Sejak era Orde Baru, banjir dan kemacetan telah menjadi permasalahan di Jakarta. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya ‘bencana alam’ dan ‘bencana kemanusiaan ini’. Salah satu penyebab banjir di Jakarta yaitu kontur alam Jakarta sendiri berada di ketinggian rata-rata 7 Meter di atas permukaan laut (mdpl). Berbanding lurus dengan tinggi curah hujan antara Januari dan Februari rata-rata 350 milimeter, bencana banjir sulit dihindari hingga sekarang. Pembangunan infra struktur untuk menanggulangi banjir yang dicanangkan sejak kepemimpinan Ali Sadikin hingga sekarang secara kasat mata belum bisa menjawab persoalan ini. Namun, dengan bahasa sederhana karena banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, sebagian besar dari kita menyebut ini sebagai ‘bencana alam’.
Fenomena lain sebagai bentuk ‘bencana kemanusiaan’ yang sudah biasa terjadi di Jakarta adalah kemacetan. Dikatakan sebagai ‘bencana kemanusiaan’ karena hal ini disebabkan secara kasat mata oleh manusia sendiri. Sebagus dan sebaik apa pun regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jakarta untuk menanggulangi kemacetan, penyediaan sarana transportasi dengan jaringan-jaringannya sebaik mungkin, kemacetan di Jakarta sulit dihindari. Kemacetan sebagai bentuk ‘bencana kemanusiaan’ bukan berarti telah menimbulkan kematian manusia dalam jumlah banyak, namun telah mengakibatkan beberapa persoalan turunan. Beberapa bulan pasca reformasi, kemacetan telah melahirkan varian kriminalitas baru; munculnya kelompok Kapak Merah, tingkat polusi semakin tinggi, depresi, dan varian-varian kurang baik lainnya.
Terhadap sebuah bencana, sebagian besar dari kita masih memiliki pandangan; sebagai ujian dari Tuhan bagi manusia beriman sekaligus sebagai azdab bagi para pendurhaka. Sementara untuk mengukur keimanan dan kedurhakaan manusia untuk ukuran kota yang tak pernah mati seperti Jakarta, sangat sulit. Dengan banyaknya orang ke mesjid kah? Dengan semakin banyak tempat-tempat hiburan kah? Sebab persoalan beriman dan durhaka manusia sulit untuk diukur dengan pisau analisa apa pun. Hanya saja, jika dikaji lebih dalam, Tuhan sebagai sumber Kasih dan Sayang tidak mungkin menurunkan adzab atau hukuman kepada mahlukNya, untuk apa Tuhan memberikan azdab kepada mahlukNya? Agar manusia sadar? Agar manusia berpikir kemudian menjadi manusia baik dan kembali ke jalan benar? Lantas jalan benar mana yang benar-benar paling benar itu? Sebab, Tuhan tidak pernah rakus akan sanjungan dan pujian dari manusia.
Jika Tuhan tidak pernah memberikan adzab atau siksaan kepada mahluknya, lalu apa penyebab munculnya bencana di mana-mana itu? Kita sering lupa, kosmos besar dan kosmos kecil yang telah diciptakan oleh Tuhan telah sangat sempurna sejak semula diciptakan. Sifat pararel dan saling berhubungan antara unsur-unsur yang terdapat di alam ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, adanya harmonisasi alam, ketika terjadi satu hal akan mengakibatkan hal lain dalam bentuk kausalitas. Peristiwa kecil di masa lalu sering kita abaikan, lalu kita menganggap butter-fly effect hanya mitos dalam Ilmu Alam. Alam sebagai kosmos besar akan tetap memiliki hubungan harmonis dengan manusia sebagai kosmos kecil jika keduanya saling menghormati dan menghargai.
Mari kita lihat fakta sejarah, sebelum ke wilayah Nusantara ini masuk berbagai kelompok dengan bermacam keyakinan, manusia-manusia di Nusantara telah memegang teguh apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka, menjaga keseimbangan kosmos besar dengan kosmos kecil. Bentuk akibat penghormatan kosmos besar kepada manusia yaitu jarang terjadi bencana alam. Di jaman kerajaan-kerajaan Sunda, alam dihormati, bukan dipigusti (diTuhankan) melainkan bentuk penghormatan manusia terhadap sesama mahluk (mupusti). Upacara-upacara adat dalam tradisi Sunda seperti “Seren Taun’ di musim panen merupakan aplikasi nyata betapa manusia pun diharuskan menghormati alam. Penghormatan kepada alam tidak pernah membawa para leluhur kita jatuh ke dalam Pantheisme. Sebab secara spiritual, sikap kontemplatif para leluhur dalam menghayati keberadaan Zat Yang Adi Luhung telah terpatri dalam jiwa mereka. Mereka telah lebih mengerti dan memahami, menghamba kepada Tuhan bukan dibatasi oleh ritual-ritual yang dibedakan dan dibatasi oleh tulisan agama pada selembar kertas bernama KTP. Mereka memuja dan memuji Tuhan tidak membutuhkan perantara saat kita sebagai manusia yang mengaku mahluk paling bertuhan masih senang menyanjung batu dan kubur.
