Beberapa siswa berasal dari Kampung Ciwangun belajar di Sekolah tempat Saya mengajar. Saat mengajar, Saya sering menanyakan kepada setiap peserta didik, bagaimana kondisi kampung mereka. Dengan mengambil sampel beberapa siswa saja. Pada dasarnya, sebagian besar dari mereka bisa mendeskripsikan kondisi dan permasalahan kampung mereka sendiri.
Siswa dari kampung Cikundul menyebutkan kondisi kampung mereka sedang berada pada posisi lepas landas. Pembangunan disana-sini, pembuatan sanitasi lingkungan telah berlangsung sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Gorong-gorong telah dibuat dengan mengandalkan saluran-saluran air. Rumah-rumah pun telah banyak direnovasi ke dalam bentuk permanen, dari panggung dan mengandalkan bambu-kayu menjadi tembok bata merah juga di plester.
Survey kampung sendiri yang dilakukan oleh beberapa siswa kelas IX satu tahun lalu bisa disimpulkan, peralihan budaya agraris ke urban secara perlahan mulai berlangsung sejak satu dekade terakhir. Perluasan jalan utama yang melintasi jalur Cipanengah hingga Cikeong menyusuri alur Sungai Cimandiri memiliki dampak langsung persebaran keramaian. Mitos hantu dan ‘sandékala’ atau memedi ketika seseorang melintasi areal pemakaman umum di Jalan itu sudah memudar. Faktanya, setiap malam minggu, tempat-tempat yang pernah dianggap angker dan menakutkan itu sekarang dijejali oleh muda-mudi. Duduk bercengkerama di atas kuburan pun tidak menjadi hal tabu lagi.
Dua dekade lalu, Jalan Kapitan sering diceritakan sebagai tempat yang jarang dilewati oleh orang-orang pada malam hari. Sekarang, beberapa buah PJU telah dipasang, perumahan pun telah dibangun di sana. Rencana besar lain, luas lahan kosong hingga empat hektar telah disiapkan untuk perumahan besar. Bahkan di daerah Santiong, tepat di belakang pemakaman umum orang-orang Tionghoa telah didirikan rumah susun sederhana.
Ruralisasi membawa dampak melemahnya iklim agraris, iklim urban mulai merangsek maju, massif, bahkan cenderung sporadis. Tiga hari lalu, saat peringatan hari proklamasi ke -69 Republik Indonesia, para pemuda Cikundul mengadakan pentas seni modern; lagu-lagu hard-core mewarnai panggung pementasan. Ada kekagetan dari sebagian besar generasi 60-70an. “ Lagu naon ieu téh, wak wék wok teu puguh..” Kata beberapa ibu kepada Saya.
Cultural shock menjadi salah satu fenomena baru saat budaya urban mulai mengalir ke daerah-daerah pinggiran kota. Salah satu tanda kekompleksan dalam kehidupan masyarakat mulai berkembang. Dangdut bukan lagi menjadi musik pilihan angkatan produktif baru, jenis musik yang dianggap baru –padahal telah lama ada – mulai digandrungi oleh angkatan produktif baru. Musik aliran ‘grunge’ disaksikan oleh berderetnya pegunungan dan bebukitan, juga oleh generasi 60-70an, meskipun melahirkan rasa ‘sebal’ namun diakui sebagai hal lumrah.
Beberapa siswa dari Ciwangun menjelaskan; peralihan kondisi dari agraris ke urban tidak terlalu signifikan. Hanya beberapa bagian saja imbas kemajuan menggerus budaya lokal. Penataan lingkungan memang telah berlangsung sejak program PNPM Mandiri Perdesaan dicanangkan, itu pun tidak terlalu diprioritaskan.
Mereka bangga dengan hal itu, salah seorang dari mereka mengatakan, “ Sawah kami meranau hijau, ada bukit dimana kita bisa melihat pemandangan begitu indah. Kota Sukabumi pun terlihat jelas di sana.”
Rasa penasaran Saya sebetulnya sudah terjawab satu tahun lalu, Saya pernah mengunjungi beberapa perkampungan di pinggir pegunungan. Mengenai keindahan Ciwangun tidak perlu dibahas.
Salah seorang kontributor Sukabumi Discovery, Kang Jiwenk, pada tanggal 17 Agustus 2014 melakukan pemotretan terhadap alam Ciwangun. Hampir tidak ada perbedaan kondisi saat ini dengan satu tahun lalu.
Sumber terkini menyebutkan, beberapa tahun ke depan daerah ini akan mulai digarap, pembangunan besar-besaran akan dimulai dengan proyek pengaspalan jalan dari daerah Wangunreja hingga Bojongkalong-Nyalindung.
Wacana ini lambat-laun telah mengubah potret beberapa daerah di Wangunreja. Dua tahun terakhir, sepanjang jalan di daerah tersebut telah dibenahi. Harga jual tanah meningkat hingga 100%. Dua buah sekolah tingkat SLTP telah dibangun untuk memenuhi kebutuhan warga setempat. Sebuah pabrik pembuatan ‘otak-otak ikan’ juga telah diliput oleh beberapa stasiun teve nasional.
Perkembangan beberapa sektor di perkampungan pinggir pegunungan selama beberapa tahun ini tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan budaya setempat. Jika pada tahun ini beberapa kampung – di wilayah Kota Sukabumi – lebih mengedepankan acara-acara hiburan saat mengisi hari kemerdekaan RI, di perkampungan pinggir pegunungan, masyarakat masih sempat membuat kaca-kaca dan gapura dari bambu dan kertas. Aliran musik bergenre ‘grunge’ juga hampir tidak pernah terdengar di sana. Dangdut dan organ tunggal saja yang masih menjadi pilihan hiburan masyarakat saat menyambut kemerdekaan, samenan, dan hajatan.
