Bukan tanpa alasan, pada tanggal 13 Januari 1815 Andries C.J de Wilde memperkenalkan nama Soeka Boemi ke dunia luar. Terdapat teks dan konteks yang saling memengaruhi begitu erat di balik penyebutan wilayah yang pernah dijadikan lahan perkebunan di era kolonialisme tersebut. Soeka Boemi, sebuah wilayah yang memiliki iklim sejuk membuat siapa pun kerasan tinggal di wilayah ini. Pada penghujung tahun 80-an pernah ada ungkapan, “ Sukabumi ibarat lemari es raksasa.”
Tentang kesejukan wilayah ini, pada dekade ke 7 sampai 8 abad ke-20 sering kita mendengar seloroh orang-orang berkata dalam bingkai dialog:
“ Sukabumi dingin, ya?”
“ Iya, emang kamu dari mana?”
“ Saya dari Selabintana!”
Dialog tersebut sebetulnya refleksi kebanggaan dari dua orang yang berasal dari Kota dan Kabupaten Sukabumi. Selalu ada kebanggaan yang keluar dari jiwa dan nurani orang-orang Sukabumi. Saat menginjak usia 6 tahun, nenek Saya kedatangan tamu dari Jakarta. Hari hampir sore, padahal tidak turun hujan, beberapa orang tamu dari Jakarta terlihat menggigil, dalam bahasa sederhana beberapa dari mereka berbisik kepada teman-temannya, “ Gila, ini cuaca dingin banget, seperti di dalam kulkas.” Nenek Saya menyahuti, “ Mandilah, biar hangat.”
Hingga penghujung tahun 1980, hampir tidak ada kemuraman dirasakan oleh penduduk Sukabumi, tidak ada serapah dan ungkapan, “Gerah, panas, atau dalam Bahasa Sunda bayeungyang!’ semua sepakat pada sebuah konsensus yang telah disediakan oleh alam ini… Sejuk dan segar.
Fakta sejarah lain, dibalik bagaimana Sukabumi telah memikat hati orang-orang dari wilayah lain adalah betapa sering seorang Soe Hoek Gie melakukan permenungan dan menyatukan jiwanya di Mandalawangi, sebuah lembah di kaki Gede Pangrango. Beberapa bait puisi ‘ Sebuah Tanya’ yang ditulis Gie menggambarkan kejujuran, bagaimana dinginnya udara di wilayah ini, “ Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih // lembah mandalawangi // kau dan aku tegak berdiri // melihat hutan-hutan yang menjadi suram // meresapi belaian angin yang menjadi dingin ‘’
Memang tidak banyak literatur mengupas sejarah perkembangan Sukabumi dari masa ke masa. Bukti-bukti sejarah seolah mencatat nama wilayah ini mulai dikenal masyarakat luar pada tahun 1815. Padahal sebelum Belanda datang ke wilayah ini, nama Sukabumi telah menjadi perbincangan. Melalui pendekatan linguistik bisa ditelusuri kata Suka dan Bumi dipastikan telah banyak dibahasakan oleh penduduk di wilayah ini. Hanya saja, kelemahan justru lahir ketika sebuah wacana hanya memasuki ranah pembahasaan secara lisan tanpa diserta tulisan. Penyebutan Soeka Boemi oleh de Wilde sudah tentu lahir dari sebuah wacana yang berkembang sebelum tahun 1815.
Adakalanya, kita – sebagai warga Sukabumi saja – menganggap kurang penting membuka hingga menjabarkan fakta-fakta historis melalui berbagai pendekatan, teori, riset atau penelitian hingga ke akarnya. Sikap seperti ini telah menghasilkan perdebatan panjang – yang tidak perlu diperdebatkan melainkan harus dipikirkan – mengenai sejak kapan Sukabumi berdiri? Deviasi perdebatan semakin meluber pada hilangnya semangat untuk melakukan penelitian holistik terhadap entitas-entitas lain mengenai Sukabumi; Budaya asli Sukabumi itu apa? Ada kebingungan. Padahal seharusnya sikap skeptis ini bisa melahirkan pandangan atau teori yang bermuara pada satu simpulan penting mengenai Sukabumi.
