Soeharto dikukuhkan sebagai Bapak Pembangunan pada masa kepemimpimannya, klien-klien orde baru berhasil menghembuskan wacana ini dengan alasan; pembangunan di berbagai pelosok dari kota ke desa, dari pusat hingga daerah telah berhasil dilakukan oleh pemerintah waktu itu. SD-SD Inpres dibangun di setiap distrik dan kecamatan. Jalan tanah di perdesaan mulai dibatu, jalan batu diaspal, dan jalan yang telah diaspal diperbaiki lagi semakin bagus. Tambal sulam terhadap kerusakan infrastruktur biasa dilakukan lima tahun sekali, menjelang pemilu. Pembangunan menjadi alat salah satu partai pemerintah dalam kampanye di hadapan khalayak, mau tidak mau rakyat pun menerima asumsi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pembangunan Golkar. Sayang sekali, kebijakan ini cenderung sangat sentralistik, pembangunan lebih banyak dilakukan di desa dan kota di pulau Jawa.
Pulau Jawa merasakan imbas besar terhadap penobatan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan saat di pulau-pulau besar di negara ini, masih ada rakyat yang belum tersentuh dan terperhatikan pendidikan serta kesehatannya. Investor-investor asing mulai berdatangan, Jawa menjadi sentral pembangunan berbagai infrastruktur dari mulai pembangunan sumber energi hingga ke perumahan-perumahan rakyat. Investor menjadikan Jawa sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan Orde Baru, namun pemerintah mengarahkan mereka ke pusat-pusat sumber daya alam strategis yang terletak di luar Pulau Jawa. Hasilnya ditarik oleh pemerintah pusat dan sekitar 70% persen devisa dari penjualan sumber daya alam strategis tersebut dinikmati hanya 10% oleh penduduk di Pulau Jawa. Jika saja hasil dari sumber daya alam ini digunakan sepenuhnya oleh pemerintah Orde Baru untuk kebaikan bersama, sudah bisa dipastikan, Soeharto tidak akan mewariskan beban pembangunan dan utang luar negeri kepada pemerintah selanjutnya. Dengan kata lain, tidak akan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah-pemerintah seterusnya.
Namun, ceritanya memang lain. Pasca keruntuhan Orde Baru- yang diruntuhkan oleh kelompok reformis- , pekerjaan-pekerjaan rumah dari berbagai sektor begitu menganga lebar. Mulai dari roda birokrasi yang masih mengedepankan patron-klien hingga kepada masalah pengentasan kemiskinan. Sisa utang luar negeri sejak Orde Baru yang harus ditanggung oleh Orde Paling Baru saja mencapai Rp. 1.500 triliun. Sepenuhnya, rakyat Indonesia tidak mengerti dan mengetahui, utang luar negeri sebesar itu telah digunakan oleh Orde Baru untuk apa? Dalam sistem perekonomian negara-negara modern disebutkan hampir tidak ada satu pun negara yang tidak memiliki utang luar negeri kepada lembaga keuangan internasional dan negara maju, ini terjadi sebagai bentuk kepercayaan dari negara lain jika sebuah negara memiliki utang luar negeri memiliki arti; negara tersebut masih dipercaya oleh dunia karena memiliki kesamaan indeologi antara negara dan lembaga pendonor dengan negara peminjam. Alasan lain, pinjaman kepada lembaga keuangan internasional ini untuk menyeimbangkan neraca keuangan negara. Kebijakan fiskal ini sebenarnya menjadi ancaman bagi negara-negara berkembang, sebab hal yang seharusnya terjadi adalah ketika investor datang ke negara ini, mereka menanamkan modalnya di negara ini, keuntungan yang dihasilkan dari hal tersebut idealnya harus bisa menyeimbangkan neraca keuangan negara; harta bertambah, utang berkurang. Faktanya yang terjadi justru; harta berkurang, utang bertambah.
