Simbol

Ide tidak pernah mati. Dia akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, namun tidak secara genetika. Dia dilahirkan dalam sebuah gerakan sosial, aktivitas kehidupan, dan tindakan sosial sebuah masyarakat. Ide-ide Plato barangkali diejawantahkan langsung oleh muridnya, Aristoteles dalam bentuk realisme. Karena ide merupakan sebuah motivator penggerak, maka di dalam sebuah masyarakat harus ada agen perubahan, manusia yang bisa membawa sebuah masyarakat kepada evolusi kebaikan sebuah ide hingga menjelma menjadi praktek dan tindakan sosial.

Kewajiban manusia menuntut ilmu pengetahuan, keharusan pemerintah menyediakan pendidikan yang bisa terjangkau masyarakat, harus adanya pemerintah yang mampu mengayomi kehidupan masyarakatnya, dan segudang tuntutan lain agar sebuah negara menjadi sempurna adalah merupakan ide tertinggi. Dan dalam kehidupan bernegara, ide-ide cerdas ini dilembagakan dalam bentuk kebijakan, Undang-undang, dan aturan. Dikerucutkan dalam kertas-kertas bertuliskan BAB dan PASAL. Itu pun baru berupa resep, ide yang tertuliskan.

Ide-ide mendasar kehidupan bernegara- untuk Indonesia- telah disarikan oleh para founding father dari akar budaya bangsa Indonesia. Untuk orang Indonesia yang beragama Islam telah disarikan dalam Kitab Suci Al-Quran. Sebab ide ini bersifat abstrak dan umum, maka nilai-nilai kebenaran seharusnya sama. Seperti halnya kejujuran, dusta, dan sikap-sikap lainnya diakui sebagai nilai yang sama oleh manusia. Jika si A berkata jujur, maka dia akan disebut si Jujur, begitu sebaliknya.

Ide harus ditempatkan di bumi. Tidak pantas, sebagai manusia, ketika berbicara tentang persamaan, nilai-nilai kemanusiaan, dan keadilan, sementara manusia berusaha mati-matian menempatkan diri sendiri berada di langit dan bermain-main dengan ide.

Masalah adalah kesenjangan antara ide dengan realita. Ide kesejahteraan yang tertuliskan dalam bentuk BAB dan PASAL sering terlihat berseberangan. Jika pun tidak mau dikatakan demikian, maka dia selalu melenceng dari keharusan. Dari sini, selalu timbul permasalahan, akar masalah, dan saling salah menyalahkan, bahkan tidak mau menerima dan mengakui kesalahan. Kesahalan-kesalahan disembunyiikan bukan dengan tindakan, kecuali diciptakan lagi ide-ide, aturan-aturan baru. Kondisi seperti ini, tentu memunculkan semakin kuatnya akar logosentrisme dalam kehidupan. Diyakini adanya aturan baku dalam bentuk simbolisasi. Apa pun harus tersimbolkan, tidak penting berhasil atau tidak, bahkan ukuran keberhasilan pun dilihat dari simbol-simbol tersebut.

Simbolisasi ini merupakan penyakit. Orang akan menuhankan ikon dan memberhalakan idol, bentuk terkecil dari simbol namun begitu disucikan.  Monumen-monumen dibangunnya sebagai simbol kejayaan sebuah negara meskipun kondisi sebetulnya negara tersebut berada di persimpangan jalan membingungkan. Dituliskan keberhasilan seorang Gubernur dalam baligo dengan potret diri saat di pelosok negeri tidak sedikit anak-anak putus sekolah. Disebutlah, ini sebagai budaya pop, trendnya sesaat, tapi percayalah, pengaruh simbolisasi ini akan tetap berlangsung jika penanaman kebenaran, pendidikan terhadap cara yang baik dan benar masih belum menyentuh “ke kedalaman lubuk hati manusia.”, Kata Isaiah Berlin.

Ada benarnya, simbol merupakan pengkrucutan mental sebuah bangsa. Jika dalam kehidupan bernegara disesaki oleh orang-orang yang senang dan memiliki cita-cita ingin menjadi pegawai negara, ingin diangkat sebagai pegawai oleh negara, maka simbol negara tersebut memberi pesan, betapa negara tidak membutuhkan apa pun, tidak memerlukan pengabdian dari siapa pun. Sebab apa? Jika seseorang ingin dan “ngebet” menjadi pegawai negara, maka dia telah menempatkan dirinya agar kehidupannya dijamin oleh negara. Dan simbol itu sekarang terus menjurus ke arah itu. Jaminan masa depan adalah simbol, karena siapa yang tahu tentang masa depan. Ketika simbol ini disembah oleh mayoritas masyarakat kita, maka akan timbul bentuk sembahan lain,proyeksi dari simbol tersebut adalah lahirnya : Cacah dan Menak.

Suatu hari, Saya memakai seragam Dinas, maka orang-orang di Kampung ramai dan mengatakan Saya sebagai orang sukses padahal disaku celana hanya ada uang lima ribu saja. Nah, begitulah simbol, saat ini telah mampu menyulap alam pikiran manusia. Di dada seseorang disematkan beberapa penghargaan, nama diri dengan titel sepanjang-panjangnya, maka dia akan dihormati, dijadikan tuhan baru. Simbol ini telah mengaburkan pandangan, jika pun mau jujur, siapa yang patut dan paling pantas dihormati Pejabat atau petani kah? Logikanya seperti ini, siapa pun memang bisa hidup tanpa siapa pun, namun kurang sempurna. Petani tetap akan bisa bertahan hidup tanpa adanya pejabat , karena sedikit sekali kebijakan yang menguntungkan petani. Lantas, jika petani sudah tidak ada lagi, apakah pejabat siap terjun ke sawah, mengayun cangkul di bawah terik matahari. Disini akan ada pertaruhan!

Ide menjadi simbol ini karena tersumbat oleh pemikiran sesaat, belum menyentuh realita. Maka, sampai kapan pun, ketika simbol tidak terpecahkan, tidak dihapus, kehidupan akan terus mengarah kepada pembentukan simbol-simbol baru, sembahan-sembahan baru. Saya bercermin, menatap diri sendiri, betapa takutnya, sebab diri saya sendiri masih dipenuhi oleh simbol-simbol: tentang ketampanan, ketuaan, masa depan. Dan hidup lah kita sebagai manusia-manusia yang telah mati sebelum waktunya sebab dibinasakan oleh simbol kita sendiri.

Namun bagaimana pun, manusia akan selalu berusaha mempertahankan hal terkecil dalam sebuah tradisi, meskipun ada kekejaman di dalamnya, paling tidak agar semua tidak tertimbun oleh reruntuhan tradisi atau tradisi tidak runtuh seluruhnya. Termasuk mempertahankan simbol dan ikon, bahkan idol (berhala) sekalipun. [ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Simbol"