Merunutkan sejarah sebuah wilayah memang tidak semudah mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami. Sejarah - melihat pada makna katanyanya saja- adalah sebuah pohon yang dipenuhi oleh cabang dan ranting. Karena sejarah sendiri dibatasi oleh teori-teori; satu hal bisa menjadi sejarah jika: memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Namun sekelumit pendekatan bisa membawa kita atau para sejarawan mencapai ranting pohon sebuah sejarah.
Ranting pohon sejarah Sukabumi dilihat pada cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, baik folklore, legenda, dongeng, atau mitos. Misalkan, sebuah legenda lahir bukan karena tidak ada, melainkan seuatu yang bisa saja terjadi namun tidak didukung oleh fakta historis. Meskipun demikian, alam bawah sadar manusia sering menerima legenda ataupun cerita-cerita rakyat seolah merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Cerita rakyat yang berkembang di Sukabumi akan banyak dijumpai, misalnya kedatangan Sri Baduga Maha Raja ke berbagai tempat di wilayah ini. Di daerah Kutamaneuh, berkembang cerita Prabu Siliwangi pernah melakukan meditasi di sebuah goa. Hingga sekarang goa tersebut dinamai “Guha Pajajaran”.
Bahkan dengan melakukan pendekatan korelasi sejarah bisa ditelusuri, saat Salakanagara terbentuk, kekuasaannya telah sampai ke Sukabumi. Hal ini bisa mungkin terjadi jika kita melihat, kata Sukabumi berasal dari Bahasa Sansekerta Suka dan Bhumi, bumi kesukaan. Sumber-sumber antropologis dan geografis menyebutkan; melebarnya kekuasan budaya Salakanagara pada tahun 150 tidak hanya sampai pada daerah-daerah di Banten saja, juga berkembang ke daerah selatan dan timur. Ptelomeus telah membuat peta dalam bukunya, Geographia, menuliskan: perkembangan budaya di Kota Agryre menyebar dari barat sampai selatan dan timur.Budaya masyarakat yang berkembang pada waktu itu lebih menitik beratkan pada bagaimana cara mereka menghormati alam, lebih khusus lagi bumi.
Kata bumi sendiri kecuali memiliki makna tanah juga dalam konteks lain berarti seorang ibu yang telah melahirkan kita. Bisa ditarik satu benang merah: Sukabumi memiliki arti lebih dari sekadar tekstual saja, ini memiliki arti: mencintai ibu yang telah melahirkan kita. Cerita yang berkembang di wilayah ini, tanah diibaratkan sebagai seorang ibu yang telah melahirkan seorang anak, maka menjadi satu kewajiban bagi seorang anak untuk memuliakan dan menyukai ibunya. Dari sinilah asal-usul nama Sukabumi bisa diteliti lebih jauh.
Para ahli sejarah selalu menemui kesulitan dalam mengurai dan memecahkan permasalahan alam Parahyangan. Ini terjadi karena begitu rumit dan kompleksnya Parahyangan bagi mereka. Stagnasi yang terjadi adalah sejarah dalam bingkai apa pun ketika mengupas seluk-beluk wilayah-wilayah yang ada di tatar Sunda selalu berujung pada satu kesepakatan: diurai seperti apapun akan kembali kepada semula seperti itu juga.
Maka, perdebatan, wacana, dan ruang diskusi terhadap asal-usul nama Sukabumi pun pada akhirnya akan bermuara pada satu hal, masyarakat akan menerima apa pun hasil penelitian tersebut. Apa yang kita ketahui sampai saat ini tentang tanggal 13 Januari 1815 sebagai hari lahir Sukabumi akan diterima seperti apa adanya.