Neraca keuangan negara tetap seimbang bukan bergeser pada bertambahnya harta dan berkurangnya modal, melainkan pada sektor-sektor tersier yang sama sekali tidak menjadi faktor penentu determinan neraca keuangan negara; yaitu kestabilan politik, keamanan, dan reformasi birokrasi. Terlalu fokus pada masalah-masalah tersebut telah mengakibatkan pada resesi moneter secara massif antara tahun 1997-2000. Kestabilan politik dan birokrasi yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru tidak bisa membendung serangan tiba-tiba dari pemain keuangan dunia seperti; George Soros. Nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah, harga kebutuhan melambung, saat perekonomian jatuh inilah, kepastian terhadap kestabilan politik dan birokrasi di era Orde Baru mulai dipertanyakan. Dimensi-dimensi lain kehidupan bangsa ini terimbasi juga. Tokoh-tokoh reformis dari kalangan akademisi lahir – bukan berasal dari praktisi politis -, menyuarakan; kegagalan pemerintah Orde Baru. Keropos di masa tua memang alamiah. Ada ketidak percayaan dan kebencian dari rakyat Indonesia waktu itu kepada pemerintah meskipun pada dua setengah dekade tahun sebelumnya mereka merasakan kekondusifan hidup di era Orde Baru. Hanya saja, rakyat tidak sekadar memerlukan kestabilan politik dan birokrasi, mereka lebih membutuhkan isi perut. Mereka kaget dan merasa shok, terbiasa menikmati harga satu liter beras Rp. 450 kemudian melambung pada kisaran Rp. 2.500/liter, mereka berkesimpulan Orde Baru telah gagal. Kejadian ini sebetulnya merupakan pengulangan dari peristiwa runtuhnya Orde Lama akibat resesi moneter. Meskipun Soekarno berpidato berapi-api tentang revolusi, ganyang Malaysia, Inggris Linggis dan Amerika Setrika, namun rakyat tidak menginginkan kelaparan.
Kelompok reformis awal menawarkan kebaikan yang sudah jarang ditemui dalam kehidupan ini kepada rakyat dalam wacana dan orasi-orasi politiknya. Kepercayaan dari rakyat untuk bangkit kembali dari keterpurukan semakin membesar, atas strategi dan desain dari kaum reformis negara ini, desakan untuk membangun kembali tatanan sosial, ekonomi, dan politik harus sesegara mungkin dilakukan. Pemilu 1997 dinyatakan pesta demokrasi yang paling gagal, harus disegerakan pemilu yang mengedepankan asas-asas keterbukaan. Partai-partai politik yang mengendap-endap di era Orde Baru bangkit kembali, pemilu 1999 diselenggarakan untuk menjawab desakan penegakkan demokratisasi politik, pesta demokrasi yang diselenggarakan saat kondisi sebenarnya – rakyat masih lebih membutuhkan pemulihan ekonomi negara – daripada pemulihan politik. Yang terjadi sebenarnya adalah pemilu 1999 disebut sebagai pemilu ‘multi partai’ dilakukan saat krisis moneter belum pulih dan menggunakan anggaran pinjaman dari negara lain.
