Terminal Kehidupan

Saya memiliki satu pandangan, hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Dalam perjalanan tersebut telah dan akan ditemui terminal-terminal persinggahan. Pada terminal-terminal persinggahan itu lah kita –sebagai manusia – bercengkrama dengan orang-orang yang belum pernah kita jumpai sebelumnya.

Karena hidup merupakan sebuah perjalanan, panjang, berliku, berkerikil, namun percayalah, jika kita melihat ke sekitar, lebih banyak pemandangan indah yang kita lalui, kita lihat, dan kita rasakan. Jalan berkerikil hanya sesaat saja kita jumpai. Jalan memang tidak selamanya lurus, kita akan menjumpai tikungan, turunan curam, tanjakan terjal, hingga persimpangan jalan. Disitulah, pilihan terbaik harus kita ambil.

Kesalahan terbesar dalam hidup adalah ketika kita sering banyak menyalahkan orang lain atau para penumpang yang tidak satu tujuan dengan kita. Padahal sikap, prilaku, dan ucapan siapa pun didasari oleh keyakinan dan tekad yang telah tertanam dalam diri setiap orang. Bukan mencaci atau menyalahkan, sebaiknya kita harus banyak mengambil pelajaran dari orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Lihatlah diri sendiri, itu terpenting dalam hidup.

Ada ujar-ujar yang telah sering diucapkan oleh leluhur kita sebagai manusia Sunda, “manuk hiber ku jangjangna..”, ini menyiratkan, setiap mahluk yang berada di alam semesta telah memiliki peran, fugsi , tugas, dan posisi masing-masing. Akan sangat celaka ketika kita mengomeli peran seekor burung atau peran mahluk-mahluk lain agar sama dengan diri kita.

Titik awal perjalanan sering sama, bermula pada sebuah awalan, terminal. Selama perjalanan hidup inilah muncul beragam fenomena, konteks-konteks mengelilingi kita. Muncul banyak pentasbihan pembenaran terhadap kebenaran. Pembenaran terhadap kebenaran ini telah menyilaukan mata kita, konteks-konteks di luar kita sering kita anggap sebagai sebuah kesalahan fatal.

Dalam perjalanan kehidupan Saya, pernah menemui banyak orang dari berbagai jenis baik profesi mau pun latar belakang kehidupannya. Banyak varian, jenis, bentuk, dan kekompleksan. Tempo hari, Saya bertemu dengan seseorang sebagai pentasbih kebenaran. Dia mengaku pernah bertemu langsung dengan Tuhan dan berdialog dengan-Nya, mengetahui hal yang ghaib dan tersembunyi.

Saya takjub namun sambil tersenyum, dalam benak dan isi kepala Saya muncul banyak pertanyaan, namun harus Saya sederhanakan pertanyaan ini. Jika ada seseorang yang telah bisa berdialog dengan Tuhan, sudah dipastikan dia adalah Nabi, dampaknya, dia akan mengetahui segala sesuatu karena kedekatannya dengan Tuhan.

Sebetulnya, Saya tidak peduli kepada pengakuan-pengakuan seperti itu, mau ada orang mengaku sebagai Nabi Akhir Zaman pun, silakan, itu hak dia. Tapi, boleh lah harus ada satu pertanyaan yang Saya sampaikan kepada siapa pun yang mengaku telah bertemu dan berdialog dengan Tuhan. Pertanyaan Saya sederhana kepada orang tersebut; Siapa dan bagaimana Hitler dengan Eva Braun?

Ini pertanyaan konyol, diluar dugaan, kenapa tidak menanyakan hal-hal yang bersifat transenden, ghoib, atau mahluk-mahluk astral. Yang jelas Saya telah memiliki strategi sendiri, bukan untuk menguji atau menanyakan hal telah Saya ketahui, namun untuk lebih meyakinkan apakah benar orang itu telah menemui dan berdialog dengan Tuhan?

Jawaban dari Si orang yang mengaku telah berjumpa dengan Tuhan itu sangat singkat; Mereka (Hitler dan Eva Braun) adalah manusia serakah, pemberani, dan PANJANG CERITANYA.

Cukup sampai disana, Saya tidak melanjutkan pertanyaan. Sebetulnya ingin sekali Saya menanyakan; jika cerita tentang Hitler dan Eva Braun itu sangat panjang, Saya ingin minta rangkumannya saja. Mudah bagi manusia yang telah berjumpa dengan Tuhan untuk merangkum satu hal, bukan? Tapi niat itu saya urungkan.

Memang, seperti telah Saya tulis pada awal tulisan ini, begitu kompleks sekali keberagaman yang berserakan di semesta ini. Pentasbihan pembenaran terhadap kebenaran pun terlalu berani dengan mengatasnamakan Tuhan. Mengaku pernah bertemu Tuhan pun bisa dilakukan oleh manusia, hal yang seharusnya tidak pernah diucapkan kepada orang lain.

Hanya saja, begitulah hidup. Sebuah perjalanan panjang, berliku, curam, dan penuh lika-liku, nikmati saja perjalan ini, sebab pada saatnya, kita akan sampai pada terminal tujuan.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Terminal Kehidupan"