Akselerasi pembangunan di daerah perkotaan seperti Kota Sukabumi mengakibatkan semakin terbatasnya luas lahan di daerah ini. Hal ini bisa melahirkan sub-optimalisasi terhadap keberadaan Ruang Terbuka Hijau. Upaya untuk menanggulangi persoalan ini, Pemerintah Kota Sukabumi sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Ini begitu penting, penerbitan peraturan terhadap persoalan krusial seperti penyediaan RTH bagi daerah perkotaan sudah menjadi sebuah keharusan. Tidak hanya memerhatikan keuntungan secara ekonomis, lebih dari itu, keuntungan ekologis harus dijadikan landasan berpijak penerbitan peraturan RTH di Kota Sukabumi.
Minimnya ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Sukabumi yang tidak sebanding dengan akselerasi jumlah kendaraan bermotor akan membawa dampak kurang baik terhadap kenyamanan, rasa aman, dan keindahan Kota. Harus diakui, keberadaan Ruang Terbuka Hijau menjadi sebuah teknik bio-enginering dan bangunan bio-filter yang relative cukup murah untuk mengatasi persoalan pencemaran udara. Kecuali itu, lahan terbuka dan lahan terbuka hijau masih sering dipenuhi oleh berbagai reklame, spanduk, baligho, dan poster.
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan tidak bisa berdiri begitu saja. Ini berkaitan dengan hal penting dalam pembangunan, Rencana Tata Ruang Kota. Ada korelasi yang tidak bisa terpisahkan dengan pembangunan infra struktur lainnya. Penataannya harus saling berkait dan berkesinambungan dengan beberapa komponen dasar pembangunan; tata guna lahan perkotaan, sistem transportasi, dan sistem pembangunan jaringan kabel bawah tanah.
Tidak bisa dipungkiri, jalur-jalur utama di Kota Sukabumi masih belum memenuhi persyaratan konsep Ruang Terbuka Hijau, maka setelah Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau tersebut disahkan, pemerintah harus membidik lahan-lahan jalur utama perkotaan seperti; Jl. A. Yani, Jl. Pelabuan II, Jl. Otto Iskandardinata, dan beberapa jalan lain sebagai proyeksi pembangunan RTH. Semakin sedikitnya vegetasi yang memenuhi Ruang Terbuka Hijau berdampak pada hal penting sebuah jalur, hilangnya nilai estetika jalur tersebut.
Persoalan lain yang dialami oleh daerah perkotaan adalah sedikitnya pertamanan kota dan kebuthan rekreasi luar ruang. Maka, RTH yang akan dibangun ke depan harus memiliki pola dan benar-benar terstruktur dengan jelas. Artinya, Peraturan Daerah harus memberi titik tekan pada : pembangunan RTH harus melibatkan ikatan fungsional berbagai komponen yang bersifat planologis dan antroposentris. Pengintegrasian pola dan struktur pembangunan RTH sangat penting dilakukan di daerah perkotaan (Pusat Kota Sukabumi; Cikole, Citamiang, sebagian Warudoyong, dan Gunungpuyuh). Sementara untuk daerah pemekaran (Baros, Cibeureum, dan Lembursitu) sangat dibutuhkan pembangunan RTH yang bersifat non strutural dan bersifat ekosentris.
Seleksi terhadap vegetasi atau tumbuhan yang akan ditanam di kawasan Ruang Terbuka Hijau harus disesuaikan dengan lokasi dan rancangan-rancangan peruntukkannya. Keberhasilan rancangan , penanaman, dan pelestarian vegetasi pada Ruang Terbuka Hijau ini harus memerhatikan; aspek arsitektural dan hortikultural tanaman sebagai penyusun vegetasi RTH.
Ke depan, dalam perencanaan pembangunan RTH yang memiliki fungsi harus diperhatikan luas minimum lahan yang diperlukan, seberapa besar kapasitas atau daya dukung lahan tersebut, memiliki lokasi yang tepat, besifat terukur dan pasti. Ketersediaan lahan yang akan dijadikan RTH begitu minimum, pemerintah bisa mengatasinya dengan membangun RTH privat, Ruang Terbuka Hijau yang dibangun oleh lembaga atau masyarakat (perorangan) Kota Sukabumi. Di sini, penting sekali dalam Peraturan Daerah adanya pasal terkait ajakan yang sifatnya fleksibel dan tidak memaksa juga didukung oleh petunjuk operasional dan teknis yang jelas.
Issue-issue yang berkembang dalam pembangunan RTH selama dua dekade ini antara lain; di beberapa daerah sering terjadi sub-optimalisasi RTH; jumlah dan kualitas Ruang Terbuka Hijau sangat kecil, banyaknya RTH mengalami disfungsi, lemahnya pengelolaan RTH, lemahnya persepsi masyarakat terhadap Ruang Terbuka Hijau, dan kurang berperan sertanya para stake holders dalam mengaplikasikan pembangunan RTH.
Kelemahan dan kekurangan di atas harus segera diatasi dengan rencana kerja dan kerja yang terencana. Kecuali menerbitkan payung hukum seperti Peraturan Daerah, pemerintah pun harus menyusun pedoman umum pembangunan dan pengelolaan RTH, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat. Peningkatan peran stake holders bisa disiasati dengan menyusun mekanisme insentif dan disinsentif seperti mengadakan lomba penghijauan dan pembangunan RTH di Kecamatan hingga tingkat RW.
