Dua minggu terakhir ini, para orangtua siswa merasa khawatir terhadap anak-anak lelaki mereka. Tawuran pelajar yang telah menewaskan 4(empat) orang pelajar di Cibadak menjadi salah satu alasan para orangtua harus lebih berhati-hati dalam memilih sekolah untuk anaknya kelak.
Patologi sosial dalam bentuk kenakalan remaja telah lahir di negara ini di era 70-an. Gempita ini berbanding lurus dengan maraknya kelompok-kelompok dan berbagai geng.
Bukan hanya remaja, tawuran antar kampung, pemuda atau sekelompok remaja pecinta aliran-aliran musik pun sering terjadi di era ini.
Kenapa para remaja dan pemuda senang berkelompok-kelompok atau memasuki salah satu geng? Ini merupakan hal alamiah yang terjadi dalam diri remaja. Aktualisasi diri dan keinginan mereka untuk diakui eksistensinya.
Adanya kecendrungan remaja dan kelompoknya melakukan tindakan ke arah yang tidak seharusnya disebabkan oleh beberapa faktor dan varian penyebab lainnya.
Lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap munculnya patologi sosial seperti kenakalan remaja ini. Namun, hal ini tidak berdiri begitu saja, lingkungan dipengaruhi oleh masa lalu.
Hiruk pikuk tawuran di era 60an sebetulnya sudah terjadi dan berlangsung secara massif. Tawuran antara satu kelompok pendukung partai A dengan B di taun 60an sering terjadi. Mau tidak mau, peradaban seperti ini telah melahirkan lingkungan kasar, keras, dan mengesampingkan nilai-nilai akliah.
Tawuran antar pelajar mulai merebak di taun 80an, terjadi di kota-kota besar. Lebih parah, sering terjadi di Jakarta.
Kondisi ini menjadi tontonan menarik bahkan akan menjadi tuntunan kurang baik bagi para pelajar di daerah-daerah. Pelajar di daerah mengambil hal ini sebagai contoh.
Sejak tahun 1988-1990, tawuran pelajar di Kota Sukabumi sering melibatkan siswa STM Pasundan, Kartika Chandra, dan AMS. Tiga sekolah ini, para siswanya sering terlibat bentrok. Seolah ada kaderisasi, bahkan tanpa perlu diwariskan pun adik-adik kelas mereka akan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh kakak kelasnya.
Ada kebijakan bagus dari STMN Sukabumi di tahun 1997, siswa yang terlibat tawuran, berkelahi, atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh siswa (pelajar) akan dikeluarkan dari sekolah.
Sekolah negeri bisa melakukan kebijakan ini karena faktor banyaknya siswa. Sedangkan sekolah-sekolah swasta akan berpikir terlebih dahulu sebelum mengeluarkan seorang anak dari sekolah sebab akan berimbas terhadap berkurangnya siswa. Maka, sekolah-sekolah swasta berusaha maksimal bersikap preventif saja dengan memberikan bimbingan kepada para siswa, meskipun langkah ini kurang berhasil. Para pelajar tetap asik melakukan tawuran.
Hanya saja, tidak semua sekolah swasta terlibat di dalam tawuran. Misalkan, Mardi Yuana di tahun 1990an malah dikenal sebagai sekolah yang bisa melahirkan siswa-siswa berprestasi dalam hal akademik. Perolehan NEM (Nilai EBTANAS Murni) sering diraih oleh siswa-siswa sekolah ini.
Sementara sekolah-sekolah swasta lain yang notabene kurang menghasilkan siswa berpreatasi lebih banyak menyumbang keterlibatan dalam aksi tawuran.
Melihat dua hal kontradiksi di atas, maka penyebab utama tawuran tidak ditentukan oleh sekolah tersebut swasta atau bukan. Namun disebabkan oleh faktor seberapa bagus manajemen telah dilakukan di sekolah-sekolah tersebut oleh pengelola dan para gurunya?
Sekolah-sekolah negeri lebih memperbanyak kegiatan ekstra kulikuler bagi para siswa. Ada sekolah yang memiliki kegiatan ekskul sampai di atas 30 ekskul dengan berbagai varian. Tujuan utamanya, menyediakan saluran yang tepat bagi para siswa. Dan sudah pasti harus didukung oleh sarana dan prasarana.
Sementara sekolah-sekolah swasta, dihadapkan dengan keterbatasan fasilitas. Varian ekstra kulikuler di sekolah swasta tidak sebaik di sekolah negeri. Mau tidak mau, banyak siswa yang tidak tersalurkan hasrat, emosi, bakat, dan minatnya.