Selama kurun waktu tujuh tahun dari 1999-2006 terjadi arus perubahan sistem dari berbagai sektor; sentralisasi ke desentralisasi. Imbasnya pada cara pandang terhadap pembangunan itu sendiri. Ketersendat-sendatan pembangunan terjadi di daerah yang minim dengan sumber daya alam strategis, PAD kecil, sementara untuk mendapatkan dana perimbangan sebagai salah satu sumber APBD ditentukan oleh seberapa besar pendapatan di setiap daerah. Konsep swadaya dalam pembangunan mulai digulirkan; tetap saja, keswadayaan dalam pembangunan pun tetap mengandalkan dana pinjaman dari luar, Bank Dunia, IDB, IMF, yang harus dibayar. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyak tambal sulam dalam setiap pembangunan di daerah. Bisa dibandingkan dengan negara Malaysia, pada tahun 2002 di Bulan Oktober, negara tersebut membangun jalur panjang dari Serawak ke Kuching, dengan lebar jalan hingga 10 meter /lajur, mampu diselesaikan oleh pemerintah Malaysia dalam waktu satu semester saja. Sedangkan, pembangunan jalur lingkar selatan di Kota Sukabumi dengan panjang 2 Km berlangsung dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, dari tahun 1997 – 2007, itu pun masih banyak hal yang harus dibenahi, jauh dari kecukupan. Pemerintah Gusdur, Megawati, dan SBY sulit untuk mengklaim bahwa diri mereka sebagai presiden pembangunan di Indonesia. Gusdur hanya mendapatkan gelar sebagai Bapak Bangsa karena kearifannya terhadap kelompok minoritas, dua presiden lainnya tidak mendapatkan julukan dan gelar apa pun dari negara ini.
Pemerintah pusat mengharapkan – di era reformasi – pembangunan di daerah harus dilakukan secara kompetitif, daerah yang melakukan pembangunan secara baik dan utuh akan mendapatkan anggaran tambahan dari pusat melalui pemerintah provinsi. Selama dua tahun – Program Pendanaan Kompetitif – membidik tiga sasaran; pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Program pembangunan ini tidak berjalan sesuai harapan, terjadi kesenjangan antara konsep yang diajukan dengan pelaksanaan di lapangan. Sebagai contoh; pemerintah memberikan bantuan kepada para petani melalui program penggemukan hewan ternak, setelah dievaluasi, pendapatan dari penggemukan tersebut dirata-ratakan sebesar Rp. 1.000/hari, tidak sebanding dengan proses penggemukannya. Perencanaan pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang di berbagai daerah terfokus pada pembangunan sarana dan prasarana, karena banyaknya bidang yang harus dipenuhi, pembangunan pun tidak bersifat holistik, namun lebih mengarah kepada konsep parsial. Bidang A dibangun, bidang B rusak, dalam waktu enam bulan terjadi sebaliknya; Bidang A rusak lagi, dan bidang B baru diperbaiki. Kelemahan desentralisasi mulai terlihat pada mekanisme pemerataan pembangunan, pembangunan terlihat lebih menunjukkan pola tambal sulam. Hal baru sama sekali sulit terwujud dalam waktu singkat jika pembangunan masih berpola seperti ini.
KANG WARSA
Pulau Jawa merasakan imbas besar terhadap penobatan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan saat di pulau-pulau besar di negara ini, masih ada rakyat yang belum tersentuh dan terperhatikan pendidikan serta kesehatannya. Investor-investor asing mulai berdatangan, Jawa menjadi sentral pembangunan berbagai infrastruktur dari mulai pembangunan sumber energi hingga ke perumahan-perumahan rakyat. Investor menjadikan Jawa sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan Orde Baru, namun pemerintah mengarahkan mereka ke pusat-pusat sumber daya alam strategis yang terletak di luar Pulau Jawa. Hasilnya ditarik oleh pemerintah pusat dan sekitar 70% persen devisa dari penjualan sumber daya alam strategis tersebut dinikmati hanya 10% oleh penduduk di Pulau Jawa. Jika saja hasil dari sumber daya alam ini digunakan sepenuhnya oleh pemerintah Orde Baru untuk kebaikan bersama, sudah bisa dipastikan, Soeharto tidak akan mewariskan beban pembangunan dan utang luar negeri kepada pemerintah selanjutnya. Dengan kata lain, tidak akan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah-pemerintah seterusnya.