Sementara itu, untuk mengatasi keterbatasan lahan perkotaan yang akan dijadikan RTH, pemerintah Kota Sukabumi harus menyusun strategi; peningkatan lahan terbuka menjadi Ruang Terbuka Hijau, peningkatan RTH Privat, dan lahan-lahan marjinal yang masih terabaikan. (*)
Kang Warsa
Ini begitu penting, penerbitan peraturan terhadap persoalan krusial seperti penyediaan RTH bagi daerah perkotaan sudah menjadi sebuah keharusan. Tidak hanya memerhatikan keuntungan secara ekonomis, lebih dari itu, keuntungan ekologis harus dijadikan landasan berpijak penerbitan peraturan RTH di Kota Sukabumi.
Minimnya ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Sukabumi yang tidak sebanding dengan akselerasi jumlah kendaraan bermotor akan membawa dampak kurang baik terhadap kenyamanan, rasa aman, dan keindahan Kota. Harus diakui, keberadaan Ruang Terbuka Hijau menjadi sebuah teknik bio-enginering dan bangunan bio-filter yang relative cukup murah untuk mengatasi persoalan pencemaran udara. Kecuali itu, lahan terbuka dan lahan terbuka hijau masih sering dipenuhi oleh berbagai reklame, spanduk, baligho, dan poster.
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan tidak bisa berdiri begitu saja. Ini berkaitan dengan hal penting dalam pembangunan, Rencana Tata Ruang Kota. Ada korelasi yang tidak bisa terpisahkan dengan pembangunan infra struktur lainnya. Penataannya harus saling berkait dan berkesinambungan dengan beberapa komponen dasar pembangunan; tata guna lahan perkotaan, sistem transportasi, dan sistem pembangunan jaringan kabel bawah tanah.
Tidak bisa dipungkiri, jalur-jalur utama di Kota Sukabumi masih belum memenuhi persyaratan konsep Ruang Terbuka Hijau, maka setelah Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau tersebut disahkan, pemerintah harus membidik lahan-lahan jalur utama perkotaan seperti; Jl. A. Yani, Jl. Pelabuan II, Jl. Otto Iskandardinata, dan beberapa jalan lain sebagai proyeksi pembangunan RTH. Semakin sedikitnya vegetasi yang memenuhi Ruang Terbuka Hijau berdampak pada hal penting sebuah jalur, hilangnya nilai estetika jalur tersebut.
Persoalan lain yang dialami oleh daerah perkotaan adalah sedikitnya pertamanan kota dan kebuthan rekreasi luar ruang. Maka, RTH yang akan dibangun ke depan harus memiliki pola dan benar-benar terstruktur dengan jelas. Artinya, Peraturan Daerah harus memberi titik tekan pada : pembangunan RTH harus melibatkan ikatan fungsional berbagai komponen yang bersifat planologis dan antroposentris. Pengintegrasian pola dan struktur pembangunan RTH sangat penting dilakukan di daerah perkotaan (Pusat Kota Sukabumi; Cikole, Citamiang, sebagian Warudoyong, dan Gunungpuyuh). Sementara untuk daerah pemekaran (Baros, Cibeureum, dan Lembursitu) sangat dibutuhkan pembangunan RTH yang bersifat non strutural dan bersifat ekosentris.
Seleksi terhadap vegetasi atau tumbuhan yang akan ditanam di kawasan Ruang Terbuka Hijau harus disesuaikan dengan lokasi dan rancangan-rancangan peruntukkannya. Keberhasilan rancangan , penanaman, dan pelestarian vegetasi pada Ruang Terbuka Hijau ini harus memerhatikan; aspek arsitektural dan hortikultural tanaman sebagai penyusun vegetasi RTH.
Ke depan, dalam perencanaan pembangunan RTH yang memiliki fungsi harus diperhatikan luas minimum lahan yang diperlukan, seberapa besar kapasitas atau daya dukung lahan tersebut, memiliki lokasi yang tepat, besifat terukur dan pasti. Ketersediaan lahan yang akan dijadikan RTH begitu minimum, pemerintah bisa mengatasinya dengan membangun RTH privat, Ruang Terbuka Hijau yang dibangun oleh lembaga atau masyarakat (perorangan) Kota Sukabumi. Di sini, penting sekali dalam Peraturan Daerah adanya pasal terkait ajakan yang sifatnya fleksibel dan tidak memaksa juga didukung oleh petunjuk operasional dan teknis yang jelas.
Issue-issue yang berkembang dalam pembangunan RTH selama dua dekade ini antara lain; di beberapa daerah sering terjadi sub-optimalisasi RTH; jumlah dan kualitas Ruang Terbuka Hijau sangat kecil, banyaknya RTH mengalami disfungsi, lemahnya pengelolaan RTH, lemahnya persepsi masyarakat terhadap Ruang Terbuka Hijau, dan kurang berperan sertanya para stake holders dalam mengaplikasikan pembangunan RTH.
Kelemahan dan kekurangan di atas harus segera diatasi dengan rencana kerja dan kerja yang terencana. Kecuali menerbitkan payung hukum seperti Peraturan Daerah, pemerintah pun harus menyusun pedoman umum pembangunan dan pengelolaan RTH, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat. Peningkatan peran stake holders bisa disiasati dengan menyusun mekanisme insentif dan disinsentif seperti mengadakan lomba penghijauan dan pembangunan RTH di Kecamatan hingga tingkat RW.
Sementara itu, untuk mengatasi keterbatasan lahan perkotaan yang akan dijadikan RTH, pemerintah Kota Sukabumi harus menyusun strategi; peningkatan lahan terbuka menjadi Ruang Terbuka Hijau, peningkatan RTH Privat, dan lahan-lahan marjinal yang masih terabaikan. (*)
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Sukabumi"