Dalam hal berpolitik, orang-orang politik di negara ini selalu pandai menghubung-hubungkan segala persoalan dengan politik. Maka, nilai kebaikan dan sikap-sikap terpuji pun sering diukur dengan nilai-nilai politis.
Misalkan, berbuat baik itu didasari oleh niat dalam hati, realisasi kebaikan sendiri bisa terlihat, tiba-tiba ada yang melihat, bahkan ada yang tidak melihat sama sekali (tersembunyi). Namun karena ranah dan wacana perpolitikan di negara ini begitu kuat mengatur ke dalam (internal), maka sikap warga Negara yang menghasilkan kebaikan pun tidak luput dari penilaian politis.
Ada orang berbuat baik, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan strategis, akan dinilai; wah itu sekadar pencitraan, sikapnya bernuansa politis. Nah, masyarakat sebetulnya hanya sebagai follower, mengikuti saja wacana yang sedang hangat mewabah di negara ini. Karena kebaikan dituding sebagai pencitraan yang bermuatan politis, maka masyarakat pun pada akhirnya ikut menuding, kebaikan siapa pun bernilai politis.
Ini tidak terjadi begitu saja, ada mata rantai yang sulit diputuskan, selama hampir tiga abad lebih bangsa ini selalu direcoki oleh persoalan politik yang seharusnya bukan menjadi ranah - bahasan umum. Sejak negara ini masih berbetuk kerajaan-kerajaan, entitas-entitas politik begitu kuat memengaruhi, rasa haus dan keserakahan terhadap kekuasaan, Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara dengan ekpansi-ekspansinya dinyatakan sah sebagai upaya pemersatuan kerajaan-kerajaan kecil. Episentrum kekuasaan di nusantara harus berdiri dalam bentuk satu hegemoni.
Orang tidak suka dipaksa-paksa, tidak akan nyaman dikendalikan oleh siapa pun tanpa alasan yang jelas dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Ekspansi Majapahit sebenarnya bisa dilakukan dengan cara lebih sopan, melalui pendekatan pergaulan, bisnis, dan sikap sosial lain. Namun pada akhirnya, sejarah pun telah mengukir, ekspansi Majapahit yang kental dengan muatan politis ini tidak jauh berbeda dengan ekpansi Romawi dan Kerajaan Inggris.
Majapahit telah membaca ada gelagat politis yang akan dilakukan oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, China, dan Arab. Tiga entitas bangsa luar ini disikapi oleh Majapahit sebagai ancaman politis, bukan agama. Saudagar-saudagar dari tiga negara ini melakukan pendekatan-pendekatan yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Majapahit dan penduduk pribumi. Islamisasi dilakukan melalui pendekatan budaya, namun pada akhirnya terjatuh juga pada sikap politis dari kerajaan Demak. Untunglah tidak terjadi pentumpahan darah secara massif kecuali adanya perang wacana para petinggi Majapahit dan Demak.
Hingga pada akhirnya bangsa-bangsa lain pun datang ke negara ini. Seluruhnya memiliki motif yang sama, ekspansi usaha dan penguasaan sumber daya alam strategis. Ada kesepakatan di belakang layar yang saat ini belum diketahui oleh mayoritas sejarawan kita. Kesepakatan tersebut seperti dua orang pemain catur ; mengatur strategi, melangkahkan pion-pion, membuat pertarungan, namun yang mejadi korban adalah bidak-bidak di atas papan catur.
Umpan paling murah namun digandrungi masyarakat yang ditawarkan oleh semua ekspansionis adalah “keyakinan”. Namun ada teori lain menyebutkan, keyakinan hanya mendompleng saja terhadap ekspansi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain ke nusantara ini. Tampak sekali paradoks yang jelas antara ekspansi dan penjajahan (imperialisasi) dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ajaran atau keyakinan. Deviasi pemikiran semakin berkecamuk, antara keyakinan yang dijadikan alat politik dan politik yang dijadikan kendaraan untuk menyebarkan keyakinan.
Orang-orang di negara ini, saat ini hanya percaya pada satu hal bahwa segala sesuatu, tindakan dan sikap warga negara akan selalu tidak jauh dengan persoalan politik. Di perkampungan-perkampungan, pasca reformasi muncul madzhab dan aliran baru; pemilihan ketua RT dan RW diselenggarakan secara langsung demi alasan demokrasi yang kental dengan muatan politis. Di kedai kopi, di sawah dan ladang, di pematang, di gubug, di pinggir jalan, hingga di masjid dan rumah-rumah ibadah dibahas persoalan-persoalan politis.
Sahkah warga Negara mengulas persoalan politik di setiap tempat? Tentu saja ini merupakan salah satu kemajuan yang sulit dibendung, namun ada persoalan lain yang lebih bernilai daripada politik, yaitu sikap dan moral manusia. Politik hanya bagian kecil dari budaya dan kreasi nalar manusia, jika dijadikan panglima terhadap unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka akan lahir kemandulan kreatifitas, sebab faktanya… manusia ingin berbuat baik pun tidak lepas dari tuduhan: PENCITRAAN, Politisasi, memiliki kepentingan, dan lain lain lain lain…
Saya sendiri, bisa saja sedang mempolitisir sejarah.
