Masih ingat dengan ejaan: Ini Budi, Ini Wati, dan Ini Iwan? Benar, pelajaran membaca Bahasa Indonesia yang kita terima di kelas ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Buku pelajaran Bahasa Indonesia diberi sampul dengan tulisan "Belajar Membaca dan Menulis", seluruh isi buku dicetak tebal diberi gambar ilustrasi sederhana hitam putih.
Tentu saja, pemerintah Orde Baru mencetak buku-buku pelajaran seperti itu bukan tanpa alasan. Diberi sampul album dengan judul "Belajar Membaca dan Menulis" tidak sekadar persuasi, sebab bagi siapa pun yang masuk dan duduk di bangku Sekolah Dasar sudah dipastikan harus bisa membaca. Penulisan ajakan tersebut merupakan metodologi Pemerintah Orde Baru dalam mendidik anak-anak dengan buku sederhana namun harus menghasilkan keluaran (out-put) maksimal, bisa membaca.
Kasus "tidak bisa membaca" sebagai eufimisme dari buta huruf merupakan persoalan penting yang dihadapi oleh negara waktu itu. Pada awal Indonesia merdeka, hanya 7% saja rakyat Indonesia yang telah melek terhadap aksara "latin". Hingga pada tahun 1960 tingkat buta huruf di Indonesia masih dinilai cukup tinggi, ±40% penduduk dewasa belum mengenal aksara "latin". Orde Baru dibangun dengan tujuan melakukan pembenahan terhadap hal-hal yang belum dituntaskan oleh orde sebelumnya, Soeharto mengeluarkan Program Paket ABC.
Di tahun 80-an lah, pencetakan buku-buku pelajaran mulai dilakukan oleh pemerintah secara besar-besaran. Sebab pemeritah memiliki keyakinan, pengentasan buta huruf harus menggunakan instrumen penting tersedianya buku dan perpustakaan sederhana di sekolah-sekolah. Buku pelajaran dipinjamkan secara cuma-cuma, tidak boleh hilang, sebab buku tersebut akan digunakan kembali oleh adik kelas. Di jaman itu, penggunaan buku bisa diestafetkan dari kakak kepada adik, hingga seteruanya. Buku Gapura Basa tahun 1986 saja masih bisa digunakan oleh anak SMP di tahun 1994.
Percetakan dan peredaran buku pelajaran berlangsung begitu ketat. Hanya pemerintah yang memiliki hak mencetak dan mengedarkannya. Bukan sebatas itu, proses pengeditan tidak bisa dibedakan dengan penyensoran film, tidak akan ada celah bagi pikiran dan niat kotor yang akan merusak moral para siswa masuk ke dalam buku pelajaran. Dan rumus sederhana Orde Baru itu bisa dikatakan berhasil membawa para siswa menjadi lebih tertib, menghormati guru, dan merasa terpanggil untuk terus belajar.
Buku-buku pelajaran cetakan Orde Baru tidak untuk diperjual belikan. Tidak ada celah sempit sekalipun sekolah melakukan kegiatan transaksi jual-beli buku. Sebab, program pengentasan buta huruf berbanding lurus dengan program pengentasan kemiskinan. Pemerintah sadar, dua sasaran ini harus dilakukan dengan cara menghindari sikap kontradiktif antara satu program dengan program lainnya. Pola pikir sederhana namun hal seperti itulah yang sebaiknya dilakukan. Jika sekolah melakukan transaksi jual-beli buku pelajaran atau LKS, hal suci dalam pendidikan telah runtuh.
Memang sulit menghindari hal ini di jaman ketika akal telah digunakan untuk mengakali apapun. Faktanya, sampai sekarang tidak sedikit sekolah yang masih mengakali peserta didik, berbagai kegiatan diakali agar menghasilkan uang, ini telah menjadi rahasia umum. Lebih parah, hal seperti ini biasanya dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri. Pasca reformasi, sekolah-sekolah swasta malah tidak semahal dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh siswa di sekolah negeri. Yang lahir adalah sebuah parodi, buku-buku pelajaran dan LKS dari tahun ke tahun sebetulnya itu-itu juga hanya sampul dan penempatan Babnya saja yang diubah. Dinyatakanlah sebagai buku baru, buku tahun lalu sudah tidak bisa dipakai lagi, lalu ditumpuk, dijual, kesakralan sebuah buku telah hilang karena memang telah ditukar dengan materi.
Tidak sulit sebetulnya, di jaman ini kita hanya membutuhkan satu hal, sebuah pengakuan tentang kemunafikan kita, sebuah pengakuan bahwa lembaga pendidikan telah menjelma menjadi lembaga prostitusi seperti ungkapan Plato. Ini memang sulit, karena Saya, Anda, Kita semua memang telah terjerembab ke dalam lembah kemunafikan ini. Dari pada mengaku, kita akan lebih sering menepisnya, bahwa kita adalah para manusia berjubah putih dan berhati malaikat.
