"Apakah pendatang baru itu membutuhkan tanah demi kekayaan yang terkandung di dalamnya, atau apakah dia hanya ingin mendesak penduduk asli memproduksi surplus pangan dan bahan mentah, sering kali tidak relevan; juga tidak banyak bedanya apakah warga pribumi itu bekerja di bawah supervisi langsung pendatang baru itu ataukah hanya di bawah satu bentuk tekanan tak langsung, karena dalam setiap kasus apa saja, sistem sosial dan budaya penduduk pribumi harus dihancurkan! " (Karl Polanyi, The Great Transformation)
Polanyi berpendapat, kapitalisme baru muncul setelah lahirnya sistem perdagangan bebas di Inggris pada tahun 1830. Kapitalisme ini dilahirkan dari rahim merkantilisme, di mana Negara harus berperan besar dalam penguasaan lahan-lahan pertanian, meningkatkan eksport hasil bumi sebanyak-banyaknya yang diawali dengan tindakan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran.
Hal ini dilakukan demi tujuan menambah pendapatan asli suatu daerah atau Negara. Ketika sumber-sumber daya alam di dalam negeri sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan eksport, maka sumber-sumber daya alam itu harus dicari entah melalui jalur politik (kekuasaan Negara) atau pun oleh penguasaha-pengusaha swasta dengan aturan main, sebagian keuntungan darinya harus masuk ke dalam kas Negara.
Penjelajahan yang berujung pada bentuk penjajahan ini sudah pasti menggerus lahan-lahan negeri jajahan; baik dengan cara diambil atau pun dibeli. Pribumi kehilangan tanah sementara mereka harus menerima budaya bangsa pendatang.
Menjelang Kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia banyak hal yang harus dipikirkan, kebijakan pemerintah yang harus selalu berpihak kepada kearifan lokal, kearifan yang dibangun di atas landasan agraris. Keberpihak kepada penyelamatan lahan-lahan pertanian. Seperti pada photo di atas, seorang petani sebetulnya ingin menyampaikan pesan, Kibarkan sang dwi warna di tanah agraris!. Kembalikan kampung halamanku menjadi seperti dulu; bukan dipenuhi oleh kebisingan suara mesin dan gemuruh kendaraan.
Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukan hal begitu penting tentang luas lahan pertanian di Kota Sukabumi. Terjadi pergeseran cukup besar antara tahun 2010 hingga 2013, dari lahan pertanian menjadi lahan kering dan areal pemukiman serta usaha, dari angka 1.848 hektar menjadi 321 hektar.
Kota Sukabumi telah kehilangan sebesar 1.500 hektar lahan pertanian selama tiga tahun terakhir. Fakta tersebut mengharuskan Dinas Pertanian , Perikanan, dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi berpikir keras dalam menyikapi hal ini. Satu semester lalu, Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan (DPPKP) Kota Sukabumi berupaya memaksimalkan pngembangan sektor agribisnis. Seperti dijelaskan Kepala DPPKP Kota Sukabumi, Ir Hajah Kardina Karsoedi, M.T., karena ketersediaan lahan pertanian di Kota Sukabumi, dari tahun ke tahun senantiasa berkurang. Buktinya, luas lahan pertanian yang ada di Kota Sukabumi, saat ini hanya tinggal sekitar 321 hektar lagi.
Secara turun-temurun, dari tahun 1584, status pertanahan di daerah ini (Sebelum menjadi Sukabumi) merupakan tanah ulayat, tanah adat. Rakyat diberi keleluasaan untuk membuka hutan menjadi lahan terbuka, areal pertanian mulai dibuka, sebagian lagi dijadikan areal pemukiman.
Pembagian tanah oleh Kerajaan Padjadjaran kepada rakyat waktu itu dibagikan secara komunal, rakyat harus mengolah lahan secara bersama-sama. Sistem pengelolaan dan pengolahan lahan pertanian pun harus dilakukan secara komunal sebab tanah dan areal pertanian merupakan tanah adat, siapa pun, para pendatang baru akan diberikan izin untuk mengelola lahan jika dia telah menjadi bagian dari masyarakat komunal.
Konsekwensinya, siapa pun tidak memiliki hak untuk menjual tanah kepada siapa saja, dengan cara apa pun. Rakyat hanya dibolehkan mengelola dan mengolah lahan demi kepentingan mereka sendiri, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam masyarakat komunal tersebut.
Peralihan status dari tanah ulayat (adat) menjadi tanah hak milik orang perorang terjadi tiga abad setelahnya. Kapitalisme yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia mengharuskan Belanda mencari lahan-lahan perkebunan baru baik dilakukan oleh Kerajaan atau pun oleh swasta – tentu saja pihak swasta pun harus melalui izin dari Kerajaan Belanda - .
Perluasan lahan perkebunan Belanda ini telah membawa seorang Wilde ke Sukabumi pada tahun 1813. Pada tahun itu juga, Wilde sebagai seorang Prianger Planter mengajukan permohonan pembelian lahan seluas 2000 hektar, lahan yang membentang dari kaki Gede Pangrango sebelah utara hingga Sungai Cimandiri sebelah selatan. Migrasi besar-besaran orang-orang Belanda dari Bandung terjadi pada tahun ini.
