Kosmokrasi Pewacanaan Akal dan Nalar Jalanan

Pasca “Revolusi Industri”, babak baru merkantilisme Eropa memadu dengan segmen lain kehidupan, yaitu politik. Diakui, saat dua kelompok ini bahu membahu dalam satu tujuan yang memiliki kerangka, pemegang teguh ekonomi bermadzhab utopis sedang berada di ujung tanduk. Dua profesi mulai digemari oleh masyarakat Eropa, menjadi politisi atau pengusaha. Politisi sebagai jembatan untuk membahagiakan masyarakat dan golongan. Cita-cita menjadi pengusaha ditujukan untuk mencapai achievement tertinggi kehidupan, sebuah prestasi diri. Sejak awal abad ke-18, para ekonom dan politisi bermadzhab pragmatisme menyepakati, sebuah “pasar” besar harus diciptakan. Hal tersebut perlu didukung oleh regulasi beberapa negara, sebuah konsensus dibuat; kesepakatan untuk menaikkan semangat merkantilisme-industri di negara-negara Eropa. Legitimasi besar terhadap merkantilisme mendapat restu dari gereja. Fokus kegiatan politik dan ekonomi diarahkan kepada pemenuhan dua sisi kehidupan; Raja sentris dan Paus sentris.

Pemusatan politik dan ekonomi berbasis “pasar” melahirkan pola baru dalam kegiatan industrialisasi dari bentuk usaha domestik menjadi sistem usaha manufaktur. Kongsi perdagangan besar Eropa seperti V.O.C mengalihkan fokus kegiatan bukan sekedar mencari emas sebagai simbol keberhasilan merkantilisme, namun diarahkan pada pemenuhan bahan-bahan baku untuk mendukung sistem manufaktur. Atlas dunia dipetakan menjadi dua kutub, negara –negara imperialis sebagai kaum penjajah (baca: penjarah) dan negara-negara terjajah (baca: terjarah). Sentralisasi pasar jelas sekali memusat di negara-negara Eropa, pengusaha dan politisi penikmat keberhasilan penguasaan sumber daya alam strategis pun berasal dari negara-negara Eropa.

Imbas penciptaan “pasar” global tidak hanya dirasakan oleh negara-negara terjajah dari abad 16 hingga awal abad ke-20 saja, hal ini memengaruhi sampai konsep negara bangsa tetap bertahan. Dampak yang diakibatkan, sudah hampir 5 abad, dunia lebih banyak melahirkan politisi rakus dan pengusaha pelit. Seperti ungkapan Miklethwait, “ jarang sekali –sejak negara-negara Eropa melahirkan sebuah pasar – ditemui dua jenis manusia dari kalangan politisi dan pengusaha yang berbaik hati. “ Pengusaha-pengusaha besar lebih mementingkan pertambahan keuntungan dan modal dari pada memikirkan di samping pasar yang telah lahir masih banyak komunitas-komunitas lemah yang membutuhkan perhatian.

Kendati demikian, Rockefeller bisa dijadikan contoh baik, dunia tidak sepenuhnya kehilangan pengusaha dermawan. Hasil jerih payahnya sejak usia muda didermakan untuk membangun University of Chicago dan Rockefeller Institute of Medical Research. Kedermawanan pengusaha ini menjadi bukti, ketika seorang pengusaha memilih untuk menjadi srigala, maka fondasi dan sendi perekonomian akan runtuh tanpa sisa. Keberhasilan V.O.C di Hindia Belanda tidak bertahan cukup lama karena ambruknya moral kongsi perdagangan tersebut oleh korupsi dan kepelitan para pengusaha dan pekerja di tubuh V.O.C.

Pendirian ‘pasar global’ pasca Revolusi Industri di Inggris menjadi latar belakang munculnya arus globalisasi. Babak baru, masyarakat baru, dan sistem tatanan baru. Pencetusan sistem tatanan dunia baru oleh keluarga Rotschild dinyatakan sebagai ‘obat bius baru bagi negara-negara Eropa dan Barat untuk tetap mempertahankan dominasi mereka dengan didukung oleh berbagai kompetensi.” Kekuatiran muncul dari kelompok puritan baik dari kelompok Islam juga Krsiten. Tatanan dunia baru adalah upaya untuk melumpuhkan sendi-sendi tradisi yang ada. Dua kelompok ini tetap mempetahankan bagian terkecil dari tradisi, meskipun dipandang sangat kejam (seperti penyebutan bid’ah kepada para pemikir yang dianggap sesat), paling tidak agar tradisi tidak runtuh seluruhnya. Globalisasi dianggap sebagai ancaman, meskipun hakikatnya musuh utama globalisasi sendiri adalah inkompetensi, bukan kepelbagaian. Negara-negara dengan mayoritas muslim pernah mengeluarkan larangan, kaum perempuan tidak memiliki kemerdekaan untuk belajar dan bekerja di luar rumah. Kalangan gereja membangun oikumene-oikumene sebagai lembaga strelisasi dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh mata pisau beracun bernama globalisasi.

