Pada Zaman Dahulu Kala



Suatu hari datanglah lelaki itu, memakai celana jeans, berambut gondrong, dan memakai kemeja tangan panjang corak kotak-kotak. Bukan nabi atau pewaris nabi yang selalu memakai sorban dan kain penutup kepala, bukan juga pastor atau kaum father yang biasa memakai topi-topi Dagon pada kepalanya, juga bukan biksu, dan pandita. Dia hanya manusia biasa. Menurut penuturannya, dia datang dari sebuah negeri; bukan Atlantis, Lemuria, atau Negeri bernama Wonder-Land.

Dia bercerita: “ Aku datang dari sebuah negeri, kalian biasa menyebutnya negeri entah berantah, sebuah negeri yang diceritakan dengan awalan, pada zaman dahulu kala… Ya, seperti Coelho dalam Eleven Minute-nya, mengawali cerita dengan kalimat itu. Negeriku terletak di balik gunung ketika matahari terbit atau terbenam, bisa juga kau sebut, negeriku berada di balik gemawan saat semburat kuning dan cahaya emas lembayung menerangi seantero bumi. Yang jelas, kalian akan mengawali negeriku dengan kalimat, pada zaman dahulu kala…

“ aku akan menceritakan kehidupan di negeriku. Negeriku berbeda dengan negerimu , di negeriku orang-orang tidak pernah sibuk memikirkan bagaimana masa depan, uang, jabatan, profesi, dan bahasa-bahasa bernada kekhawatiran di masa depan. Itulah sebabnya, waktu di negeriku berjalan begitu lambat, hening, karena semua orang di negeriku tidak sedang hidup di masa depan. Mereka menikmati hidup di masa sekarang, tanpa keluh-kesah.

“ Sawah dan ladang di negeriku ditanami oleh padi dan sayur mayur, kami panen setiap enam bulan sekali. Saya selalu membantu orangtua, mulai dari mencangkul, menaburi sawah dengan berbagai pupuk kandang dan kompos, menanam padi, hingga memanen dan menjemurnya hingga kering. Padi-padi hasil panenan di negeriku disimpan di sebuah ruangan, di pinggir-pinggir sawah kami membuat dan membangun gubuk-buguk kecil yang memiliki ruangan tempat penyimpanan sebagian hasil panen. Sisanya, kami tumbuk di lesung-lesung. Para wanita menumbuk padi yang sudah kering sambil bernyanyi riang, rona dan raut wajah bahagia.

“ Kami pun berkebun, menanam kacang-kacangan, adas, mentimun, dan palawija. Hasil kebun tidak kami jual, tapi saling bertukar. Aku tahun kemarin menanam jagung pada satu petak kebun, hingga 6 bulan kemudian aku memanennya, kemudian kami saling tukar hasil pertanian, saling menikmati hasil kebun itu. Jagungku ditukar dengan labuh-labuh besar dengan tetanggaku. Kami membakar jagung di malam hari, ketika langit ditaburi bintang, di luar gubuk, disertai gelak tawa. Malam di negeri kami begitu panjang, kami bisa bergadang selama berpuluh-puluh jam. Suara angin mendesir dan terdengar gemercik air di selokan. Pulang dari gubuk, kami melalui pematang-pematang berembun, kami tidak khawatir terhadap bianatang malam atau ular-ular. Di negeriku, binatang-binatang pun menghormati kami karena kami tidak pernah mengganggu hidup mereka.

“ Sekolah pun ada, aku menyekolahkan anakku di sebuah sekolah yang terletak di pinggir kampung halaman. Guru-guru kami tidak mengajarkan hal-hal rumit di sekolah, yang diajarkan hanya lah bagaimana cara kami hidup dan menghadapinya tanpa keluhan. Musikus, seniman, olahragawan, dan jenis profesi lainnya tidak dihasilkan dari sebuah akademi, mereka dihasilkan oleh keinginan dan usaha mereka sendiri. Banyak penemu-penemu hebat di negeri kami, tidak dipatenkan atau dijual, karena hasil temuannya digunakan untuk kepentingan bersama. Musik-musik diperdengarkan di sebuah tempat pada saat-saat tertentu, seperti lokananta yang ditabuh dari kahyangan. Mereka menciptanya tanpa paksaan akan diberi penghargaan, dimasukkan ke dalam kaset, kami langsung mamainkan alat musik itu.

