“ Jangan menyebut kafir kepada orang lain.”
Kalimat di atas bukan sebuah pepatah, apalagi dikelompokkan ke dalam jenis kata mutiara. Hanya merupakan pesan, betapa tidak bisa diterima oleh akal sehat ketika sebuah kelompok atau orang per orang menyebut orang lain dengan kata “Kafir”.
Dalam silogisme sederhana, ketika Saya menyebut orang lain “kafir” maka telah menegasikan diri Saya sendiri pada kelompok “non-Kafir” atau “manusia beriman.” Lebih parah lagi, menyebut “kafir” kepada orang atau kelompok lain sambil menunjuk jika diri atau kelompoknya seolah telah mendapat jaminan dari Alloh akan dimasukkan ke dalam “Surga.”
Selama mengajar PKN, Saya sering menekankan kepada para peserta didik, “ jangan mudah mulut kalian mengatakan kafir kepada orang lain, apalagi kepada orang yang telah meyakini Alloh sebagai Tuhan hanya karena mereka berbeda dalam memberi tafsir terhadap ayat-ayat Tuhan!”
Pada kesempatan lain, Saya sering berdialog dengan para siswa, seperti pagi tadi, Saya mengajarkan tema Perubahan Budaya dalam kehidupan. Para siswa diberi pertanyaan: ketika kita mengetahui bahwa budaya merupakan hasil olah pikir manusia, apakah wahyu merupakan budaya?”
Sebagian besar dari mereka diam. Namun tidak harus menunggu beberapa menit beberapa dari mereka menjawab, “ Bukan!”
“ Kenapa?”
“ Wahyu berasal dari Tuhan, Pak!”
Ya, Saya sangat setuju. Wahyu bukan budaya. Saya tidak melanjutkan ke pertanyaan lain. Sebab dengan demikian, mereka (para siswa) telah bisa memosisikan bahwa Tuhan begitu jauh berbeda dengan sangkaan yang sering dialamatkan kepadaNya oleh manusia.
Jika ada orang menuduh Saya “Kafir”, maka apakah tuduhan yang disebutkan oleh orang itu sama dengan yang akan dituduhkan oleh Alloh? Lebih jauh, apakah Alloh memiliki prasangka? Memiliki tuduhan dan selalu menuduh mahluk yang diciptakanNya dengan sebutan “Kafir”? Ketika Alloh menuduh “Kafir” kepada mahluk yang diciptakanNya, lantas untuk apa mahluk itu diciptakan? Sungguh, Alloh sangat jauh dari sikap tuduh-menuduh karena apa pun yang berasal dariNya merupakan kebenaran mutlak.
Menyebut orang atau kelompok lain “kafir” kemudian mengecapnya akan masuk ke dalam neraka, bagi Saya pribadi merupakan sikap ceroboh dan merasa lebih “sok tahu” dari Tuhan. Apakah hanya dengan melihat ke dalam ayat-ayat Suci yang mencantumkan kata “Kafir” kepada kelompok pembangkang kemudian dengan sangat mudah kita pun menyebut “kafir” kepada orang yang berada di luar kelompok kita. Bukankah ayat-ayat dalam kitab Suci merupakan Firman Tuhan, kemudian kenapa kita menjadi lebih merasa “paling tahu” dariNya?
Lalu, kepada orang-orang yang berbeda pemikiran, keyakinan, agama, atau apa pun – kita harus mengatakan apa? Tidak perlu kita mengatakan apa-apa, sebut saja mereka “sahabat!”, karena mereka sama dengan kita, manusia, mahluk yang telah diciptakan oleh Tuhan.
Banyak pertanyaan yang mengusik diri Saya, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut harus disederhanakan, terutama mengenai eksistensi manusia di dunia ini. Dari mana kita berasal? Kenapa kita tinggal di dunia ini? Akan kemana setelah meninggal?
Rata-rata manusia membenci dan takut dengan pertanyaan ketiga. Banyak alasan, masih betah tinggal di dunia, belum mencapai puncak tertinggi dalam kehidupan ini, belum memiliki bekal yang cukup untuk menuju akhirat, dan lain sebagainya. Rasa takut inilah yang menjadi penyebab manusia memang akan menemukan kesulitan dalam menemukan jalan untuk kembali kepada Alloh. Namun pada kutub yang ekstrim tidak sedikit manusia yang ingin segera menjumpai kematian dengan cara mengakhiri hidup seperti; bunuh diri, entah dengan cara menggantung diri, minum racun, atau meledakkan diri dengan bom bunuh diri.
Jadi, setelah kematian kita akan ke mana? Tidak sedikit manusia memiliki prasangka, orang beriman akan dimasukkan ke dalam kenikmatan dan orang “kafir” akan menerima hukuman. Akan muncul pertanyaan, jika selama hidup ada manusia diberi cobaan; tinggal di Afrika, diperbudak, tidak mengenal Tuhan, tidak memiliki waktu untuk menggunakan akal pikirannya untuk mengenal Tuhannya, apakah setelah mati orang tersebut akan mendapatkan hukuman? Saya tidak akan menjawab ini, karena tidak ingin merasa lebih tahun dari Tuhan.
Namun, mekanisme kehidupan yang telah ditetapkan oleh Alloh merupakan sebuah teknologi Yang Maha Canggih dan Sempurna, siklus kehidupan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa begitu memukau dan akan mendahulukan sikap dan rasa keadilan. Karena sumber keadilan dan kepemurahan ada pada Yang Maha Kuasa.
Dengan keadilanNya, orang tersebut akan diberi banyak kesempatan untuk berpikir kembali, dihidupkan kembali, dalam hal ini reinkarnasi bisa saja terjadi meskipun beberapa keyakinan (terumana tiga agama besar yang berasal dari Timur Tengah menyebutkan “tidak ada reinkarnasi” dalam kehidupan). Namun sampai saat ini telah banyak bermunculan fakta tentang reinkarnasi ini sebagai bukti betapa Maha Canggihnya teknologi yang telah diciptakan oleh Alloh.
Begitulah, menyebut kafir atau tidak kepada orang lain bukan hak manusia. Manusia hanya memiliki hak menerima apa pun yang telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Fasilitas-fasilitasNya harus digunakan untuk menemukan jalan pulang agar bisa kembali kepadaNya.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Jangan Menyebut Kafir Kepada Orang Lain"