Saya bukan pembela demokrasi, sebab demokrasi hanya bagian dari dinamika dan perubahan sistem pemerintahan di dunia ini. Secara aposteriori, demokrasi dan sistem pemerintahan apa pun merupakan produk dan cipta manusia. Lantas bagaimana dengan teokrasi? Kata teokrasi sendiri merupakan produk dan pembahasaan manusia sendiri. Sistemnya pun meskipun didasari oleh prinsip-prinsip ketuhanan namun dihasilkan dari kreasi dan cara berpikir manusia, wahyu diinterpretasikan oleh akal manusia.
Seorang teman –sebagai penyelenggara Pemilu – menyebutkan, demokrasi sebagai sunnatullah, ketetapan dari Alloh, sebagai hukum alam yang tidak bisa lepas dari sebab dan akibat. Hal tersebut dikatakannya di dalam sebuah status facebook, kontan beberapa teman mengomentari dari berbagai sudut pandang. Rata-rata mempertanyakan, apakah benar demokrasi merupakan sunnatullah.
Tanpa memiliki rasa merasa lebih mampu dan lebih tahu dari siapa pun, Saya berani mengatakan bahwa demokrasi memang merupakan salah satu sunnatullah dan ketetapan dari Alloh. Sebagai manusia yang meyakini akan ketetapan dari Alloh (Qodlo dan Qodlar) sudah sepantasnya menerima dengan baik, apa pun yang berlaku di dunia ini, sebab telah terencana dan didesain oleh yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti mengedepankan sikap fatalisme, sebab demokrasi dan sistem-sistem pemerintahan lainnya lahir bukan secara kebetulan, melainkan dihasilkan dari hasil kreasi akal manusia. Akal sendiri merupakan fasilitas yang telah diberikan oleh Alloh kepada manusia.
Lalu bersebrangan kah demokrasi dengan wahyu? Konsep awal demokrasi mulai dibangun pada era Yunani Kuno, sebanding dengan disebarkannya wahyu Tuhan (Taurat dan Zabur) di dalam tradisi Judaisme. Demokrasi awal dilahirkan sebagai jawaban dari lahirnya tirani kekuasaan oleh pemerintah Yunani Kuno yang mengedepankan arogansi-pewahyuan dari dewa-dewi, demokrasi awal sebagai perlawanan terhadap tirani mitologi. Dalam masyarakat Yunani Kuno, mitologi ditafsirkan sebagai titah/wahyu dari Yang Maha Kuasa.
Lalu bagaimana dengan konsep teokrasi yang dijalankan dalam pemerintahan Islam awal? Benarkah kerajaan Islam dari berbagai dinasti menggunakan sistem teokrasi? Jika mengkaji sejarah, pasca Rasulullah meninggal suksesi kepemimpinan dilakukan secara aklamasi dan syuro. Aklamasi ini sendiri telah melahirkan empat pemimpin Islam yang memiliki kedekatan emosional dengan Rasulullah sendiri , bahkan berasal dari satu suku, Quraisy.
Konflik politik pun terjadi sebagai akibat dari suksesi kepemimpinan ini, hingga lahirnya dinasti-dinasti dalam pemeritahan Islam. Ini menjadi salah satu jawaban, bahwa teokrasi yang ditegakkan di dalam landasan monarki tetap akan sulit menemukan kemapanan tanpa didukung oleh entitas-entitas penting dalam monarki; kepatuhan rakyat terhadap pimpinan secara utuh. Pemberontakan dan silih bergantinya dinasti merupakan bukti bahwa tidak seluruhnya rakyat memberikan loyalitas terhadap pemerintah.
Lantas dimanakah peran wahyu saat pertikaian berbagai faksi dalam sejarah Islam terjadi. Perpecahan dan pertikaian bukan sebatas pada wacana dan pemikiran, beberapa kholifah hingga cucu Rasulullah saja harus terbunuh sebagai akibat dari konflik politik yang terjadi saat itu? Sudah pasti, tidak akan ditemukan di dalam kitab suci manapun perintah Tuhan untuk saling membunuh dalam memperebutkan kekuasaan. Pembunuhan, Konflik, perang, dan pertikaian bukan tujuan utama wahyu Tuhan disampaikan kepada manusia.