Hal ini menjadi alasan daerah Cikole diganti nama menjadi Sukabumi, semakin banyaknya para imigran Belanda mendiami wilayah ini mengharuskan pemerintahan Belanda memberikan status sebagai Kota Praja pada tanggal 1 April 1914. Untuk memenuhi target pemenuhan pangan dan pengangkutan hasil perkebunan ke Batavia dan Bandung dibangun infrastruktur seperti jalan dan rel kereta api. Wilayah Utara Sukabumi menjadi pusat Kota Praja, perumahan dan daerah pemukiman semakin meluas.
Kepemilikan tanah adat menjadi hak milik pribadi telah dibuka oleh pemerintah Kolonial dan mulai diberlakukan pasca dihentikannya Sistem Tanam Paksa (cultural setelsell) pada tahun 1870. Peralihan status tanah ulayat (tanah adat) menjadi tanah hak milik dapat dilakukan oleh warga pribumi dan para petani dengan cara mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial. Pengajuan ini sudah tentu harus diimbangi dengan pemberian atau pembayaran uang kepada Belanda, siapa pun yang mampu membayar dengan harga cukup mahal, maka dia akan mendapatkan tanah.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, para petani sebagai warga pribumi tetap melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah ulayat yang telah berganti status menjadi tanah hak milik.
Diberhentikannya Sistem Tanam Paksa ini atas desakan kaum liberal dan para pemilik modal Belanda,mereka menginginkan agar lahan-lahan pertanian digarap secara benar oleh para petani, hasilnya bisa dijual dengan cara dimonopoli oleh para pemilik modal (kaum Kapitalis) Belanda.
Pada satu sisi, penghentian Sistem Tanam Paksa ini telah meringankan beban berat para petani di Sukabumi, namun pada saat yang sama, mereka harus masuk ke dalam sistem baru, monopoli perdagangan, harga gabah telah ditentukan oleh para pemilik modal, tentu dengan harga murah. Dari tahun 1870-1917, menjelang berakhirnya perang dunia I, para petani di Sukabumi tetap menjadi warga Negara kelas III dan tidak menikmati hasil pertaniannya dengan baik. Lahan-lahan pertanian pun lambat laun beralih kepemilikan kepada para pemilik modal.
Selama 40 tahun terakhir, dari 1870-1917, pusat Kota Semakin ramai, lahan-lahan pertanian di pinggiran-pinggiran kota mulai beralih fungsi. Masuknya etnis Tionghoa ke Sukabumi, membeli lahan-lahan pertanian kemudian dialih fungsikan menjadi areal pemukiman dan usaha melatar belakangi semakin pesatnya perkembangan Kota Praja Sukabumi menjelang berakhirnya pemerintahan Kolonial Belanda.
Imigran Tionghoa dari Bandung dan Batavia ini membawa budaya baru, budaya pasar. Roda perekonomian di Sukabumi digerakkan oleh para pendatang Tionghoa ini. Akulturasi budaya Tionghoa dengan pribumi relatif tidak berjalan cepat, namun para pendatang Tionghoa lebih memahami untuk mengadopsi budaya Jawa-Sunda dalam beberapa hal, seperti pernikahan. Seorang perempuan Tionghoa yang baru menikah dengan seorang lelaki Tionghoa diperbolehkan untuk tetap tinggal dengan keluarga inti mereka, ini menjadi alasan pertumbuhan warga Tionghoa begitu cepat di Sukabumi.
Keberhasilan para pendatang Tionghoa dalam perekonomian ini, menjadikan mereka sebagai warga Negara kelas II setelah kaum kolonial. Efeknya, upaya-upaya untuk memiliki dan membeli tanah pun lebih dipermudah oleh pemerintah. Kerugian besar kembali dialami oleh para petani, pada masa pendudukan Jepang, beban pajak tanah sebesar 40% dari hasil produksi pertanian semakin memperparah keadaan, angka kemiskinan semakin meningkat tajam, kelaparan disebabkan oleh sikap para petani yang meninggalkan lahan-lahan garapan menjadi pemicu lahirnya rawan pangan, gabah-gabah hasil pertanian pun dirampas oleh tentara Jepang.
Perkembangan daerah pemukiman semakin memperlihatkan pertumbuhan cukup signifikan pasca kemerdekaan. Pusat Kota Sukabumi semakin meluas. Pertambahan jumlah penduduk telah menciptakan daerah-daerah pemukiman baru dengan pola linear dan menyebar. Daerah-daerah pinggiran pusat kota, jalan-jalan protokol semakin dipadati oleh penduduk, sementara daerah-daerah di pinggiran Sungai Cimandiri (sekarang daerah Baros dan Lembursitu), pemukiman penduduk memiliki pola menyebar karena ditentukan oleh lahan-lahan persawahan.
Reformasi agraria dikembangkan; pemerintahan Indonesia mengambil pelajaran penting terhadap sistem agraria di era kolonial, dilakukan penataan ulang kepemilikan tanah, penguasaan, dan penggunaan tanah. Jika tanah digunakan terlalu besar kepada sektor perkebunan pada dasarnya ini hanya akan menyengsarakan rakyat saja, dengan demikian monopoli terhadap kepemilikan lahan pun masih akan tetap bertahan.
