Sumber Photo: Wikipedia
Lahirnya berbagai sistem dalam berbagai hal pada dasarnya tidak pernah lepas dari pengaruh keinginan untuk menguasai sumber daya strategis. Dari hasrat penguasaan sumber daya strategis ini memunculkan sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan, pola kepemimpinan, dan negara.
Dalam pandangan Max Weber, keinginan penguasaan sumber daya strategis ini - besar - dipengaruhi oleh kondisi masyarakat sesuai tahapan perubahan/evolusi kehidupan sosial manusia. Masyarakat tradisional-agraris, seperti di Mesopotamia dan Mesir Kuno, serta daerah-daerah sekitar merumuskan penguasaan lahan-lahan strategis melalui konsep ‘ kepemimpinan mitologis’, negara atau kerajaan dibentuk berdasarkan konsensus dan kesepatakan-kesepatakan kaum agamawan. Raja pun dilahirkan dari rahim kesepakatan para pemuka agama.
Pemimpin yang lahir dari rahim ‘kepemimpinan mitologis’ ini memiliki pola satu arah, bersifat vertical-dominate, dominasi dilakukan oleh domain kerajaan terhadap rakyat sebagai budak. Rakyat tidak diperlakukan sebagai citizen atau warga negara tapi sebagai kaula raja. Daulat raja berlaku, sabda raja adalah sabda dewa. Padahal, bukan raja yang mengendalikan tatanan kehidupan melainkan para pemuka agama yang telah melahirkan bahkan menciptakan ajaran-ajaran. Agama dan politik erat bersanding, namun agama dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan dan menguras sumber daya strategis di wilayah kekuasaan.
Dengan sangat mudah, jika ada rakyat melakukan kesalahan –padahal tidak seberapa – penguasa atas sokongan dalil-dalil dari mulut pemuka agama akan dinyatakan sebagai pembuat dosa besar, manusia durhaka, dan pembangkang dewa-dewa. Kehidupan memang terlihat normal (norm, keteraturan), hanya saja dibalik ketertiban dan keteraturan hidup itu terjadi dikotomi begitu jauh, penguasa dan pemuka agama mengambil bagian terbesar sumber daya sementara rakyat terkuras. Saat aturan perpajakan pertama dicetuskan oleh Kerajaan Romawi Kuno, elit-elit kecil, para penguasa kecil akan merasa bangga memberikan laporan kepada Kaisar ketika pungutan pajak meningkat, tanpa penuh kesadaran, pungutan pajak itu sendiri telah merampas hak-hak rakyat.
Kesadaran terhadap pentingnya penguasaan sumber daya strategis dan hasilnya harus dirasakan bersama terjadi pada masyarakat transisi. Manusia semakin sadar, jika penguasaan sumber daya hanya dilakukan oleh penguasa dan tokoh agama, kehidupan yang tampak normal dan teratur sebetulnya merupakan kenormalan semu juga memiliki arti ketidak normalan. Dalam masyarakat transisi, kehidupan akan normal jika hubungan antara penguasa, tokoh agama, dan rakyat memiliki pola partner realationship. Masyarakat tradisional-komunal lahir. Keyakinan terhadap ajaran yang diciptakan oleh para pemuka agama memang masih memiliki pengaruh besar, namun hanya menyentuh etika dan moral dalam kehidupan.
Hingga lahir masyarakat modern-industrial, penguasaan sumber daya strategis semakin jelas, diberi judul; kesejahteraan untuk negara, jika negara sejahtera maka warga negara akan merasakannya juga, sumber daya strategis tidak hanya dikuasai oleh satu atau beberapa golongan, siapa pun berhak atas pengelolaannya. Kapitalisme memberi batasan; pemilik modal yang berhak memiliki peran dan dominasi atas penguasaan sumber daya alam, kaum marjinal dibeli tenaganya sebagai buruh yang diberi upah. Harga tenaga ini sebagai bentuk konvensasi terhadap ‘kesejahteraan bersama.’
Pandangan kaum kapitalis ini dicerca habis-habisan oleh kaum komunis (masyarakt neo-tradisional-komunal). Faktanya, perubahan pola dan sistem dalam kehidupan ini tetap saja tidak pernah lepas dari penguasaan sumber daya strategis baik di bidang politik, agama, budaya, terlebih ekonomi.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Penguasaan Sumber Daya Strategis"