Sejarah akan selalu terlihat buram dan samar karena dia telah jauh meninggalkan kita tanpa menyisakan jejak yang cukup bagi generasi sekarang.
KANG WARSA
Tentang kesejukan wilayah ini, pada dekade ke 7 sampai 8 abad ke-20 sering kita mendengar seloroh orang-orang berkata dalam bingkai dialog:
“ Sukabumi dingin, ya?”
“ Iya, emang kamu dari mana?”
“ Saya dari Selabintana!”
Dialog tersebut sebetulnya refleksi kebanggaan dari dua orang yang berasal dari Kota dan Kabupaten Sukabumi. Selalu ada kebanggaan yang keluar dari jiwa dan nurani orang-orang Sukabumi. Saat menginjak usia 6 tahun, nenek Saya kedatangan tamu dari Jakarta. Hari hampir sore, padahal tidak turun hujan, beberapa orang tamu dari Jakarta terlihat menggigil, dalam bahasa sederhana beberapa dari mereka berbisik kepada teman-temannya, “ Gila, ini cuaca dingin banget, seperti di dalam kulkas.” Nenek Saya menyahuti, “ Mandilah, biar hangat.”
Hingga penghujung tahun 1980, hampir tidak ada kemuraman dirasakan oleh penduduk Sukabumi, tidak ada serapah dan ungkapan, “Gerah, panas, atau dalam Bahasa Sunda bayeungyang!’ semua sepakat pada sebuah konsensus yang telah disediakan oleh alam ini… Sejuk dan segar.
Fakta sejarah lain, dibalik bagaimana Sukabumi telah memikat hati orang-orang dari wilayah lain adalah betapa sering seorang Soe Hoek Gie melakukan permenungan dan menyatukan jiwanya di Mandalawangi, sebuah lembah di kaki Gede Pangrango. Beberapa bait puisi ‘ Sebuah Tanya’ yang ditulis Gie menggambarkan kejujuran, bagaimana dinginnya udara di wilayah ini, “ Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih // lembah mandalawangi // kau dan aku tegak berdiri // melihat hutan-hutan yang menjadi suram // meresapi belaian angin yang menjadi dingin ‘’
Memang tidak banyak literatur mengupas sejarah perkembangan Sukabumi dari masa ke masa. Bukti-bukti sejarah seolah mencatat nama wilayah ini mulai dikenal masyarakat luar pada tahun 1815. Padahal sebelum Belanda datang ke wilayah ini, nama Sukabumi telah menjadi perbincangan. Melalui pendekatan linguistik bisa ditelusuri kata Suka dan Bumi dipastikan telah banyak dibahasakan oleh penduduk di wilayah ini. Hanya saja, kelemahan justru lahir ketika sebuah wacana hanya memasuki ranah pembahasaan secara lisan tanpa diserta tulisan. Penyebutan Soeka Boemi oleh de Wilde sudah tentu lahir dari sebuah wacana yang berkembang sebelum tahun 1815.
Adakalanya, kita – sebagai warga Sukabumi saja – menganggap kurang penting membuka hingga menjabarkan fakta-fakta historis melalui berbagai pendekatan, teori, riset atau penelitian hingga ke akarnya. Sikap seperti ini telah menghasilkan perdebatan panjang – yang tidak perlu diperdebatkan melainkan harus dipikirkan – mengenai sejak kapan Sukabumi berdiri? Deviasi perdebatan semakin meluber pada hilangnya semangat untuk melakukan penelitian holistik terhadap entitas-entitas lain mengenai Sukabumi; Budaya asli Sukabumi itu apa? Ada kebingungan. Padahal seharusnya sikap skeptis ini bisa melahirkan pandangan atau teori yang bermuara pada satu simpulan penting mengenai Sukabumi.
