Baligho Tidak Terpakai



Menulis catatan ke-3 tentang perjalanan demokrasi di Kota Sukabumi dari penyelenggaraan Pemilukada 2013 hingga Pilpres 2014 Saya lakukan sebelum makan sahur, tepat pukul 3.00 WIB. Terus terang, Saya tidak merasa, jika pekerjaan menulis ini seperti halnya teman-teman, para kuli tinta, sering dikejar tayang (Deadline). Memang, tugas berat di era kemajuan ini terletak pada bahu kawan-kawan wartawan. Mereka harus menyajikan informasi dan berita akurat, dalam hitungan jam, besok sepagi mungkin harus didistribusikan ke seluruh pelanggan, sungguh pekerjaan sulit. Karena kesulitan itu lah, Saya berani menyimpulkan, alangkah jelek jika profesi mulia;- membahasakan berita dan informasi kepada masyarakat- harus dibumbui oleh berita-berita ’miring’.

Penyampaian informasi melalui berbagai media merupakan sebuah keharusan di jaman kemajuan teknologi dan informasi seperti sekarang ini. Menciptakan Brand dan image merupakan bentuk kebutuhan dasar manusia, agar eksistensi satu hal/barang, seseorang, atau sebuah kelompok bisa diakui. Tujuan besarnya, agar memiliki nilai jual. Pra Pemilukada, tidak sedikit, kemasan-kemasan tersebut diciptakan, walaupun tidak digemari oleh sebagian besar masyarakat. Namun para pecinta dan penikmat pem-brandingan diri tetap melakukannya juga. Tanpa disadari, tiba-tiba pinggir-pinggir jalan di Kota Sukabumi diisi oleh aneka atribut dan alat peraga kampanye diri.

Politik pencitraan kah? Dalam hal ini, Saya tidak akan menempatkan diri pada posisi pengamat politik, fenomena seperti ini pada dasarnya merupakan hal wajar. Era telah memasuki keterbukaan, kemerdekaan berekspresi, berpendapat (lebih bagus berpendapatan), dan menentukan pilihan. Artinya, apa yang dilakukan oleh para penikmat kampanye diri adalah pilihan mereka.

Persoalan sebetulnya, untuk ukuran Kota Sukabumi sendiri, saat pra penyelenggaraan Pemilukada tahun 2013 sangat minim dengan ketokohan dan figuritas. Saat ada pun, maka ketokohan tersebut dicitrakan secara intens oleh para pendukung. Jenis ketokohan seperti ini adalah, ditokohkan, menokoh-nokohkan diri, atau paling sesat adalah menganggap dirinya sebagai seorang tokoh.

Jika mencermati dengan pandangan politis, maka sah-sah saja pencitraan dilakukan, baik dengan memasang photo serta sederet keberhasilan seseorang di dalam kehidupan hingga memasang iklan di media cetak dan elektronik. Sebab pada saatnya, penanaman benih pencitraan seperti ini akan dipanen saat Pemilukada berlangsung. Dan potret diri, spanduk, baligho, serta poster yang ditempel pada pepohonan itu, hampir 75%-nya tidak mencalonkan dan dicalonkan oleh partai politik. Saat tahapan Pemilukada 2013 memasuki penetapan zonasi larangan pemasangan alat peraga, baligho dan spanduk-spanduk pun dibersihkan oleh Satpol PP. Demi melihat itu, betapa menumpuknya sampah-sampah baligho dan spanduk tersebut.

Orang banyak menanggapi dengan sikap nyinyir dan sinis. Terhadap hal tersebut Saya berbaik sangka saja, sebab faktanya sikap nyinyir seseorang terhadap baligho atau spanduk seseorang karena dia telah punya pilihan. Pada sisi lain, ada orang yang memberi tanggapan datar, biasa-biasa saja, tidak pernah perduli terhadap kehadiran baligho dan spanduk. Pikir mereka, di warung-warung dan toko-toko pun banyak dipasang poster dan spanduk reklame produk mie dan barang jualan. Ini khan promosi. Yang bagus promosinya, laku dia dijual. Tidak dipromosikan pun, ya mempromosikan diri. Saat tidak laku pun, ,ya beli sendiri.

Pecinta lingkungan menanggapi dengan serius, apalagi pemasangan alat peraga kampanye diri tersebut sudah tidak lagi memerhatikan etika dan aturan pemasangannya. Ditempel pada pohon dengan cara dipaku, ditempel pada tiang listrik dan telephone, juga dipasang pada tembok-tembok terbuka milik masyarakat. Ini harus dibersihkan, tidak boleh dibiarkan.

“ Pasang baligho gitu harus bayar pajak tidak?” Seorang kawan di kampung bertanya kepada Saya.

“ Harusnya bayar!”

“ Yang ini pada gak bayar ya?”

“ Ada yang bayar, ada juga yang ndak bayar..!”

“ Lho, yang ndak bayar itu harus dicopot, dong. Biar adil.”

“ Hari ini dicopot, besok juga ada lagi poster atau baligho baru.”

Pemerintah Daerah, sepengetahuan Saya, sudah sering mengingatkan kepada seluruh partai politik, tidak tebang pilih, agar aturan main pemasangan reklame dipatuhi. Tapi, ya gitu ada yang mematuhi ada juga yang tidak. Banyak akal dan cara, alat peraga kampanye diri biasanya dipasang ditempat-tempat ramai namun sulit di jangka oleh siapa pun yang akan mencopotnya. Sisi positifnya, ya keberkahan bagi teman-teman di percetakan dan Digital Printing. Percakapan Saya dengan orang percetakan, omzet naik menjadi dua sampai tiga kali lipat. Bahkan, ada orang percetakan, sablon, dan konveksi mengajak kerja sama agar Saya mengondisikan para pasangan calon Pemilukada pada masa kampanye nanti.

“ Ini bisnis, bisa ngambil 30% dari harga penjualan, Pak Warsa!”

Saya ambil contoh, jika satu calon bisa Saya kondisikan dengan membuat 1.000 buah kaos dan alat peraga kampanye lainnya, dengan kisaran satu paket seharga Rp.30.000,- saja, bisa menghasilkan uang hampir 9 jutaan. Tetap saja, meskipun dengan alasan bisnis hal tersebut Saya abaikan. Kecuali ada etika bagi penyelenggara pemilu, hal lainnya adalah bisa jadi lemahnya Saya dalam berbisnis.

Banyak sekali cara dilakukan oleh masyarakat saat baligho-baligho dan spanduk harus dibuka. Membuka sembunyi-sembunyi di malam hari pun bisa dilakukan. ”Lumayan, untuk menutupi genteng bocor..!” Kata seseorang.

Menelaah hasil survey-survey terhadap efektivitas pemasangan potret diri pada baligho, disebutkan tidak akan menempuh angka 2% keberhasilan perolehan suara melalui pemanfaatan alat peraga seperti baligho dan spanduk tersebut. Saya sedikit menyimpulkan, keberhasilan seseorang dalam sebuah pemilihan ditentukan oleh etika sosial dan kuatnya jaringan. Etika sosial dan kekuatan jaringan tidak mungkin dibentuk dalam waktu seketika, dia membutuhkan proses panjang. Apalagi dengan penyebutan seseorang sebagai tokoh, membutuhkan waktu hingga puluhan tahun. Sejelek-jeleknya demokrasi (memasuki jalur mobokrasi) tidak akan bisa diraih dengan cara instan.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Baligho Tidak Terpakai"