Mereka tidak membutuhkan logo dan totem juga berhala-berhala yang akan mengantarkan nilai peribadatan kita kepada Sang Maha Kuasa. Sementara, idola-idola baru, berhala-berhala baru dalam bentuk lain, setiap detik selalu kita puja dan puji. Para leluhur Nusantara telah mewariskan ajaran bersih, menuhankan Tuhan sebagai Tuhan, bukan sebagai mahluk atau sebuah kantor pos raksasa yang akan menampung terlebih dahulu berbagai keluhan dan surat. Sebab kesadaran mereka begitu tinggi, karena mereka lebih memahami selain sebagai mahluk fisik, manusia telah diciptakan oleh Tuhan sebagai mahluk transenden.
Bencana yang disebabkan oleh alam sering terjadi pasca masuknya kelompok-kelompok yang membawa berbagai keyakinan. Kelompok manusia yang rakus dan serakah dengan agama dan sumber daya alam telah merusak tatanan kosmos dan keharmonisan antara kosmos besar dengan kosmos kecil. Manusia-manusia yang rakus dengan keyakinan, seolah keyakinan harus selalu dimanifestasikan dalam berbagai ritual, logo, totem, dan berhala jenis baru. Yang dipuja dan disanjung tidak hanya Tuhan, melainkan atribut-atribut yang melekat pada diri mereka sendiri. Manusia menjadi merasa lebih besar dan angkuh dari Tuhan, dengan semangat tinggi mereka berbicara sangat lantang akan membela Tuhan dan ajaranNya, itulah bentuk kerakusan dan ketamakan manusia terhadap agama. Kerakusan ini membawa petaka bagi manusia sendiri, kita menghamba kepada Tuhan bukan lagi karena kita sebagai seorang hamba, namun karena ketakutan dan rasa malu kita kepada orang lain yang dianggap lebih soleh dari kita. Kita mengabdi kepada Tuhan karena rasa takut kita terhadap adzab ketika Tuhan sendiri sama sekali tidak akan memberikan adzab apa pun kepada mahlukNya. Manusia merasa lebih suci dari manusia lain, kebenaran disucikan, hal yang lain dinyatakan sebagai ajaran sesat.
Kembali kepada apa yang telah dicontohkan oleh para leluhur kita merupakan kunci mengharmoniskan kembali kosmos besar dan kosmos kecil. Ajaran bukan hal yang harus diperdebatkan, keyakinan bukan barang loakan yang harus diperjual belikan, agama bukan media sosial yang harus selalu mengejar jumlah pengikut agar berada pada titik aman ketika menjadi sebuah mayoritas. Ajaran dan keyakinan merupakan media bagi manusia untuk berhubungan secara langsung dengan Tuhan. Ketika manusia telah dekat dengan Sang Maha Pengasih, maka akan lahir kehidupan; saling mengasihi, saling menghormati, bukan saling caci dan memaki. Hidup merupakan perjalanan, leluhur Sunda telah memahami lebih awal mengenai kehidupan ini. Pelaku kebaikan akan kembali kepada Tuhannya, sementara saat jiwa kita belum bersih, manusia akan tetap mengikuti arus kehidupan ini hingga menemukan jalan pulang, ketika manusia - dengan kesadarannya - tetap melakukan kesalahan, mereka akan mengalami kesulitan menemukan jalan pulang dan akan kembali kepada tempat terendah.
Banjir di Jakarta dan bencana-bencana lain disebabkan oleh semakin tidak terbendungnya manusia yang rakus dengan keyakinan dan sombong dengan akalnya. Perdebatan antara FPI dan Ahok beberapa bulan lalu merupakan cermin kita saat ini. Ketidak harmonisan, menganggap orang lain tidak lebih bersih dari kita, arogan dengan kata-kata, sombong bisa menyelesaikan banjir dengan Pompa Air, memperuncing jurang perbedaan antara Si Mukmin dengan Si Kafir, merekrut para pengikut dan pengumpat, itulah sebetulnya hal yang harus disadari oleh kita sebagai manusia. Sebagai bentuk implementasi dari wahyu Tuhan: “ Laqod Khalaqnal Insaana fii Ahsani Taqwiima.” Jika tidak demikian, maka “Tsumma rodaadnaahu asfala saafiliina” sebuah sistem yang telah terstruktur dengan canggih akan menurunkan manusia pada posisi paling rendah, “Buana Larang”*), bencara terbesar dalam kehidupan.
KANG WARSA
*)Buana Larang: letak paling bawah
Posting Komentar untuk "Bencana"