Sang Dwi Warna dan Nasib Nasionalisme Kita

Adanya pendapat yang mengharamkan 'nasionalisme' bagi Saya -secara pribadi- bukan ancaman. Namun bagi sebuah bangsa jelas ini akan membentuk persepsi beragam. Bukan harus diluruskan, namun harus diperjelas agar rasa bangga secara aposteriori diri kita terhadap negara ini tidak luntur.

Pada suatu ketika, Saya mengobrol dengan seseorang, memiliki pandangan berbeda dengan cara Saya memandang kehidupan. Saya membuat lukisan pada dinding, orang tersebut mengatakan; " Gambar dan lukisan itu akan meminta nyawa pada Kamu di akhirat nanti." Dia kemudian melanjutkan, " Lagi pula, gambar dan lukisan itu adalah tempat bersemayamnya para jin."

Demi mendengar itu Saya tersenyum. Tanpa ayal, Saya langsung memintanya untuk membuka dompet miliknya. " Coba, Kamu buka itu dompet. Nah ada uang seratus ribu rupiah. Lho itu ada gambar Soekarno Hatta, itu gambar tempat bersemayamnya para jin. Sini, buat Aku saja uangnya, tidak perlu kamu simpan di dompet ini!"

Begitulah, silogisme dalam hidup ini tidak bersifat linear. Tidak terkutub pada satu polarisasi. Sebab, sunnatullah telah mengajarkan, cara pandang atau pun ide dan gagasan akan terlihat tidak adil jiga hanya melihat idealisme kelompok. Saya menulis persoalan ini sudah pasti akan terkutubkan juga, ada yang suka dan tidak, pro juga kontra.

Bagi Saya, itu tidak menjadi soal, namun mengajak berpikir secara jernih dan mendalam akan lebih baik dari sekadar menyudutkan satu pandangan secara apriori kemudina membenturkannya dengan pandangan lain. Kata teman Saya, dalam melakukan komparasi dua hal harus berimbang, apple to apple.

Kenapa dengan Sang dwi warna? Jelas, dwi warna, merah dan putih adalah warna bagi bendera kebangsaan kita. Patutkan mahluk atau kain bernama bendera ini dihormati? Persoalannya bukan penting dan tidak penting, melainkan pada substansi yang terkandung dalam setiap hal.

Banyak sejarah menyoal bendera merah dan putih ini. Tidak akan Saya ceritakan, intinya, pengambilan warna merah putih oleh para leluhur kita kemudian disematkan pada bendera bukan tanpa dasar dan alasan. Pertama, simbul memang perlu dalam hidup, sebagai identitas. Kedua, merah dan putih secara substansi tertuang dalam banyak lagu, darah dan tulang, keberanian dan kesucian. Salahkah jika sebuah negara dibangun di atas dasar keberanian dan kesucian? Tentu tidak.

Di penjuru dunia mana pun, bangsa dan negara manapun memiliki simbul kenegaraan. Bahkan ISIS pun memiliki bendera, HTI juga demikian, LSM, pun berbagai organisasi. Tentu saja pembuatan simbol dan emblem-emblem tersebut dilatar belakangi oleh spirit dan semangat negara atau organisasi tersebut dibentuk.

Yang tidak boleh adalah melakukan tindakan munafik, mengedepankan sikap yang berbeda dengan spirit pada simbol tadi. Misalkan, merah dan putih mewakili keberanian dan kesucian, lantas dalam kehidupan bernegara kita lebih mengedepankan sikap pengecut dan takabbur serta riya, ini yang menjadi persoalan.

Sekarang ini sibuk sekali orang mempersoalkan ' adanya kelompok' yang melarang nasionalisme. Nasionalisme disebutkan tidak ada landasan dan dalilnya, sementara membela agama sudah jelas dalilnya. Pola pikir seperti ini tidak lurus dalam melakukan komparasi satu hal.

Mari kita berpikir secara mendalam. Misalkan, apa itu nastion? Nation secara letterlek adalah bangsa. Jika ada sebuah bangsa merasa banggsa dengan bangsanya sendiri apa salah? Tentu tidak, sebab kemajuan dan kemandirian sebuah bangsa diawali dengan sikap bangga terhadap bangsanya sendiri. Sebagai conton, bangsa Israel merasa bangga telah disebut sebagai 'bangsa pilihan Tuhan' , bangsa paling cerdas diantara umat manusia. Maka, pemikiran ini memengaruhi mereka agar benar-benar membuktikan bahwa stigma tersebut memang benar.

Apa akibat bagi negara ini jika kebanggaan terhadap bangsa sendiri saja sudah hilang? Maka, sampai kapanpun bangsa ini akan tetap minder dan tidak akan bisa mengimbangi kemajuan negara lain. Bangga dengan bangsa sendiri sudah tentu tidak menjadi satu keharaman. Yang tidak perlu dalam rasa bangga terhadap bangsa sendiri adalah; right or wrong is my country. Bangga terhadap bangsa sendiri harus diimbangi dengan sikap obyektif.

Nasionalisme lebih penting dan bernilai dari sikap munafik. Kenapa Saya membahas ini, ada satu hal yang menggelitik. 'satu kelompok' mengumandangkan anti nasionalisme, itu di dunia ide, namun pada ranah realitas , kelompok tersebut tetap tinggal di negara ini, mencari uang dan kehidupan di negara ini, ketika mendirikan lembaga pendidikan pun mereka menggunakan izin operasional dari Dinas Pendidikan di daerah dengan alasan formalitas untuk mendapatkan bantuan dari negara. Sikap apa ini jika tidak mau disebut sebagai sebuah hipokrisi dalam bernegara? Bukankah cara-cara a la Robbin Hood tidak dikenal dalam kamus kita?

Tidak pelak, selama kemunafikan, pura-pura soleh, dan merasa diri paling beragama diantara kelompok lain, semangat keberanian dan kesucian tidak akan pernah diraih.

Kibarkan Sang dwi warna dalam diri kita, maka negara dan bangsa ini akan berkibar di dunia ini, tidak akan menjadi bahan ejekan dan cibiran bangsa dan negara lain.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Sang Dwi Warna dan Nasib Nasionalisme Kita"