tanpa melihat, latar belakang tuntuntan kemerdekaan itu sebanding dengan apa yang telah dituntut oleh leluhur kita, para pejuang kemerdekaan negeri ini ketika VOC dan para penjajah merampok sumber daya alam negeri ini dengan rakus. Para penuntut kemerdekaan di Aceh bisa disebut sebagai kaum separatis oleh Pemerintah sama halnya dengan para pejuang kemerdekaan negara ini disebut kaum ekstrimis oleh VOC.
Siapa pun akan memiliki sikap sama, ketika kemerdekaan dirampas oleh pihak lain, ketika harta warisan leluhur dirampok oleh orang lain, maka di sana akan muncul sebuah determinasi diri untuk melepaskan diri dari cakar-cakar tajam meskipun dilakukan oleh sebuah negara sah. Akan berbeda, jika pemerintah lebih mengedepankan sebuah kebijaksanaan, tuntutan dari berbagai wilayah disimak baik-baik bukan dilawan secara frontal dengan pengerahan pasukan bersenjata. Separatisme di berbagai negara seperti di Queebec, Kanada berhasil dengan damai, tanpa penduduk negeri itu harus kehilangan hak mereka sebagai warga negara.
Beberapa hari lalu, OPM mendirikan kantor cabang di Oxford Inggris. Ini bukan tamparan bagi pemerintah NKRI kecuali harus menjadi sebuah renungan, sudah seberapa besar negeri ini menjual harta kekayaan Papua kepada orang lain. Apa yang telah diberikan oleh pemerintah atas 'Penggadaian' - bahkan cenderung mempersilahkan Papua dirampok oleh negara lain – Papua kepada penduduk pribumi? Apa yang telah dilakukan oleh negara untuk memproteksi eksploitasi minyak dan gas milik warga Papua oleh British Petroleum? Keuntungan besar apa yang telah diberikan kepada warga Papua dengan hadirnya Free-port milik Amerika? Jika masih minim, maka tugas penting pemerintah adalah bukan menembaki orang-orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan rumahnya, melainkan harus berani mengusir kongsi-kongsi perusahaan asing tersebut, bukan malah melakukan perjanjian dan transaksi haram seperti para penjajah di masa Perang Dunia I dan II.
KANG WARSA | SUKABUMI DISCOVERY
Posting Komentar untuk "THE INDEPENDENCE MOVEMENT"