Namun, ceritanya memang lain. Pasca keruntuhan Orde Baru- yang diruntuhkan oleh kelompok reformis- , pekerjaan-pekerjaan rumah dari berbagai sektor begitu menganga lebar. Mulai dari roda birokrasi yang masih mengedepankan patron-klien hingga kepada masalah pengentasan kemiskinan. Sisa utang luar negeri sejak Orde Baru yang harus ditanggung oleh Orde Paling Baru saja mencapai Rp. 1.500 triliun. Sepenuhnya, rakyat Indonesia tidak mengerti dan mengetahui, utang luar negeri sebesar itu telah digunakan oleh Orde Baru untuk apa? Dalam sistem perekonomian negara-negara modern disebutkan hampir tidak ada satu pun negara yang tidak memiliki utang luar negeri kepada lembaga keuangan internasional dan negara maju, ini terjadi sebagai bentuk kepercayaan dari negara lain jika sebuah negara memiliki utang luar negeri memiliki arti; negara tersebut masih dipercaya oleh dunia karena memiliki kesamaan indeologi antara negara dan lembaga pendonor dengan negara peminjam. Alasan lain, pinjaman kepada lembaga keuangan internasional ini untuk menyeimbangkan neraca keuangan negara. Kebijakan fiskal ini sebenarnya menjadi ancaman bagi negara-negara berkembang, sebab hal yang seharusnya terjadi adalah ketika investor datang ke negara ini, mereka menanamkan modalnya di negara ini, keuntungan yang dihasilkan dari hal tersebut idealnya harus bisa menyeimbangkan neraca keuangan negara; harta bertambah, utang berkurang. Faktanya yang terjadi justru; harta berkurang, utang bertambah.
Neraca keuangan negara tetap seimbang bukan bergeser pada bertambahnya harta dan berkurangnya modal, melainkan pada sektor-sektor tersier yang sama sekali tidak menjadi faktor penentu determinan neraca keuangan negara; yaitu kestabilan politik, keamanan, dan reformasi birokrasi. Terlalu fokus pada masalah-masalah tersebut telah mengakibatkan pada resesi moneter secara massif antara tahun 1997-2000. Kestabilan politik dan birokrasi yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru tidak bisa membendung serangan tiba-tiba dari pemain keuangan dunia seperti; George Soros. Nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah, harga kebutuhan melambung, saat perekonomian jatuh inilah, kepastian terhadap kestabilan politik dan birokrasi di era Orde Baru mulai dipertanyakan. Dimensi-dimensi lain kehidupan bangsa ini terimbasi juga. Tokoh-tokoh reformis dari kalangan akademisi lahir – bukan berasal dari praktisi politis -, menyuarakan; kegagalan pemerintah Orde Baru. Keropos di masa tua memang alamiah. Ada ketidak percayaan dan kebencian dari rakyat Indonesia waktu itu kepada pemerintah meskipun pada dua setengah dekade tahun sebelumnya mereka merasakan kekondusifan hidup di era Orde Baru. Hanya saja, rakyat tidak sekadar memerlukan kestabilan politik dan birokrasi, mereka lebih membutuhkan isi perut. Mereka kaget dan merasa shok, terbiasa menikmati harga satu liter beras Rp. 450 kemudian melambung pada kisaran Rp. 2.500/liter, mereka berkesimpulan Orde Baru telah gagal. Kejadian ini sebetulnya merupakan pengulangan dari peristiwa runtuhnya Orde Lama akibat resesi moneter. Meskipun Soekarno berpidato berapi-api tentang revolusi, ganyang Malaysia, Inggris Linggis dan Amerika Setrika, namun rakyat tidak menginginkan kelaparan.