Kekuatiran lain terhadap serangan gelombang ke-tiga ini (Toffler) yaitu akan melenyapkan negara-negara bangsa meskipun pada kenyataannya, struktur tatanan dunia baru sampai saat ini tidak bisa menghancurkan dan melenyapkan negara bangsa. Ramalan Huntington tentang hal ini masih belum mewujud, sebab, negara-negara bangsa hakikatnya lahir dari merkantilisme itu sendiri. Sejak abad ke-16 hingga abad ke 19, negara-negara baru lahir, pandangan dunia terhadap kepelbagaian dan kemandirian sebuah bangsa merupakan anak kandung dari cikal bakal globalisasi itu sendiri. Kekuatan-kekuatan baru pun muncul, dalam The Clash of Civilization, Huntington sebenarnya ingin mengatakan; “ bukan hanya dari bangsa Eropa saja satu kekuatan baru sebagai penghancur negara bangsa ini ingin didirikan, dalam dunia Islam pun dengan bingkai kekholifahan penghancuran negara-negara bangsa sedang berlangsung.” Benturan peradaban sebenarnya terletak pada dua tujuan pendirian satu kekuatan baru, bukan semata dilatar belakangi oleh emosi keagamaan, namun oleh hasrat kekuasaan. Dan konsep Tuhan tetap dijadikan tameng perlindungan oleh dua kekuatan besar tersebut; In God we Trust dan Laa Ilaaha Illallah.

Fakta yang terjadi, hingga saat ini, tatanan dunia baru dan sistem kekhalifahan masih tetap diwacanakan karena dua kekuatan yang dianggap ideal ini sangat sulit menembus dinding kokoh bernama “pasar” dan “negara bangsa”. Menghilangkan identitas-indentitas kenegaraan yang dihasilkan dari proses panjang perjuangan bukan pekerjaan mudah, meskipun dilabeli dengan embel-embel agama, manusia akan lebih cenderung mengammbil hal paling penting bagi mereka yaitu bangsa mereka, agama hanya merupakan bagian dari sebuah bangsa. Di Indonesia sendiri, pendirian NII oleh Kartosuwiryo bisa tereliminir oleh gaung ‘bangsa Indonesia’. Sistem khilafah yang sedang marak disosialisasikan tetap mengalami kesulitan menembus benteng negara bangsa. Universalisme hanya berlaku bagi ‘pasar’ bukan pada sistem negara global. Atau paling tidak, negara global hanya berlangsung pada konteks yang berbeda.

Sementara itu, untuk membentuk sebuah ‘pasar’ baik dalam lingkup nasional, regional, atau global akan dengan mudah dilakukan oleh negara mana pun. Dasar utama pendirian ‘pasar regional’ misalkan, dipengaruhi oleh tujuan bersama; mengentaskan kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Negara-negara ASEAN tidak mengalami kesulitan dalam mewacanakan pembangunan ‘pasar regional’ untuk memenuhi integrasi sektor prioritas. Kesepakatan untuk memprioritaskan sektor-sektor unggulan ditetapkan pada tahun 2003 oleh negara-negara ASEAN. Lahir dari kepelbagaian namun memiliki akar permasalahan yang sama.

Enam tahun kemudian, negara-negara ASEAN membentuk wacana baru pendirian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sasarannya tetap sama, 12 sektor unggulan yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ke-7 sektor barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan kesehatan, turisme dan jasa logistik. Tujuan dan arah globalisasi semakin jelas, bukan sekedar pada persoalan bagaimana sistem negara dibentuk namun telah kea rah bagaimana menguatkan sistem yang telah ada.

Kosmokrasi sebagai sistem negara global (baik tatanan dunia baru di dunia Barat dan Kekhilafahan di dunia Islam) hanya akan dipandang sebagai pewacanaan akal dan nalar jalanan saja. Pandangan ini tidak tanpa alasan, sebab untuk menghadapi globalisasi, manusia akan lebih memfokuskan pada pemenuhan kompetensi diri mereka agar bisa mengimbangi arus besar kemajuan daripada memikirkan hal-hal utopia yang akan terbukti di negara antah berantah. Kita sedang tidak hidup dalam dunia angan-angan.[ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Kosmokrasi Pewacanaan Akal dan Nalar Jalanan"