Media sosial seperti Twitter membatasi jumlah karakter atau huruf yang bisa ditulis, yaitu 140 karakter.
Itu sebabnya para pengguna kadang, atau mungkin lebih sering, memperpendek jumlah huruf.
Misalnya kalo untuk kalau.
Penggunaan kata kalo di Twitter, Facebook, layanan pesan instan, atau pesan pendek (SMS) mungkin bisa diterima.
Apalagi bila komunikasi antarpengguna ini bersifat tidak resmi atau pribadi.
Tetapi bagaimana bila kebiasaan mengurangi jumlah karakter ini terbawa ke media resmi?
Itulah yang kadang terjadi seperti dalam judul berita: Saya ambil cuti kalo nyalon pilgub.
Mungkin ada yang berpandangan bahwa kesalahan ini, kalau boleh disebut sebagai kesalahan, bukan sesuatu yang fatal.
Pandangan ini mungkin bisa diterima.
Tapi bila kebiasaan memakai kata semisal kalo dan nyalon diteruskan atau bahkan menjadi kebiasaan, pembaca bisa menganggap media tidak serius atau penulis berita tidak memahami kaidah bahasa.
Sukabumi Discovery | BBC
Posting Komentar untuk "Ketika Bahasa Resmi Dipengaruhi Oleh Media Sosial"