Teisme dan Ateisme, Rasa Takut


Madzhab ‘free-thinker’, para pemikir bebas , telah menjamur di negara-negara Eropa dan Amerika pasca perang dunia II. Kemerdekaan berpikir ini telah menyentuh ranah hal yang paling tabu, intinya mempertanyakan : kenapa Tuhan harus ada? Apa keyakinan kita?

Ranah spiritual dipertanyakan, bukan untuk mencari kebenaran dan mengorelasikannya dengan logika, melainkan dihantam dan ditiadakan. Pesan Karl Marx yang pada mulanya bersifat sunyi itu kini menjadi gempita dan bergemuruh. Orang-orang ateis di Amerika, sejak tahun 1970an sering menggelar pawai, berkumpul, tidak jauh berbeda dengan kelompok agamis yang senantiasa mengumandangkan da’wah, ajakan, dan pencerahan.

Mereka menyimpulkan, Agama merupakan opium, membius masyarakat, dan Tuhan adalah citra dari khayalan.

Di beberapa negara ,kelompok ateis telah mendirikan stasiun televisi. Perekrutan besar-besaran dilakukan dengan cara membuka tempat pendaftaran. Sudah tentu, dalam ingar-bingar arus kehidupan yang dipenuhi oleh pertikaian politik dan dominasi, mereka membutuhkan banyak pengikut.

Padahal, aktualisasi dari pencarian nilai spiritual dan penghilangan spiritual harus benar-benar dilakukan oleh permenungan diri sendiri. Orang ingin beragama dengan baik saja, dilarang untuk menyampaikan sinyal dan pesan kepada orang lain. Untuk hal ini, kita sering lupa. Ada kepura-kepuraan agar kita disebut kelompok sholeh.

Orang ingin membunuh Tuhan, melenyapkan kehadiran-Nya dalam kehidupan itu merupakan ranah pribadi. Saat upaya pembunuhan terhadap Tuhan kemudian harus dilakukan secara beramai-ramai, mencari dukungan sebanyak mungkin, tindakan seperti itu bisa disebut; “pencitraan”, bagi orang kampung biasa disebut, pupujieun.

Pengalaman spiritual manusia adalah ranah subyektif. Orang lain tidak perlu tahu seberapa dekat Aku dengan-Nya.

Dilansir dari beberapa situs, perkembangan ateisme mengakar di kelompok usia antara 18-22 tahun. Kepindahan mereka dari keyakinan teisme ke ateisme dikhawatikan bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh diri mereka sendiri. Sama halnya, dengan masuknya beberapa pemuda di negara ini pada ajaran ekstrim, mereka pada mulanya dihinggapi perasaan takut.

Seorang mahasiswa ateis - Lasan Dancay Bangura- mengisahkan. Dia adalah pimpinan kelompok ateis di kampusnya.

Dia mengatakan, ibunya sempat syok saat mengetahui dirinya adalah ateis. "Ibu saya juga sangat marah," ungkapnya.

"Tapi saya pikir, ibu saya akan menerima pilihan saya ini, walaupun sejauh ini kami tidak membicarakan soal ini. Saya yakin, ibu saya tidak akan mengusir saya dari rumah," ujarnya.

Namun demikian, Dancay-Bangura mengaku dia belum memberitahu ayahnya tentang pilihannya menjadi atheis.

Ada rasa takut di sana.

Pencarian Tuhan dan upaya untuk menihilkanNya harus dilakukan secara pribadi, wilayahnya betul-betul privasi. Sebab, keyakinan dan nilai spiritual bukan partai politik yang membutuhkan banyak pendukung, bukan juga twitter yang membutuhkan banyak follower.

Kehidupan akan tentram jika manusia telah menyerap spiritualitas kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan dalam bentuk sikap. Dan dunia akan tetap penuh gemuruh perang, pertikaian, saling bunuh, saat keyakinan telah disulap menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan. Entah oleh kelompok penganut theisme atau atheisme.

KANG WARSA | Photo: BBC World Service

Posting Komentar untuk "Teisme dan Ateisme, Rasa Takut"