Kelompok reformis awal menawarkan kebaikan yang sudah jarang ditemui dalam kehidupan ini kepada rakyat dalam wacana dan orasi-orasi politiknya. Kepercayaan dari rakyat untuk bangkit kembali dari keterpurukan semakin membesar, atas strategi dan desain dari kaum reformis negara ini, desakan untuk membangun kembali tatanan sosial, ekonomi, dan politik harus sesegara mungkin dilakukan. Pemilu 1997 dinyatakan pesta demokrasi yang paling gagal, harus disegerakan pemilu yang mengedepankan asas-asas keterbukaan. Partai-partai politik yang mengendap-endap di era Orde Baru bangkit kembali, pemilu 1999 diselenggarakan untuk menjawab desakan penegakkan demokratisasi politik, pesta demokrasi yang diselenggarakan saat kondisi sebenarnya – rakyat masih lebih membutuhkan pemulihan ekonomi negara – daripada pemulihan politik. Yang terjadi sebenarnya adalah pemilu 1999 disebut sebagai pemilu ‘multi partai’ dilakukan saat krisis moneter belum pulih dan menggunakan anggaran pinjaman dari negara lain.
Selama kurun waktu tujuh tahun dari 1999-2006 terjadi arus perubahan sistem dari berbagai sektor; sentralisasi ke desentralisasi. Imbasnya pada cara pandang terhadap pembangunan itu sendiri. Ketersendat-sendatan pembangunan terjadi di daerah yang minim dengan sumber daya alam strategis, PAD kecil, sementara untuk mendapatkan dana perimbangan sebagai salah satu sumber APBD ditentukan oleh seberapa besar pendapatan di setiap daerah. Konsep swadaya dalam pembangunan mulai digulirkan; tetap saja, keswadayaan dalam pembangunan pun tetap mengandalkan dana pinjaman dari luar, Bank Dunia, IDB, IMF, yang harus dibayar. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyak tambal sulam dalam setiap pembangunan di daerah. Bisa dibandingkan dengan negara Malaysia, pada tahun 2002 di Bulan Oktober, negara tersebut membangun jalur panjang dari Serawak ke Kuching, dengan lebar jalan hingga 10 meter /lajur, mampu diselesaikan oleh pemerintah Malaysia dalam waktu satu semester saja. Sedangkan, pembangunan jalur lingkar selatan di Kota Sukabumi dengan panjang 2 Km berlangsung dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, dari tahun 1997 – 2007, itu pun masih banyak hal yang harus dibenahi, jauh dari kecukupan. Pemerintah Gusdur, Megawati, dan SBY sulit untuk mengklaim bahwa diri mereka sebagai presiden pembangunan di Indonesia. Gusdur hanya mendapatkan gelar sebagai Bapak Bangsa karena kearifannya terhadap kelompok minoritas, dua presiden lainnya tidak mendapatkan julukan dan gelar apa pun dari negara ini.
Pemerintah pusat mengharapkan – di era reformasi – pembangunan di daerah harus dilakukan secara kompetitif, daerah yang melakukan pembangunan secara baik dan utuh akan mendapatkan anggaran tambahan dari pusat melalui pemerintah provinsi. Selama dua tahun – Program Pendanaan Kompetitif – membidik tiga sasaran; pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Program pembangunan ini tidak berjalan sesuai harapan, terjadi kesenjangan antara konsep yang diajukan dengan pelaksanaan di lapangan. Sebagai contoh; pemerintah memberikan bantuan kepada para petani melalui program penggemukan hewan ternak, setelah dievaluasi, pendapatan dari penggemukan tersebut dirata-ratakan sebesar Rp. 1.000/hari, tidak sebanding dengan proses penggemukannya. Perencanaan pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang di berbagai daerah terfokus pada pembangunan sarana dan prasarana, karena banyaknya bidang yang harus dipenuhi, pembangunan pun tidak bersifat holistik, namun lebih mengarah kepada konsep parsial. Bidang A dibangun, bidang B rusak, dalam waktu enam bulan terjadi sebaliknya; Bidang A rusak lagi, dan bidang B baru diperbaiki. Kelemahan desentralisasi mulai terlihat pada mekanisme pemerataan pembangunan, pembangunan terlihat lebih menunjukkan pola tambal sulam. Hal baru sama sekali sulit terwujud dalam waktu singkat jika pembangunan masih berpola seperti ini.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Tambal Sulam"