Rompi dan Calon Independen



Bagi Saya pribadi, akan mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu sebelum mencalonkan jadi calon Ketua RT atau RW di tempat tinggal Saya. Ya, tentu selalu ada alasan; serendah-rendahnya jabatan sebagai ketua RT atau RW tentu akan dipertanggungjawabkan kelak. Masalah lain, menjadi pemimpin itu tidak sekadar bagaimana kita berpikir menyalurkan ambisi. Jangan salah lho, ada orang yang berambisi menjadi ketua RT dan RW. Lima tahun lalu, pernah ada kejadian, seorang calon ketua RT sampai harus mengeluarkan uang hingga 6 juta agar dia terpilih oleh msyarakat. Itu aneh sekali, tapi nyatanya memang ada.

Jadi ketua RT atau RW bukan jabatan hina atau rendah, bisa dikatakan posisi RT dan RW ini sebagai Pemerintahan ke-6 setelah Pusat, Provinsi, Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Meskipun di dalam Undang-undang Otonomi Daerah tidak dicantumkan klausul pemerintahan tingkat ke-6, dan seterusnya. Jabatan ini tidak akan menjadi hina jika diraih dengan cara baik; demokrasi yang sehat seperti adanya pemilihan langsung ketua RT dan RW.

Itu untuk menjadi ketua RT dan RW, apalagi jika hendak mencalonkan menjadi seorang walikota, maka akan ada sejuta pertimbangan dalam pikiran Saya sebelum mencalonkan menjadi walikota. Sederhananya begini, Saya akan bersedia mencalonkan menjadi calon walikota jika tidak ada orang lain yang mencalonkan. Biar mudah meraih kemenangan, tanpa ada persaingan, tiba-tiba warga Kota Sukabumi memilih Saya. Tapi itu mustahil, sebab jabatan ketua RT,RW, bahkan DKM Mesjid saja masih ada yang memperebutkan.

Pada penyelenggaraan Pemilukada tahun 2013 lalu, saat tahapan pemilukada memasuki pengumuman pendaftaran calon perseorangan, dalam bahasa umum disebut calon independen, sebetulnya banyak tokoh dan figur di Kota Sukabumi ini yang kesengsrem untuk mendaftarkan diri. 

Tapi tunggu dulu, demi melihat persyaratan calon perseorangan ini agak lebih berat daripada mendaftarkan calon melalui jalur partai politik, calon independen harus memiliki 17.722 dukungan dengan dibuktikan oleh photo copy indentitas kependudukan yang ditandatangi juga oleh pemiliknya. Sampai satu minggu setelah pengumuman belum ada satu pasangan calon pun yang mendaftar ke KPU Kota Sukabumi. 

Padahal, satu semester sebelum memasuki tahapan pemilukada 2013, di beberapa Koran santer sekali diberitakan orang-orang yang memiliki keinginan untuk menjadi calon walikota dan wakil walikota. Salah satu Koran mengadakan polling dan jejak pendapat, hamper ada 12 orang masuk ke dalam daftar polling tersebut dengan raihan suara hampir 10-21%. Bahkan ada tokoh-tokoh atau sebut saja orang yang tiba-tiba menokohkan diri sendiri memasang spanduk dan baligho bergambar diri mereka. Entah apa maksudnya, tiba-tiba pinggir-pinggir jalan dipenuhi oleh potret-potret diri mereka. Kawan saya berbisik, “ Kartu Tanda Penduduk kok tiba-tiba menjadi besar ukurannya…!”, saat melihat ada seseorang memasang baligho lengkap dengan identitasnya. 

Mungkin tidak akan ada calon independen di pemuliada 2013 ini, bathin saya. 

Siang hari, di pertengahan bulan Oktober 2012, Saya kaget sekali. Teman-teman wartawan tiba-tiba berkumpul di ruangan Media Center KPU Kota Sukabumi. “ Akan ada calon perseorangan mendaftar..!” Kata seorang wartawan kepada Saya. 

 “ Siapa?” 

 “ Ndak tahu, orang baru, pemain baru.” 

 “ Pernah masuk polling koran kamu? Ada spanduk atau balighonya?” Serbu Saya. 

Ndak.. spanduk juga ndak ada! Tapi dia berani nyalon.” 

Sesaat kemudian, halaman depan kantor dipenuhi orang-orang. Wajah-wajah yang tidak biasa Saya lihat. Ya, bakal calon walikota dan wakil walikota dari jalur independen diiringkan oleh para pendukungnya, tidak terlalu banyak sich, sekitar 50 orang. Hanya saja, karena halaman kantor tidak terlalu besar, ya dengan jumlah 50 orang pun, terlihat menjadi lebih meriah. 

“ Itu ya calon yang akan mendaftar téh, Bro?” Tanyaku pada beberapa teman wartawan. 

Sebagian besar dari wartawan diam sesaat. Mengamati melalui pintu ruangan gerak-gerik bakal calon yang akan mendaftar. 

 “ Hehehe.. bakal calon walikotanya dipeci dan dirompi.” Bisik seorang wartawan. 

 “ Emang salah?” Tanya Saya. 

 “ Ndak, ndak salah, hanya saja jika terpilih menjadi walikota gimana ya, dari jaman Rambonet hingga Muslikh Abdusysyukur ga pernah ada walikota di balaikota memakai rompi.” Katanya menjelaskan.

Sebetulnya saya sudah mampu menangkap pesan yang akan disampaikannya, redaksi aslinya bisa jadi seperti ini, “ Bagaimana jika dia terpilih menjadi walikota?!” 

 Hampir seluruh orang yang bekerja di KPU Kota Sukabumi tidak mengenal dua sosok bakal calon walikota dan wakil walikota tersebut. Hanya menebak-nebak saja, mungkin mereka orang kaya, pengusaha sukses, makanya berani mengambil jalur perseorangan dalam pencalonan walikota dan wakil walikota. 

Setelah resmi mendaftarkan diri, diberitahukan oleh KPU terkait persyaratan calon perseorangan, dua minggu kemudian bakal pasangan calon tersebut resmi dinyatakan tidak memenuhi syarat pencalonan. Dan, pada pemilihan umum kepada daerah Walikota dan Wakil walikota Sukabumi tahun 2013 tidak diikuti oleh calon independen. 

“ Saya lebih mewaspadai calon-calon yang tidak berompi.” Kata Saya. 

“ Kenapa?” 

“ Bisa jadi, mereka memakai rompi anti peluru di bagian dalam sebelum memakai baju!” 

“ Emang salah?” Temanku balik menyerang. 

 “ Ndak salah …” 

Anggota KPU, Staff, dan Media Center pasca pengumuman calon perseorangan berbenah diri untuk menghadapi pendaftaran calon melalui jalur partai politik. Akan lebih meriah. Sementara para anggota PPK dan PPS di beberapa wilayah saat itu sedang sibuk melakukan pencermatan dan klarifikasi terhadap KTP serta bukti identitas kependudukan lain yang digunakan oleh bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang mendaftar melalui jalur perseorangan. (*) 

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Rompi dan Calon Independen"