Mengapa wahyu seolah tidak bisa menjawab persoalan kehidupan waktu itu? Bukankah telah jelas dinytakan di dalam al-Quran, “Berpegang teguhlah kamu dalam agama Alloh secara keseluruhan, dan janganlah berpecah-belah.” Bukankah ini merupakan dalil Qoth’i, muhkamat, tanpa harus ditafsirkan lagi pun telah jelas maksud dan tujuan ayat ini. Kenapa ummat masih bertikai dan terpecah?
Persoalan ini terjadi karena sudah menjadi sunnatullah, ketetapan Alloh, dalam diri manusia akan muncul perbedaan pikiran dan sikap. Baik dalam sistem demokrasi ataupun monarki tetap saja akan dimenangkan oleh siapa yang memiliki dominasi atas kelompok lain. Wahyu hanya merupakan nilai, sementara norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dihasilkan oleh seberapa besar nilai yang memengaruhi dan seberapa kuat manusia bisa mengorelasikan antara nilai yang tertera dalam wahyu dengan akal pikirannya. Agar tidak terjadi dikotomi, maka peran akal dan wahyu harus saling melengkapi.
Memosisikan wahyu sebagai seperangkat nilai memiliki dampak baik terhadap kehidupan manusia yang semakin berkembang. Kitab Suci tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer misalkan; apakah di dalam Kitab Suci terdapat Undang-undang lalu-lintas, undang-undang kenegaraan secara utuh, undang-undang sistem pendidikan, undang-undang kepolisian? Sudah tentu akan sulit ditemukan sebab wahyu merupakan bahasa transenden dan merupakan kumpulan nilai.
Lahirnya ilmu-ilmu dalam dunia Islam terjadi beberapa abad setelah Rasulullah wafat. Tentu saja berbanding lurus dengan perkembangan pemikiran umat yang tidak bisa lepas dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Penggunaan akal dan pikiran oleh ulama-ulama salaf inilah yang menjadi penyebab munculnya/lahirnya norma-norma dalam kehidupan umat di masa lalu yang selaras dengan nilai-nilai dalam wahyu. Bahkan tidak sedikit, norma dan kebiasaan Arab pun telah dilegitimasi oleh wahyu dijadikan perintah Tuhan yang harus ditaati.
Akan sangat tidak adil jika kita mengecap demokrasi, timokrasi, olhokrasi, mobokrasi, dan krasi-krasi lainnya sebagai sistem yang bersebrangan dengan nilai-nilai ketuhanan, sebab terlalu tidak sopan jika manusia berani membandingkan aturan-aturan Tuhan dengan hasil pemikiran manusia ketika Tuhan memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara maksimal.
Kehidupan di dunia ini merupakan sunnatullah, bukan hanya baik dan buruk saja, namun ditetapkan juga oleh sebab dan akibat. Demokrasi saat ini sedang menempati puncak tertinggi kekuasaan, namun pada waktu lain demokrasi akan menempati titik nadzir kemudian teokrasi menempati puncak tertinggi. Segalanya ditentukan oleh seberapa besar energy dan pikiran kita dalam mewujudkannya.
Jangan memiliki sangkaan: “ Tuhan bersama Kami!” ini jelas penghinaan karena yang sebetulnya harus diyakini adalah “ Kita bersama Tuhan!”. Sejarah telah mencatat, dominasi gereja sejak abad pertengahan hingga abad pencerahan mampu ditumbangkan oleh kelompok saintis ketika pihak gereja selalu mengatasnamakan Tuhan bersama Kita. Itulah tonggak kematian Tuhan seperti ungkapan Nietzche, karena Tuhan diposisikan oleh orang-rang beragama sendiri sebagai mahluk yang harus mengikuti keinginan manusia.
