Kebebasan Terbatas

Pembatas kebebasan ber-ekspresi adalah nilai kemanusiaan. Artinya, karena manusia memiliki keterbatasan, maka kebebasan ber-eskpresi manusia pun memiliki batasan. Lebih jauh, kebebasan tersebut harus diekspresikan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, atas nama kemerdekaan sebagai manusia dan untuk membebaskan manusia.

Sopan –santun dan etika penyampaian informasi dibahasakan dalam bingkai satir, sebuah sindiran halus, pembangkangan terhadap konteks yang ada. Demi karikatur Nabi Muhammad yang dimuat oleh media satir Prancis, Charlie Hebdo, satu tahun lalu media di Norwegia pun melakukan hal yang sama, perlu ditegaskan, pelecehan tersebut tidak bisa diartikan sebagai sebuah satir, ini merupakan luapan ekspresi ketidak normalan jiwa, lari dari etika dan nilai kemanusiaan.

Sikap Charlie Hebdo dilatar belakangi oleh dua hal; pertama, sebuah media yang sedang berada di ujung tanduk, karena tekanan persaingan dengan media-media yang telah mapan berusaha mati-matian agar mendapat perhatian dari publik, brand image dicipta dengan menggunakan hard-promotion, pencitraan negatif. Kedua, media satir ini mengalami tekanan dari sebuah hegemoni, karena, media dengan tingkat tekanan tinggi secara langsung telah kehilangan fungsi media itu sendiri, sebagai penyaji informasi.

Charlie Hebdo seharusnya belajar kepada Matt Groening. Seorang karikaturnis pembuat The Simpsons tersebut bukan hanya menyampaikan satir dalam kartun-kartunnya, dia lebih menyajikan sebuah ledakan dahsyat. Dalam film The Simpsons, Groening tidak merendahkan satu agama saja, seluruh agama mendapat perlakuan sama, direndahkan. Bahkan, Rupert Murdoch sendiri benar-benar dilecehkan dalam The Simpsons.

Atau, jika ingin menyampaikan satir yang mengandung nilai kemanusiaan, patutlah Charlie Hebdo mencontoh Chekhov dan Kuntowijoyo, dua orang sastrawan dari Russia dan Indonesia. Mereka menyampaikan kritik melalui tokoh-tokoh dalam cerpennya, prilaku, watak, dan alur dalam sebuah cerita bisa menjadi satir dan kritik sosial yang tampak hidup.

Dalam cerpen Pengakuan, Chekhov mengilustrasikan betapa bobroknya orang-orang Russia di akhir abad ke-19. Kemunafikan ditampilkan dalam karakter dan watak tokoh. Seorang lelaki beku, mengumpat kondisi zaman saat gelap karena orang-orang dianggap tidak akan melihat wajahnya. Namun ketika keadaan kembali terang, lelaki itu memuja dan memuji kemapanan yang telah diberikan oleh pemerintah. Sungguh, munafik. Dengan cara penyampaian seperti itulah, cerpen-cerpen Chekhov bisa diterima oleh siapa pun, itulah satir abadi.

Kuntowijoyo, hidup di era Orde Baru. Penyampaian pendapat di era Orde Baru adalah senjata tajam yang akan menebas diri sendiri, jika disampaikan secara letterlerk dan blak-blakan. Mulut memiliki lawan abadi, penjara. Melalui novel Mantra Pejinak Ular, Kunto memberikan sebuah satir abadi, Abu Kasan Safari salah seorang tokoh dalam novel ini mengalami satu kondisi, dia melihat pohon beringin di desanya tumbang karena terpaan angin. Inilah satir, sebuah penyampaian kritik dalam bingkai transenden.

Maka, sehebat apa pun dan semeriah apa pun dampak yang diakibatkan dari sindiran atau singgungan Charlie Hebdo, sebenarnya tidak memiliki arti apa pun kecuali sikap keji dan nyinyir dalam memandang realita yang berada di luar dirinya.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Kebebasan Terbatas"