Merunutkan sejarah sebuah wilayah memang tidak semudah mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami. Sejarah - melihat pada makna katanyanya saja- adalah sebuah pohon yang dipenuhi oleh cabang dan ranting. Karena sejarah sendiri dibatasi oleh teori-teori; satu hal bisa menjadi sejarah jika: memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Namun sekelumit pendekatan bisa membawa kita atau para sejarawan mencapai ranting pohon sebuah sejarah.
Ranting pohon sejarah Sukabumi dilihat pada cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, baik folklore, legenda, dongeng, atau mitos. Misalkan, sebuah legenda lahir bukan karena tidak ada, melainkan seuatu yang bisa saja terjadi namun tidak didukung oleh fakta historis. Meskipun demikian, alam bawah sadar manusia sering menerima legenda ataupun cerita-cerita rakyat seolah merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Cerita rakyat yang berkembang di Sukabumi akan banyak dijumpai, misalnya kedatangan Sri Baduga Maha Raja ke berbagai tempat di wilayah ini. Di daerah Kutamaneuh, berkembang cerita Prabu Siliwangi pernah melakukan meditasi di sebuah goa. Hingga sekarang goa tersebut dinamai “Guha Pajajaran”.
Bahkan dengan melakukan pendekatan korelasi sejarah bisa ditelusuri, saat Salakanagara terbentuk, kekuasaannya telah sampai ke Sukabumi. Hal ini bisa mungkin terjadi jika kita melihat, kata Sukabumi berasal dari Bahasa Sansekerta Suka dan Bhumi, bumi kesukaan. Sumber-sumber antropologis dan geografis menyebutkan; melebarnya kekuasan budaya Salakanagara pada tahun 150 tidak hanya sampai pada daerah-daerah di Banten saja, juga berkembang ke daerah selatan dan timur. Ptelomeus telah membuat peta dalam bukunya, Geographia, menuliskan: perkembangan budaya di Kota Agryre menyebar dari barat sampai selatan dan timur.Budaya masyarakat yang berkembang pada waktu itu lebih menitik beratkan pada bagaimana cara mereka menghormati alam, lebih khusus lagi bumi.
Kata bumi sendiri kecuali memiliki makna tanah juga dalam konteks lain berarti seorang ibu yang telah melahirkan kita. Bisa ditarik satu benang merah: Sukabumi memiliki arti lebih dari sekadar tekstual saja, ini memiliki arti: mencintai ibu yang telah melahirkan kita. Cerita yang berkembang di wilayah ini, tanah diibaratkan sebagai seorang ibu yang telah melahirkan seorang anak, maka menjadi satu kewajiban bagi seorang anak untuk memuliakan dan menyukai ibunya. Dari sinilah asal-usul nama Sukabumi bisa diteliti lebih jauh.
Para ahli sejarah selalu menemui kesulitan dalam mengurai dan memecahkan permasalahan alam Parahyangan. Ini terjadi karena begitu rumit dan kompleksnya Parahyangan bagi mereka. Stagnasi yang terjadi adalah sejarah dalam bingkai apa pun ketika mengupas seluk-beluk wilayah-wilayah yang ada di tatar Sunda selalu berujung pada satu kesepakatan: diurai seperti apapun akan kembali kepada semula seperti itu juga.
Maka, perdebatan, wacana, dan ruang diskusi terhadap asal-usul nama Sukabumi pun pada akhirnya akan bermuara pada satu hal, masyarakat akan menerima apa pun hasil penelitian tersebut. Apa yang kita ketahui sampai saat ini tentang tanggal 13 Januari 1815 sebagai hari lahir Sukabumi akan diterima seperti apa adanya.
Sejarah akan selalu terlihat buram dan samar karena dia telah jauh meninggalkan kita tanpa menyisakan jejak yang cukup bagi generasi sekarang.
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Refleksi 13 Januari 1815, Soeka Boemi dan Hari Kelahirannya"