KANG WARSA
Tentu saja, pemerintah Orde Baru mencetak buku-buku pelajaran seperti itu bukan tanpa alasan. Diberi sampul album dengan judul "Belajar Membaca dan Menulis" tidak sekadar persuasi, sebab bagi siapa pun yang masuk dan duduk di bangku Sekolah Dasar sudah dipastikan harus bisa membaca. Penulisan ajakan tersebut merupakan metodologi Pemerintah Orde Baru dalam mendidik anak-anak dengan buku sederhana namun harus menghasilkan keluaran (out-put) maksimal, bisa membaca.
Kasus "tidak bisa membaca" sebagai eufimisme dari buta huruf merupakan persoalan penting yang dihadapi oleh negara waktu itu. Pada awal Indonesia merdeka, hanya 7% saja rakyat Indonesia yang telah melek terhadap aksara "latin". Hingga pada tahun 1960 tingkat buta huruf di Indonesia masih dinilai cukup tinggi, ±40% penduduk dewasa belum mengenal aksara "latin". Orde Baru dibangun dengan tujuan melakukan pembenahan terhadap hal-hal yang belum dituntaskan oleh orde sebelumnya, Soeharto mengeluarkan Program Paket ABC.
Di tahun 80-an lah, pencetakan buku-buku pelajaran mulai dilakukan oleh pemerintah secara besar-besaran. Sebab pemeritah memiliki keyakinan, pengentasan buta huruf harus menggunakan instrumen penting tersedianya buku dan perpustakaan sederhana di sekolah-sekolah. Buku pelajaran dipinjamkan secara cuma-cuma, tidak boleh hilang, sebab buku tersebut akan digunakan kembali oleh adik kelas. Di jaman itu, penggunaan buku bisa diestafetkan dari kakak kepada adik, hingga seteruanya. Buku Gapura Basa tahun 1986 saja masih bisa digunakan oleh anak SMP di tahun 1994.
Percetakan dan peredaran buku pelajaran berlangsung begitu ketat. Hanya pemerintah yang memiliki hak mencetak dan mengedarkannya. Bukan sebatas itu, proses pengeditan tidak bisa dibedakan dengan penyensoran film, tidak akan ada celah bagi pikiran dan niat kotor yang akan merusak moral para siswa masuk ke dalam buku pelajaran. Dan rumus sederhana Orde Baru itu bisa dikatakan berhasil membawa para siswa menjadi lebih tertib, menghormati guru, dan merasa terpanggil untuk terus belajar.
Buku-buku pelajaran cetakan Orde Baru tidak untuk diperjual belikan. Tidak ada celah sempit sekalipun sekolah melakukan kegiatan transaksi jual-beli buku. Sebab, program pengentasan buta huruf berbanding lurus dengan program pengentasan kemiskinan. Pemerintah sadar, dua sasaran ini harus dilakukan dengan cara menghindari sikap kontradiktif antara satu program dengan program lainnya. Pola pikir sederhana namun hal seperti itulah yang sebaiknya dilakukan. Jika sekolah melakukan transaksi jual-beli buku pelajaran atau LKS, hal suci dalam pendidikan telah runtuh.
Memang sulit menghindari hal ini di jaman ketika akal telah digunakan untuk mengakali apapun. Faktanya, sampai sekarang tidak sedikit sekolah yang masih mengakali peserta didik, berbagai kegiatan diakali agar menghasilkan uang, ini telah menjadi rahasia umum. Lebih parah, hal seperti ini biasanya dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri. Pasca reformasi, sekolah-sekolah swasta malah tidak semahal dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh siswa di sekolah negeri. Yang lahir adalah sebuah parodi, buku-buku pelajaran dan LKS dari tahun ke tahun sebetulnya itu-itu juga hanya sampul dan penempatan Babnya saja yang diubah. Dinyatakanlah sebagai buku baru, buku tahun lalu sudah tidak bisa dipakai lagi, lalu ditumpuk, dijual, kesakralan sebuah buku telah hilang karena memang telah ditukar dengan materi.
Tidak sulit sebetulnya, di jaman ini kita hanya membutuhkan satu hal, sebuah pengakuan tentang kemunafikan kita, sebuah pengakuan bahwa lembaga pendidikan telah menjelma menjadi lembaga prostitusi seperti ungkapan Plato. Ini memang sulit, karena Saya, Anda, Kita semua memang telah terjerembab ke dalam lembah kemunafikan ini. Dari pada mengaku, kita akan lebih sering menepisnya, bahwa kita adalah para manusia berjubah putih dan berhati malaikat.
KANG WARSA
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Posting Komentar untuk "Buku Pelajaran"