“ Pimpinan di negeriku tidak menyukai hura-hura, dia akan membetulkan sebuah pematang sawah jebol ketika suatu waktu dia melakukan kunjungan ke wilayah dan daerah-daerah. Yang ditanyakan oleh dia hanya satu, anakmu sehat? Hanya itu. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana strategi perang, seni perang, dan bela diri. Karena di negeriku kejahatan dan potensi-potensinya sama sekali tidak ada. Semua orang percaya dan bertanggung jawab pada dirinya dan keselamatan orang lain. Bahkan, di negeriku tidak akan ditemui tentara dan polisi, tidak perlu seorang pimpinan di kawal-kawal oleh satu kompi pasukan, dia akan berjalan ketika dia mau dan ke mana saja tanpa harus ada macam-macam bernama prosedur.

“ Setiap hari, aku selalu menyempatkan diri jalan-jalan ke beberapa pusat keramaian. Orang-orang saling menyapa dengan seuntai senyum. Dalam hidup kami, hampir tidak ditemui air mata kepedihan dan kesedihan, melainkan dipenuhi oleh cinta dan kasih. Saat tangis bayi terdengar, ada air mata mengalir pada pipi si bayi, tidak kami seka dengan kain atau sapu tangan, kami menyekanya dengan tangan-tangan kami, penuh kelembutan. Setiap ada tangis bahagia, kami selalu saling mengelusnya langsung dengan tangan kami.

“ di sana, ya di negeriku, pernikahan dijunjung tinggi. Kami saling mencintai dengan pasangan, tanpa harus merasa iri dengan pasangan lainnya. Tidak ada pernikahan dan cinta yang didahului oleh ucapan; karena cantik atau tampan. Sebab, di negara kami cantik dan tampan adalah watak bawaan. Masing-masing di antara kami setelah berumah tangga akan membangun rumah, dikerjakan bersama-sama, saling membantu. Rumah-rumah di negeri kami tidak berdempet-dempet, tetapi terbuat dari kayu dan bambu kemudian diberi jarak beberapa meter. Tidak ada bentuk rumah terlalu besar atau terlalu kecil, semua sama, karena rumah bukan tempat untuk memamerkan siapa diri kita, rumah hanya tempat berlabuh dan mendayung sampan menyebrangi sungai malam.

“ Masing-masing orang memiliki hewan ternak dan peliharaan. Aku memelihara dua ekor kelinci, kuberi nama Si Putih dan Si Hitam. Kelinci-kelinci itu setiap hari memamah rerumputan pekarangan rumah. Atau sering dibawa oleh anakku ke pinggiran kampung, kemudian dibiarkan menimkati rumput-rumput segar pada pematang-pematang sawah. Di sana telah ada anak-anak lain, kemudian mereka bersenda gurau berkejaran melintasi pematang-pematang sawah.

“ Tuhan? Ya, di negeriku Tuhan merupakan kuasa tertinggi. Kami percaya sepenuhnya akan kemahamurahan dan kemaha cintaanNya. Itulah makna dari ajaran di negeriku. Ketika Tuhan memiliki kemaha rahiiman, maka apa pun itu tidak ada alasan bagi orang-orang di negeriku memiliki anggapan keliru jika Tuhan akan menyiksa mahlukNya. Kami semua tergantung dan menggantungkan hidup kepada kemurahanNya. Oleh sebab itulah orang-orang di negeriku tidak mengkhawatirkan kekurangan makan, minum, dan jiwa. Kami percaya sepenuhnya, Tuhan , tanpa dipinta pun akan memberikan karuniaNya, tiada henti. Aku selalu menatap titik embun di kuncup mawar setap pagi, menikmati kehadiran Tuhan dalam kehidupan ini. Tidak ada perang apalagi pembunuhan, sebab Tuhan Maha Kasih dan Sayang, dimaknai oleh kami sepenuhnya, segala hal yang bertentangan dengan kemaharahiimanNya merupakan hal tercela. Maka tidak akan ditemui perang atas nama Tuhan di negeriku, karena mana mungkin Tuhan menyuruh Kami berperang dan memusuhi satu sama lain?

“ Ya, seperti yang kamu bayangkan, negeriku dipenuhi lautan cahaya…. kasih sayang. “ Dia tersenyum. Sebelum pamit kepadaku. “ Intiplah kehidupan kami dibalik gunung itu saat matahari menciptakan semburat lembayung dan lempengan-lempengan emas… kamu harus membiskkan kalimat, pada zaman dahulu kala jika ingin mengintip kehidupan di negerku!”

Aku tertegun, entah berapa lama… hingga lelawa keluar dari persembunyiannya. Lalu kukatakan, “ pada zaman dahulu kala …!”

Posting Komentar untuk "Pada Zaman Dahulu Kala"