Tersumbatnya saluran hasrat, emosi, bakat, dan minat siswa ini menjadi faktor: para pelajar lebih memilih nongkrong dan turun ke jalanan setelah pulang sekolah. Membentuk kelompok-kelompok, pada saat-saat tertentu melakukan vandalisme, mencoret dinding dan tembok sepanjang jalan dengan nama sekolah mereka.
Mau tidak mau dan ini menjadi keharusan, setiap sekolah harus benar-benar memikirkan kelengkapan fasilitas yang akan bisa menyakurkan bakat dan minat siswa agar tidak turun ke jalanan setelah pulang sekolah. Pemerintah wajib menyediakan ini, memberikan bantuan penyediaan sarana dan prasarana bukan hanya gedung sekolah saja.
Jika dianalisa, proses penerimaan siswa baru melalui penjaringan massal pada PPDB online pun memberi sumbangan besar terhadap munculnya tawuran. Penjaringan telah mencetak sebuah raksasa bernama seleksi. Seleksi ditentukan hanya oleh nilai akademik siswa. Mereka yang memiliki nilai kecil, akan bocor lalu melanjutkan sekolah ke sekolah swasta. Yang tidak lulus pun akan berusaha sebisa mungkin agar diterima di sekolah-sekolah negeri.
Anak-anak dengan prestasi akademik baik memenuhi sekolah negeri sementara anak-anak dengan prestasi akademik kurang baik akan memenuhi sekolah-sekolah swasta. Pengerdilan kecerdasan yang hanya dibatasi oleh sangkaan "kecerdasan hanya seputar IQ" ini telah melahirkan seleksi alam yang ganas dan liar. Survival for the Fittest Darwinis telah dipindahkan dari belantara dan lautan ke dalam pendidikan kita.
Beban berat materi pelajaran pun akan memengaruhi sikap dan prilaku siswa. Tekanan akan menyebabkan depresi. Depresi cenderung akan melahirkan prilaku menyimpang.
Sudah saatnya pemerintah memikirkan lebih mendalam: harus bagaimana sistem pendidikan di negara ini? Banyak solusi. Pertama, sekolah-sekolah swasta harus diberi fasilitas sebanding dengan sekolah negeri. Kedua, tinjau ulang kembali penerimaan siswa sekolah. Ketiga, tinjau kembali kurikulum yang membebani siswa, manfaat dan dampak buruknya.
Kenakalan remaja dan tawuran remaja memang merupakan penyakit yang akan selalu ada di setiap jaman. Namun ketika penyakit tersebut telah merenggut korban jiwa, sudah seharusnya bibit penyakit tersebut segera dilumpuhkan.
KANG WARSA
Dikirim Melalui Blackberry
Patologi sosial dalam bentuk kenakalan remaja telah lahir di negara ini di era 70-an. Gempita ini berbanding lurus dengan maraknya kelompok-kelompok dan berbagai geng.
Bukan hanya remaja, tawuran antar kampung, pemuda atau sekelompok remaja pecinta aliran-aliran musik pun sering terjadi di era ini.
Kenapa para remaja dan pemuda senang berkelompok-kelompok atau memasuki salah satu geng? Ini merupakan hal alamiah yang terjadi dalam diri remaja. Aktualisasi diri dan keinginan mereka untuk diakui eksistensinya.
Adanya kecendrungan remaja dan kelompoknya melakukan tindakan ke arah yang tidak seharusnya disebabkan oleh beberapa faktor dan varian penyebab lainnya.
Lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap munculnya patologi sosial seperti kenakalan remaja ini. Namun, hal ini tidak berdiri begitu saja, lingkungan dipengaruhi oleh masa lalu.
Hiruk pikuk tawuran di era 60an sebetulnya sudah terjadi dan berlangsung secara massif. Tawuran antara satu kelompok pendukung partai A dengan B di taun 60an sering terjadi. Mau tidak mau, peradaban seperti ini telah melahirkan lingkungan kasar, keras, dan mengesampingkan nilai-nilai akliah.
Tawuran antar pelajar mulai merebak di taun 80an, terjadi di kota-kota besar. Lebih parah, sering terjadi di Jakarta.
Kondisi ini menjadi tontonan menarik bahkan akan menjadi tuntunan kurang baik bagi para pelajar di daerah-daerah. Pelajar di daerah mengambil hal ini sebagai contoh.
Sejak tahun 1988-1990, tawuran pelajar di Kota Sukabumi sering melibatkan siswa STM Pasundan, Kartika Chandra, dan AMS. Tiga sekolah ini, para siswanya sering terlibat bentrok. Seolah ada kaderisasi, bahkan tanpa perlu diwariskan pun adik-adik kelas mereka akan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh kakak kelasnya.
Ada kebijakan bagus dari STMN Sukabumi di tahun 1997, siswa yang terlibat tawuran, berkelahi, atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh siswa (pelajar) akan dikeluarkan dari sekolah.