Penulis : Kang Warsa
Photo : Jiwenk
Siswa dari kampung Cikundul menyebutkan kondisi kampung mereka sedang berada pada posisi lepas landas. Pembangunan disana-sini, pembuatan sanitasi lingkungan telah berlangsung sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Gorong-gorong telah dibuat dengan mengandalkan saluran-saluran air. Rumah-rumah pun telah banyak direnovasi ke dalam bentuk permanen, dari panggung dan mengandalkan bambu-kayu menjadi tembok bata merah juga di plester.
Survey kampung sendiri yang dilakukan oleh beberapa siswa kelas IX satu tahun lalu bisa disimpulkan, peralihan budaya agraris ke urban secara perlahan mulai berlangsung sejak satu dekade terakhir. Perluasan jalan utama yang melintasi jalur Cipanengah hingga Cikeong menyusuri alur Sungai Cimandiri memiliki dampak langsung persebaran keramaian. Mitos hantu dan ‘sandékala’ atau memedi ketika seseorang melintasi areal pemakaman umum di Jalan itu sudah memudar. Faktanya, setiap malam minggu, tempat-tempat yang pernah dianggap angker dan menakutkan itu sekarang dijejali oleh muda-mudi. Duduk bercengkerama di atas kuburan pun tidak menjadi hal tabu lagi.
Dua dekade lalu, Jalan Kapitan sering diceritakan sebagai tempat yang jarang dilewati oleh orang-orang pada malam hari. Sekarang, beberapa buah PJU telah dipasang, perumahan pun telah dibangun di sana. Rencana besar lain, luas lahan kosong hingga empat hektar telah disiapkan untuk perumahan besar. Bahkan di daerah Santiong, tepat di belakang pemakaman umum orang-orang Tionghoa telah didirikan rumah susun sederhana.
Ruralisasi membawa dampak melemahnya iklim agraris, iklim urban mulai merangsek maju, massif, bahkan cenderung sporadis. Tiga hari lalu, saat peringatan hari proklamasi ke -69 Republik Indonesia, para pemuda Cikundul mengadakan pentas seni modern; lagu-lagu hard-core mewarnai panggung pementasan. Ada kekagetan dari sebagian besar generasi 60-70an. “ Lagu naon ieu téh, wak wék wok teu puguh..” Kata beberapa ibu kepada Saya.
Cultural shock menjadi salah satu fenomena baru saat budaya urban mulai mengalir ke daerah-daerah pinggiran kota. Salah satu tanda kekompleksan dalam kehidupan masyarakat mulai berkembang. Dangdut bukan lagi menjadi musik pilihan angkatan produktif baru, jenis musik yang dianggap baru –padahal telah lama ada – mulai digandrungi oleh angkatan produktif baru. Musik aliran ‘grunge’ disaksikan oleh berderetnya pegunungan dan bebukitan, juga oleh generasi 60-70an, meskipun melahirkan rasa ‘sebal’ namun diakui sebagai hal lumrah.
Beberapa siswa dari Ciwangun menjelaskan; peralihan kondisi dari agraris ke urban tidak terlalu signifikan. Hanya beberapa bagian saja imbas kemajuan menggerus budaya lokal. Penataan lingkungan memang telah berlangsung sejak program PNPM Mandiri Perdesaan dicanangkan, itu pun tidak terlalu diprioritaskan.
Mereka bangga dengan hal itu, salah seorang dari mereka mengatakan, “ Sawah kami meranau hijau, ada bukit dimana kita bisa melihat pemandangan begitu indah. Kota Sukabumi pun terlihat jelas di sana.”
Rasa penasaran Saya sebetulnya sudah terjawab satu tahun lalu, Saya pernah mengunjungi beberapa perkampungan di pinggir pegunungan. Mengenai keindahan Ciwangun tidak perlu dibahas.
Salah seorang kontributor Sukabumi Discovery, Kang Jiwenk, pada tanggal 17 Agustus 2014 melakukan pemotretan terhadap alam Ciwangun. Hampir tidak ada perbedaan kondisi saat ini dengan satu tahun lalu.
Sumber terkini menyebutkan, beberapa tahun ke depan daerah ini akan mulai digarap, pembangunan besar-besaran akan dimulai dengan proyek pengaspalan jalan dari daerah Wangunreja hingga Bojongkalong-Nyalindung.
Wacana ini lambat-laun telah mengubah potret beberapa daerah di Wangunreja. Dua tahun terakhir, sepanjang jalan di daerah tersebut telah dibenahi. Harga jual tanah meningkat hingga 100%. Dua buah sekolah tingkat SLTP telah dibangun untuk memenuhi kebutuhan warga setempat. Sebuah pabrik pembuatan ‘otak-otak ikan’ juga telah diliput oleh beberapa stasiun teve nasional.
Perkembangan beberapa sektor di perkampungan pinggir pegunungan selama beberapa tahun ini tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan budaya setempat. Jika pada tahun ini beberapa kampung – di wilayah Kota Sukabumi – lebih mengedepankan acara-acara hiburan saat mengisi hari kemerdekaan RI, di perkampungan pinggir pegunungan, masyarakat masih sempat membuat kaca-kaca dan gapura dari bambu dan kertas. Aliran musik bergenre ‘grunge’ juga hampir tidak pernah terdengar di sana. Dangdut dan organ tunggal saja yang masih menjadi pilihan hiburan masyarakat saat menyambut kemerdekaan, samenan, dan hajatan.
Penulis : Kang Warsa
Photo : Jiwenk
Posting Komentar untuk "Kampung Ciwangun"