Aphrodite

Disana tempat lahir Beta
Dibuai dibesarkan bunda

Entah apa yang ada di dalam benak Ismail Marzuki ketika menulis syair di atas, kecuali perasaan tajam dalam memaknai apa yang harus dimiliki. Larik pertama adalah bentuk pengkabaran, pernyataan tegas. Ada keumuman, dan ini sulit dipahami oleh cara berpikir lugas. Pemakaian kata “disana” hendak membuang egosentrisme kewilayahan, melemparkan jauh-jauh apa yang ada disini, sikap chauvinism, etnosentris, dan ke-Akuan. Sepert ada hal tidak terjangkau, begitu jauh dan sama sekali tidak tersentuh oleh jasad kita, laiknya gemintang di angkasa raya.

Negara diletakkan di tempat suci seperti ada pada altar persembahan bukan karena penilaian subyektifitas diri. Tidak karena Aku ada disini, melainkan karena Negara ini, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, dan Potensi-potensi lainnya adalah anugrah dari Yang Maha Suci. Maka, Negara pantas dimuliakan.

Tepat sekali penggunaan kalimat “disana tempat lahir Beta” untuk memberikan pencerahan kepada siapapun, tanpa dibatasi oleh letak geografis. Untuk memberitahukan kepada khalayak; nun jauh di sana, ada sebuah negeri makmur bernama Indonesia. Orang-orangnya dibesarkan dengan kasih sayang dan cinta dari leluhur mereka. Dari sini, dehumanisasi dan alienasi telah dilemparkan begitu jauh.

Kebanggaan kita hari ini kepada leluhur kita bukan sesuatu yang haram. Sebuah cerita, syair dan lagu tidak akan terlahir dari rahim kebohongan. Kejujuran sejarah tentang kehebatan leluhur kita telah menjadikan Negara ini berada pada puncak kemuliaan. Wilayah ini, sebelum terbentuk menjadi sebuah Negara merupakan hunian manusia-manusia yang hidupnya dipenuhi kasih-sayang. Persoalan dalam hidup diselesaikan dengan sederhana namun tegas. Ketika seseorang bertanya: Apakah harga BBM akan naik? Maka para leluhur kita telah mengajarkan, pertanyaan seperti itu cukup dijawab dengan Ya atau tidak. Tanpa dipenuhi retorika yang pada akhirnya akan mengkrucut pada jawaban Ya dan tidak.

Ketika cinta dan kasih-sayang menjadi panglima dalam kehidupan, maka benih-benih perpecahan , konflik, dan merasa besar diri akan menjadi hal tabu, sangat aneh dilakukan. Orang akan hidup dalam kepatuhan terhadap apa yang telah diwasiatkan oleh para pendahulunya. Dalam kondisi seperti ini, hamper tidak akan ditemui agresi dan perampasan terhadap wilayah kemanusiaan, perampokan terhadap sumber-sumber daya alam, pemerkosaan terhadap hak hidup.

Segalanya akan terjaga dan saling menjaga. Apa yang akan dilakukan harus diawali dengan permintaan dan permohonan, memetik satu pucuk daun pun harus meminta terlebih dahulu kepada pemiliknya, sublimasi dari sikap seperti ini adalah, pemilik alam pun akan member sabda kepada alam agar manusia dijaga oleh alam. Konspirasi makrokosmos dalam menyelamatkan mikrokosmos terejawantah.

Sikap-sikap seperti ini diyakini oleh leluhur kita sebagai sebuah pusaka yang harus diwariskan kepada generasi setelahnya. Tanah air ini pun diyakini sebagai barang berharga yang harus diwariskan kepada anak-cucunya agar anak –cucu mereka menikmati apa yang telah mereka rasakan. Simpulan terbesar dari kenyataan ini adalah tanah air yang diwariskan oleh para leluhur menjelma menjadi seorang Aphrodite, dewi kecantikan, hingga menjadi rebutan siapa pun.

Kehidupan ini memiliki beberapa sudut. Di sudut sana, Tuhan telah menciptakan dan memelihara manusia-manusia dengan potensi kebaikan, akar-akar kebaikan itu lahir dari penyatuan akal, jiwa, dan hati. Dan pada sudut-sudut lain, Tuhan pun telah menciptakan manusia-manusia perusak, hipokrit, dan keculasan. Hal ini menjadi alas an Diderot untuk meninggalkan keyakinan teismenya, dia menjadi seorang Atheis ; jiwa dan hati dipisahkan dan dibuang dari penggunaan akal. Karena satu pertanyaan yang mengusik dirinya: Jika Tuhan itu Maha Baik, lantas kenapa kehidupan selalu terlihat kontradiktif?

Ini sebuah rahasia, telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang diliputi oleh misteri. Kebaikan-kebaikan masa lalu dan diwariskan oleh para leluhur semakin kurang diminati. Pusaka Leluhur ini dirawat sambil lalu. Tranformasi budaya menjadi alas an, asimilasi budaya yang seharusnya menghasilkan bentuk baru sebuah budaya positif malah melahirkan cultural-pseudo, mengikuti domain, mengabdi kepada siapa yang lebih dominan.

Maka tidak heran, ketika para leluhur kita berjuang menjaga pusaka warisan leluhurnya, diwariskan kepada generasi setelahnya, lalu di zaman kita pusaka ini abaikan, dianggap sebuah bid’ah, bertolak belakang dengan keyakinan saat kita sendiri sama sekali tidak berpijak di atas landasan yang kokoh, sebuah keyakinan.

Kecantikan Aphrodite, kemolekan tanah air ini, terpaksa digandaikan kepada para Hefaistos, Negara-negara maju, penemu teknologi, padahal Negara-negara tersebut tampil sebagai lelaki pincang dengan bau tubuh menyengat. Aphrodite telah menjadi rebutan bagi siapa pun. Kondisi seperti ini akan sama halnya dengan kerakusan dewa-dewi dalam mitologi Yunani Kuno. Perselingkuhan, rakyat ditikam dari belakang oleh kehebatan seorang Zeus. Hingga, Aphrodite sendiri pun harus melacurkan dirinya dengan mendekati Negara mana yang lebih kuat dan bisa melindungi kepentingan dirinya.

Suatu hari, saat pusaka warisan ini sama sekali tidak bisa kita jaga, kita sia-siakan, maka jangan menyalahkan siapa pun apa yang ada di Negara ini akan diambil kembali oleh pemiliknya. Jalannya, dijarah oleh orang lain, sampai budaya bangsa sendiri pun akan diaku oleh bangsa lain sebagai budaya mereka. Semua ada di masa depan. Negara ini sebagai “Tempat Berlindung di Hari Tua”, maka sangat pantas pusaka warisan leluhur ini dirawat dan dijaga, kecuali jika kita sebagai pewarisnya sama sekali tidak ingin mewariskan kembali pusaka ini kepada generasi setelah kita.

Jika demikian, di hari tua nanti, kita hanya akan menyaksikan carnaval keanehan, ratapan anak negeri yang bangga bukan karena prestasi diri, dan ketidak ajegan sebuah rumah bernama Indonesia. Sebab Aphrodite adalah kecantikan, dia harus dirawat dan dijaga seperti bagaimana kita merawat keris pusaka warisan leluhur.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Aphrodite"