Sekolah negeri bisa melakukan kebijakan ini karena faktor banyaknya siswa. Sedangkan sekolah-sekolah swasta akan berpikir terlebih dahulu sebelum mengeluarkan seorang anak dari sekolah sebab akan berimbas terhadap berkurangnya siswa. Maka, sekolah-sekolah swasta berusaha maksimal bersikap preventif saja dengan memberikan bimbingan kepada para siswa, meskipun langkah ini kurang berhasil. Para pelajar tetap asik melakukan tawuran.
Hanya saja, tidak semua sekolah swasta terlibat di dalam tawuran. Misalkan, Mardi Yuana di tahun 1990an malah dikenal sebagai sekolah yang bisa melahirkan siswa-siswa berprestasi dalam hal akademik. Perolehan NEM (Nilai EBTANAS Murni) sering diraih oleh siswa-siswa sekolah ini.
Sementara sekolah-sekolah swasta lain yang notabene kurang menghasilkan siswa berpreatasi lebih banyak menyumbang keterlibatan dalam aksi tawuran.
Melihat dua hal kontradiksi di atas, maka penyebab utama tawuran tidak ditentukan oleh sekolah tersebut swasta atau bukan. Namun disebabkan oleh faktor seberapa bagus manajemen telah dilakukan di sekolah-sekolah tersebut oleh pengelola dan para gurunya?
Sekolah-sekolah negeri lebih memperbanyak kegiatan ekstra kulikuler bagi para siswa. Ada sekolah yang memiliki kegiatan ekskul sampai di atas 30 ekskul dengan berbagai varian. Tujuan utamanya, menyediakan saluran yang tepat bagi para siswa. Dan sudah pasti harus didukung oleh sarana dan prasarana.
Sementara sekolah-sekolah swasta, dihadapkan dengan keterbatasan fasilitas. Varian ekstra kulikuler di sekolah swasta tidak sebaik di sekolah negeri. Mau tidak mau, banyak siswa yang tidak tersalurkan hasrat, emosi, bakat, dan minatnya.
Tersumbatnya saluran hasrat, emosi, bakat, dan minat siswa ini menjadi faktor: para pelajar lebih memilih nongkrong dan turun ke jalanan setelah pulang sekolah. Membentuk kelompok-kelompok, pada saat-saat tertentu melakukan vandalisme, mencoret dinding dan tembok sepanjang jalan dengan nama sekolah mereka.
Mau tidak mau dan ini menjadi keharusan, setiap sekolah harus benar-benar memikirkan kelengkapan fasilitas yang akan bisa menyakurkan bakat dan minat siswa agar tidak turun ke jalanan setelah pulang sekolah. Pemerintah wajib menyediakan ini, memberikan bantuan penyediaan sarana dan prasarana bukan hanya gedung sekolah saja.
Jika dianalisa, proses penerimaan siswa baru melalui penjaringan massal pada PPDB online pun memberi sumbangan besar terhadap munculnya tawuran. Penjaringan telah mencetak sebuah raksasa bernama seleksi. Seleksi ditentukan hanya oleh nilai akademik siswa. Mereka yang memiliki nilai kecil, akan bocor lalu melanjutkan sekolah ke sekolah swasta. Yang tidak lulus pun akan berusaha sebisa mungkin agar diterima di sekolah-sekolah negeri.
Anak-anak dengan prestasi akademik baik memenuhi sekolah negeri sementara anak-anak dengan prestasi akademik kurang baik akan memenuhi sekolah-sekolah swasta. Pengerdilan kecerdasan yang hanya dibatasi oleh sangkaan "kecerdasan hanya seputar IQ" ini telah melahirkan seleksi alam yang ganas dan liar. Survival for the Fittest Darwinis telah dipindahkan dari belantara dan lautan ke dalam pendidikan kita.
Beban berat materi pelajaran pun akan memengaruhi sikap dan prilaku siswa. Tekanan akan menyebabkan depresi. Depresi cenderung akan melahirkan prilaku menyimpang.
Sudah saatnya pemerintah memikirkan lebih mendalam: harus bagaimana sistem pendidikan di negara ini? Banyak solusi. Pertama, sekolah-sekolah swasta harus diberi fasilitas sebanding dengan sekolah negeri. Kedua, tinjau ulang kembali penerimaan siswa sekolah. Ketiga, tinjau kembali kurikulum yang membebani siswa, manfaat dan dampak buruknya.
Kenakalan remaja dan tawuran remaja memang merupakan penyakit yang akan selalu ada di setiap jaman. Namun ketika penyakit tersebut telah merenggut korban jiwa, sudah seharusnya bibit penyakit tersebut segera dilumpuhkan.
KANG WARSA
Dikirim Melalui Blackberry
Posting Komentar untuk "Tawuran Pelajar"