KANG WARSA
Misalkan, berbuat baik itu didasari oleh niat dalam hati, realisasi kebaikan sendiri bisa terlihat, tiba-tiba ada yang melihat, bahkan ada yang tidak melihat sama sekali (tersembunyi). Namun karena ranah dan wacana perpolitikan di negara ini begitu kuat mengatur ke dalam (internal), maka sikap warga Negara yang menghasilkan kebaikan pun tidak luput dari penilaian politis.
Ada orang berbuat baik, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan strategis, akan dinilai; wah itu sekadar pencitraan, sikapnya bernuansa politis. Nah, masyarakat sebetulnya hanya sebagai follower, mengikuti saja wacana yang sedang hangat mewabah di negara ini. Karena kebaikan dituding sebagai pencitraan yang bermuatan politis, maka masyarakat pun pada akhirnya ikut menuding, kebaikan siapa pun bernilai politis.
Ini tidak terjadi begitu saja, ada mata rantai yang sulit diputuskan, selama hampir tiga abad lebih bangsa ini selalu direcoki oleh persoalan politik yang seharusnya bukan menjadi ranah - bahasan umum. Sejak negara ini masih berbetuk kerajaan-kerajaan, entitas-entitas politik begitu kuat memengaruhi, rasa haus dan keserakahan terhadap kekuasaan, Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara dengan ekpansi-ekspansinya dinyatakan sah sebagai upaya pemersatuan kerajaan-kerajaan kecil. Episentrum kekuasaan di nusantara harus berdiri dalam bentuk satu hegemoni.
Orang tidak suka dipaksa-paksa, tidak akan nyaman dikendalikan oleh siapa pun tanpa alasan yang jelas dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Ekspansi Majapahit sebenarnya bisa dilakukan dengan cara lebih sopan, melalui pendekatan pergaulan, bisnis, dan sikap sosial lain. Namun pada akhirnya, sejarah pun telah mengukir, ekspansi Majapahit yang kental dengan muatan politis ini tidak jauh berbeda dengan ekpansi Romawi dan Kerajaan Inggris.
Majapahit telah membaca ada gelagat politis yang akan dilakukan oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, China, dan Arab. Tiga entitas bangsa luar ini disikapi oleh Majapahit sebagai ancaman politis, bukan agama. Saudagar-saudagar dari tiga negara ini melakukan pendekatan-pendekatan yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Majapahit dan penduduk pribumi. Islamisasi dilakukan melalui pendekatan budaya, namun pada akhirnya terjatuh juga pada sikap politis dari kerajaan Demak. Untunglah tidak terjadi pentumpahan darah secara massif kecuali adanya perang wacana para petinggi Majapahit dan Demak.
Hingga pada akhirnya bangsa-bangsa lain pun datang ke negara ini. Seluruhnya memiliki motif yang sama, ekspansi usaha dan penguasaan sumber daya alam strategis. Ada kesepakatan di belakang layar yang saat ini belum diketahui oleh mayoritas sejarawan kita. Kesepakatan tersebut seperti dua orang pemain catur ; mengatur strategi, melangkahkan pion-pion, membuat pertarungan, namun yang mejadi korban adalah bidak-bidak di atas papan catur.
Umpan paling murah namun digandrungi masyarakat yang ditawarkan oleh semua ekspansionis adalah “keyakinan”. Namun ada teori lain menyebutkan, keyakinan hanya mendompleng saja terhadap ekspansi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain ke nusantara ini. Tampak sekali paradoks yang jelas antara ekspansi dan penjajahan (imperialisasi) dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ajaran atau keyakinan. Deviasi pemikiran semakin berkecamuk, antara keyakinan yang dijadikan alat politik dan politik yang dijadikan kendaraan untuk menyebarkan keyakinan.
Orang-orang di negara ini, saat ini hanya percaya pada satu hal bahwa segala sesuatu, tindakan dan sikap warga negara akan selalu tidak jauh dengan persoalan politik. Di perkampungan-perkampungan, pasca reformasi muncul madzhab dan aliran baru; pemilihan ketua RT dan RW diselenggarakan secara langsung demi alasan demokrasi yang kental dengan muatan politis. Di kedai kopi, di sawah dan ladang, di pematang, di gubug, di pinggir jalan, hingga di masjid dan rumah-rumah ibadah dibahas persoalan-persoalan politis.
Sahkah warga Negara mengulas persoalan politik di setiap tempat? Tentu saja ini merupakan salah satu kemajuan yang sulit dibendung, namun ada persoalan lain yang lebih bernilai daripada politik, yaitu sikap dan moral manusia. Politik hanya bagian kecil dari budaya dan kreasi nalar manusia, jika dijadikan panglima terhadap unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka akan lahir kemandulan kreatifitas, sebab faktanya… manusia ingin berbuat baik pun tidak lepas dari tuduhan: PENCITRAAN, Politisasi, memiliki kepentingan, dan lain lain lain lain…
Saya sendiri, bisa saja sedang mempolitisir sejarah.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Dalam Hal Berpolitik ...."