Baik dan buruknya sistem pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang menjadi landasan berpijaknya, juga ditentukan oleh sikap dan tujuan manusia sendiri dalam mengedepankan kebaikan. Wahyu dari Alloh merupakan nilai-nilai kebaikan, hasil pikiran manusia pun dilakukan untuk mengejar kebaikan. Sinkronisasi kedua nilai ini akan melahirkan kebaikan; bukan saling bunuh, hujat, mengejek, dan berebut jatah kekuasaan.(*)
KANG WARSA
Seorang teman –sebagai penyelenggara Pemilu – menyebutkan, demokrasi sebagai sunnatullah, ketetapan dari Alloh, sebagai hukum alam yang tidak bisa lepas dari sebab dan akibat. Hal tersebut dikatakannya di dalam sebuah status facebook, kontan beberapa teman mengomentari dari berbagai sudut pandang. Rata-rata mempertanyakan, apakah benar demokrasi merupakan sunnatullah.
Tanpa memiliki rasa merasa lebih mampu dan lebih tahu dari siapa pun, Saya berani mengatakan bahwa demokrasi memang merupakan salah satu sunnatullah dan ketetapan dari Alloh. Sebagai manusia yang meyakini akan ketetapan dari Alloh (Qodlo dan Qodlar) sudah sepantasnya menerima dengan baik, apa pun yang berlaku di dunia ini, sebab telah terencana dan didesain oleh yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti mengedepankan sikap fatalisme, sebab demokrasi dan sistem-sistem pemerintahan lainnya lahir bukan secara kebetulan, melainkan dihasilkan dari hasil kreasi akal manusia. Akal sendiri merupakan fasilitas yang telah diberikan oleh Alloh kepada manusia.
Lalu bersebrangan kah demokrasi dengan wahyu? Konsep awal demokrasi mulai dibangun pada era Yunani Kuno, sebanding dengan disebarkannya wahyu Tuhan (Taurat dan Zabur) di dalam tradisi Judaisme. Demokrasi awal dilahirkan sebagai jawaban dari lahirnya tirani kekuasaan oleh pemerintah Yunani Kuno yang mengedepankan arogansi-pewahyuan dari dewa-dewi, demokrasi awal sebagai perlawanan terhadap tirani mitologi. Dalam masyarakat Yunani Kuno, mitologi ditafsirkan sebagai titah/wahyu dari Yang Maha Kuasa.
Lalu bagaimana dengan konsep teokrasi yang dijalankan dalam pemerintahan Islam awal? Benarkah kerajaan Islam dari berbagai dinasti menggunakan sistem teokrasi? Jika mengkaji sejarah, pasca Rasulullah meninggal suksesi kepemimpinan dilakukan secara aklamasi dan syuro. Aklamasi ini sendiri telah melahirkan empat pemimpin Islam yang memiliki kedekatan emosional dengan Rasulullah sendiri , bahkan berasal dari satu suku, Quraisy.
Konflik politik pun terjadi sebagai akibat dari suksesi kepemimpinan ini, hingga lahirnya dinasti-dinasti dalam pemeritahan Islam. Ini menjadi salah satu jawaban, bahwa teokrasi yang ditegakkan di dalam landasan monarki tetap akan sulit menemukan kemapanan tanpa didukung oleh entitas-entitas penting dalam monarki; kepatuhan rakyat terhadap pimpinan secara utuh. Pemberontakan dan silih bergantinya dinasti merupakan bukti bahwa tidak seluruhnya rakyat memberikan loyalitas terhadap pemerintah.
Lantas dimanakah peran wahyu saat pertikaian berbagai faksi dalam sejarah Islam terjadi. Perpecahan dan pertikaian bukan sebatas pada wacana dan pemikiran, beberapa kholifah hingga cucu Rasulullah saja harus terbunuh sebagai akibat dari konflik politik yang terjadi saat itu? Sudah pasti, tidak akan ditemukan di dalam kitab suci manapun perintah Tuhan untuk saling membunuh dalam memperebutkan kekuasaan. Pembunuhan, Konflik, perang, dan pertikaian bukan tujuan utama wahyu Tuhan disampaikan kepada manusia.