Penggunaan lahan dan tanah harus dialih fungsikan ke sektor pertanian. Lahan-lahan milik rakyat yang dicaplok oleh Belanda dikembalikan kembali kepada rakyat dengan catatan, digunakan untuk pertanian dan tidak boleh dijual. Hak milik tanah merupakan hak asal rakyat, namun rakyat tidak diperbolehkan dijadikan barang dagangan hanya demi meraup keuntungan. Kebijakan yang dicetuskan oleh Hatta ini jelas sekali sangat menguntungkan rakyat kecil.
Pada tahun 1960 diberlakukan reformasi agraria, luas lahan pertanian mulai dihitung dan dipisahkan dengan lahan terbuka dan lahan kering. Reformasi agraria harus dijalankan demi tercukupinya kebutuhan pangan warga Negara. Jika ada satu petak lahan dijadikan lahan pemukiman, maka pemerintah di daerah harus bertanggung jawab untuk membuka lahan pertanian baru!
Kebijakan di era Orde Baru dalam pertanahan dan pengelolaan lahan pertanian ini tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi (luas lahan) areal persawahan di Kota Sukabumi. Suharto pun memiliki langkah yang sama dengan Soekarno dalam hal mengamankan lahan pertanian dan areal persawahan ini.
Bagi Orde Baru, ketersediaan pangan menjadi barometer keberhasilan pembangunan. Namun, kebijakan Orde Baru, membuka keran masuknya investor-investor asing dan swasta untuk mengelola lahan-lahan di luar Jawa dan daerah pinggiran pulau Jawa menjadi pemicu lompatan terlalu besar urbanisasi.
Lahan-lahan perkebunan diserahkah oleh Pemerintah kepada pihak swasta dengan ditetapkannya HPH. Lahan yang seharusnya digarap oleh para penduduk , banyak ditinggalkan, para penduduk memilih untuk pindah ke kota-kota besar, urbanisasi besar-besaran terjadi pada medio tahun 1970-an.
Untuk daerah-daerah perkotaan, pemerintah menitik beratkan pembangunan pada sektor real dan infra struktur. Jalan-jalan diperlebar dan diaspal, pasar dan pusat perbelanjaan didirikan. Untuk mengurangi masalah rawan pemukiman, dibangun perumahan-perumahan sederhana dengan harga terjangkau oleh masyarakat , areal persawahan dialih fungsikan menjadi lahan pemukiman dengan mengenyampingkan point penting reformasi agraria; membuka lahan pertanian baru jika terjadi pengalih fungsian lahan pertanian menjadi pemukiman. Pemerintah daerah sama sekali tidak mengindahkan hal ini, termasuk Kota Sukabumi.
Pembangunan infra struktur di Kota Sukabumi; ketersediaan sarana transportasi yang memadai, sarana telekomunikasi, dan informasi yang baik ini menjadi faktor penarik masuknya para pendatang baru ke Kota Sukabumi.
Tahun 1990-2000, tanah-tanah dan beberapa hektar persawahan dijual oleh penduduk kepada para pendatang. Pusat keramaian semakin meluas, pola desa menyebar semakin merapat karena disatukan oleh semakin luasnya areal pemukiman.
Pada tahun 2004-2009, pemerintah Kota Sukabumi tidak menjadikan pertanian sebagai sektor penting pendapatan, pertanian hanya dijadikan salah satu item misi pembangunan (peningkatan daya beli). Hal ini begitu realistis sebab; lahan pertanian di Kota Sukabumi semakin menyempit, sektor-sektor jasa lebih besar dari sektor pertanian. Bidikan utama pemerintah Kota Sukabumi di tahun tersebut adalah; peningkatan daya beli, pelayanan jasa, dan sebagai pusat pendidikan untuk daerah-derah pinggiran.
Harus diakui, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Sukabumi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) – karena tidak memiliki sumber daya alam unggulan - bisa dikatakan masil relatif kecil jika dibandingkan dengan daerah tetangganya, Kabupaten Sukabumi. Maka, sektor jasa dan perdagangan ini menjadi prioritas utama pembangunan di Kota Sukabumi.
Lahan-lahan pertanian dan persawahan menjadi taruhan besar bagi pemerintah dan warga Kota Sukabumi ke depan. Hal yang tidak bisa terbantahkan adalah lahan pertanian memang akan semakin menyempit berbanding terbalik dengan semakin meluasnya areal pemukiman.
Kota Sukabumi akan benar-benar menjadi pusat Kota dan keramaian, perpindahan penduduk secara massfv dan sporadsc telah terjadi, warga pribumi akan mengalihkan tanah-tanah mereka ke daerah-daerah pinggiran. Masyarakat baru pun terbentuk dengan budaya dan kehidupan sosial baru.
Penulis : Kang Warsa
Photo : Kang Jiwenk
Posting Komentar untuk "Sang Dwi Warna Berkibar di Wilayah Agraris"