Badranaya

Sekitar dua dekade lalu, di kampungku pernah hidup seorang lelaki, umurnya saat itu hampur menginjak tujuh puluh tahun. Saya akan mengisahkan tentangnya beberapa alinea saja dalam tulisan ini.

Di dunia ini, dengan beragama pikiran, ide, gagasan, hingga sikap, tidak sedikit di antara kita memiliki pandangan ; saya bangga sebagai diri saya karena saya turunan raja. Dengan beragam pikiran tersebut tidak sedikit ada orang yang mengaku dirinya sebagai titisan ‘anu’ dan ‘itu’. Lebih monumental adalah mengaku diri sebagai seorang turunan ‘nabi’.

Padahal hidup adalah sikap seperti yang pernah dilakukan oleh orang yang Saya ceritakan. Dia seorang tua namun tidak merasa bangga dengan kesenioritasannya. Hal paling penting dalam hidupnya adalah, dicaci atau dimaki oleh siapa pun, dia tidak pernah melawan. Semua cacian disikapi dengan senyuman, bahkan dia sering mengatakan: Saya memang salah… kepada orang yang memakinya.

Pernah terbersit dalam benak Saya, bisa jadi dia memang memiliki ilmu ‘semar mesem.’ Konon, ilmu ini ilmu tingkat paling tinggi di dunia pewayangan. ‘ Semar mesem’, dikatakan sebagai ilmu tingkat tinggi karena satu hal, menghadapi apa pun, kesulitan hidup, kepayahan zaman, dengan senyuman. Tidak pelak, ketika dicaci atau dicerca pun cukup diam atau dibalas dengan seutas senyum. Sudah pasti sangat sulit.

Banyak orang ingin memiliki ilmu ‘semar mesem’ ini. Ternyata Alloh menyediakan ilmu ini tidak di sekolah-sekolah, tidak di pondok pesantren, tidak di oikumene-oikumene, juga tidak di kuil dan kastil. Ilmu ini disediakan-Nya dalam kehidupan ini. Sikap seorang Semar dalam menghadapi kehidupan ini tidak menghasilkan gelar sarjana, magister, juga doktor. Gelar tertinggi dari kehidupan yang disematkan kepadanya adalah ‘Badranaya’, perilaku cemerlang rembulan. Semakna dengan kata ‘Muhammad’, sang manusia terpuji.

Disepakati atau tidak, secara konteks, ‘Badranaya’ atau ‘Muhammad’ adalah sebutan bagi siapa saja yang memiliki ahlak terpuji, sebab secara letterlek, ‘Badranaya’ atau ‘Muhammad’ adalah manusia. Siapa pun bisa menjadi ‘Badranaya’ atau ‘Muhammad’ ketika telah mengaplikasikan sikap terpuji dalam hidup. Memang sangat sulit. Menghadi cemooh atau cacian orang lain saja kita masih menanggapinya dengan cercaan baru, bahkan dengan fitnahan. Maka, apa pantas hidup kita disandingkan dengan ‘ Badranaya’ atau ‘Muhammad’?

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Badranaya"