Mengapa wahyu seolah tidak bisa menjawab persoalan kehidupan waktu itu? Bukankah telah jelas dinytakan di dalam al-Quran, “Berpegang teguhlah kamu dalam agama Alloh secara keseluruhan, dan janganlah berpecah-belah.” Bukankah ini merupakan dalil Qoth’i, muhkamat, tanpa harus ditafsirkan lagi pun telah jelas maksud dan tujuan ayat ini. Kenapa ummat masih bertikai dan terpecah?
Persoalan ini terjadi karena sudah menjadi sunnatullah, ketetapan Alloh, dalam diri manusia akan muncul perbedaan pikiran dan sikap. Baik dalam sistem demokrasi ataupun monarki tetap saja akan dimenangkan oleh siapa yang memiliki dominasi atas kelompok lain. Wahyu hanya merupakan nilai, sementara norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dihasilkan oleh seberapa besar nilai yang memengaruhi dan seberapa kuat manusia bisa mengorelasikan antara nilai yang tertera dalam wahyu dengan akal pikirannya. Agar tidak terjadi dikotomi, maka peran akal dan wahyu harus saling melengkapi.
Memosisikan wahyu sebagai seperangkat nilai memiliki dampak baik terhadap kehidupan manusia yang semakin berkembang. Kitab Suci tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer misalkan; apakah di dalam Kitab Suci terdapat Undang-undang lalu-lintas, undang-undang kenegaraan secara utuh, undang-undang sistem pendidikan, undang-undang kepolisian? Sudah tentu akan sulit ditemukan sebab wahyu merupakan bahasa transenden dan merupakan kumpulan nilai.
Lahirnya ilmu-ilmu dalam dunia Islam terjadi beberapa abad setelah Rasulullah wafat. Tentu saja berbanding lurus dengan perkembangan pemikiran umat yang tidak bisa lepas dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Penggunaan akal dan pikiran oleh ulama-ulama salaf inilah yang menjadi penyebab munculnya/lahirnya norma-norma dalam kehidupan umat di masa lalu yang selaras dengan nilai-nilai dalam wahyu. Bahkan tidak sedikit, norma dan kebiasaan Arab pun telah dilegitimasi oleh wahyu dijadikan perintah Tuhan yang harus ditaati.
Akan sangat tidak adil jika kita mengecap demokrasi, timokrasi, olhokrasi, mobokrasi, dan krasi-krasi lainnya sebagai sistem yang bersebrangan dengan nilai-nilai ketuhanan, sebab terlalu tidak sopan jika manusia berani membandingkan aturan-aturan Tuhan dengan hasil pemikiran manusia ketika Tuhan memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara maksimal.
Kehidupan di dunia ini merupakan sunnatullah, bukan hanya baik dan buruk saja, namun ditetapkan juga oleh sebab dan akibat. Demokrasi saat ini sedang menempati puncak tertinggi kekuasaan, namun pada waktu lain demokrasi akan menempati titik nadzir kemudian teokrasi menempati puncak tertinggi. Segalanya ditentukan oleh seberapa besar energy dan pikiran kita dalam mewujudkannya.
Jangan memiliki sangkaan: “ Tuhan bersama Kami!” ini jelas penghinaan karena yang sebetulnya harus diyakini adalah “ Kita bersama Tuhan!”. Sejarah telah mencatat, dominasi gereja sejak abad pertengahan hingga abad pencerahan mampu ditumbangkan oleh kelompok saintis ketika pihak gereja selalu mengatasnamakan Tuhan bersama Kita. Itulah tonggak kematian Tuhan seperti ungkapan Nietzche, karena Tuhan diposisikan oleh orang-rang beragama sendiri sebagai mahluk yang harus mengikuti keinginan manusia.
Baik dan buruknya sistem pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang menjadi landasan berpijaknya, juga ditentukan oleh sikap dan tujuan manusia sendiri dalam mengedepankan kebaikan. Wahyu dari Alloh merupakan nilai-nilai kebaikan, hasil pikiran manusia pun dilakukan untuk mengejar kebaikan. Sinkronisasi kedua nilai ini akan melahirkan kebaikan; bukan saling bunuh, hujat, mengejek, dan berebut jatah kekuasaan.(*)
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Demokrasi Merupakan Sunnatullah"