Saya telah mengajar di sekolah sejak tahun 1999, setahun setelah lulus SLTA. Ketika masih duduk di bangku SMA pun sering dipinta membantu Bapak Muallim mengajari anak-anak mengaji di mesjid jami, itu permulaan Saya hingga terjun ke dunia ajar –mengajar.
Mengajar mengaji dan les tentu berbeda dengan metode mengajar di kelas. Tahun 1999, Saya langsung diminta masuk ke dalam kelas oleh salah seorang sesepuh di kampung, mengajar di Madrasah Diniyyah atau sekolah agama. Bukan hanya sebagai guru , karena di setiap sekolah agama sangat minim sekali oleh tenaga pengajar, otomatis Saya langsung menjadi wali kelas.
Masalah honor atau insentif mengajar di sekolah agama telah menjadi rahasia umum, dalam sebulan setiap pendidik hanya mendapat honor Rp. 50.000,- perbulan, Kepala sekolah mendapatkan uang lebih Rp. 25.000,- dari para guru. Tentang ketepatan waktu penerimaan honor atau insentif pun selalu berubah-ubah, bisa tanggal 5 , malahan bisa lebih dari tanggal 10. Uang honor sendiri dihasilkan dari iuran atau SPP para siswa.
Berbeda dengan mengajar di sekolah agama, honor atau insentif mengajar les privat lebih besar, bisa dua sampai tiga kali lipat. Banyak orang tua siswa meminta kepada Saya untuk mengajar les privat di rumah masing-masing. Orangtua siswa bisa memberikan uang sebesar Rp. 100.000.- sampai Rp. 250.000 dalam sebulan. Ada sekitar lima anak yang mengikuti les privat di tahun 1999.
Tahun 2000, kakek meminta Saya mengajar di Sekolah Dasar. Setiap pagi hingga siang sudah tentu. Permintaan kakek bukan tanpa alasan, menurut kakek, kepala sekolah dan guru-guru si SD meminta Saya mengajar di sana. Saat interview pertama dengan kepala sekolah tidak banyak yang ditanyakan, kepala sekolah hanya melihat ledger tahun 1986-1992. " Oh, Bapak merupakan alumni di sekolah ini juga ya?" Tanya kepala sekolah sambil mengamati ledger. " Bagus, Bapak merupakan siswa berprestasi di sekolah ini. Dari kelas 1 sampai kelas 6 rangking 1 terus."
Entahlah, demi alasan prestasi itu, tanpa basa-basi Saya langsung dipersilahkan mengajar di sekolah tersebut. Saya mengajar Bahasa Inggris, kadang mengisi kekosongan beberapa guru, mengajar semua bidang studi tentu saja. Berbeda dengan di sekolah agama, honor mengajar di SD ini bisa mencapai Rp. 500.000,- perbulan, belum lagi ditambah oleh pemberian para guru jika mereka menitipkan kelas kepada Saya. Kecuali itu, Dinas Pendidikan pun memberikan satu stel baju dinas. Demi hal itu, beberapa orangtua di kampung bertanya-tanya kepada Saya, " Dines dimana, Jang?"
Bukan honor atau insentif sebetulnya yang ingin Saya sampaikan, kecuali legenda hidup sebagai seorang pengajar, itu yang terpenting. Setiap manusia ternyata memiliki legenda hidup masing-masing. Legenda hidup inilah yang akan membawa seseorang pada jalan mana yang harus ditempuh. Orang-orang di kampung bisa dikatakan sering melakukan duplikasi terhadap jerih payah orang lain. Jika ada tetangga memulai usaha baru, misalkan berdagang gorengan, kemudian mengalami kemajuan dalam beberapa bulan, biasanya usaha tersebut akan diikuti oleh para tetangganya. Ya, karena usaha itu pun merupakan legenda hidup, apa yang dilakukan oleh para tetangga mengikuti usaha Si Sukses tidak bisa dialami oleh mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, semua usaha tumbang secara perlahan.
Etos dan semangat mengajar merupakan legenda hidup yang harus ada dalam diri siapa pun. Baru dua tahun mengajar di Sekolah, tiba-tiba tanpa Saya sadari, banyak orangtua dari kampung tetangga, dari Balandongan, Lio, Lamping, hingga Sudajaya meminta agar Saya mengajar les privat di rumah mereka. Tidak tanggung-tanggung ada di antara mereka merupakan seorang Kepala Sekolah SLTP. Dalam diri Saya timbul pertanyaan, Ini orang sudah hilang akal sehatnya apa? Sebagai seorang kepala sekolah tapi meminta Saya mengajar anak-anaknya.
Saya paling tidak suka jika ada orang berkata – apalagi jika memiliki profesi yang sama sebagai seorang pengajar -, " Ya, karena sulit mencari pekerjaan, maka dengan sangat terpaksa Aku mengajar di sekolah ." Ini tentu saja sebuah kegilaan, mengajar kok dijadikan ladang alternatif. Apa jadinya jika mengajar yang harusnya diawali dengan etos mengajar malah diawali dengan ucapan seperti itu? Sudah pasti ini akan berbanding lurus dengan kualitas para tenaga pendidik di negara ini. Jika dalam satu sekolah ada sekian persen guru berpikiran seperti ini, maka hancurlah pendidikan di negara ini.
Beberapa tahun terakhir ini merupakan jaman teraneh bagi Saya dalam dunia pendidikan di negara ini. Obrolan di kantor baik di sekolah atau pun di dinas pendidikan dan angkutan umum, rata-rata menyoal sertifikasi. " Sudah keluar belum uang sertifikasi?" Okelah yang dibicarakan adalah kesejahteraan, namun masalah kesejahteraan para guru bukan tugas guru itu sendiri. Kesejahteraan mereka berada pada regulasi pemerintah di negara ini. Karena kesejahteraan ini dijadikan incaran, tidak heran ruang-ruang komunikasi dipenuhi oleh seputar hal ini. Berbeda dengan dulu, saat pertama kali ditawari mengajar di sekolah , tidak ada obrolan menjurus kepada berapa besaran uang honor yang akan diterima.
Persoalan mendasar menjadi tenaga pendidik di negara-negara dunia ke-tiga selalu sama persis, adanya sertifikasi bagi para tenaga pendidik memang merupakan salah satu regulasi dari pemerintah, namun tidak menyelesaikan akar permasalahan. Etos dan semangat mengajar sebagai legenda hidup tenaga pendidik inilah yang harus ada dalam diri para pendidik. Menjadi guru baik honorer atau apa pun jangan dianggap sebagai batu loncatan agar pada saatnya nanti akan diangkat menjadi PNS. Sebab , mengangkat guru honorer menjadi PNS merupakan kewajiban pemerintah itu sendiri.
Etos dan semangat mengajar para guru bermerek Oemar Bakrie lah yang harus dikedepankan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Dulu, ketika Saya duduk di Sekolah Dasar, seorang kepala sekolah harus berjalan dari Baros sampai Balandongan melewati pematang sawah dengan jarak bisa mencapai 5 Km, tidak ada keluhan dalam diri Bapak Kepala Sekolah. Memang tidak adil jika dibandingkan dengan kondisi para guru dan kepala sekolah saat ini, karena rumus sederhana dalam perbandingan harus sejajar dan berada pada ruang dan waktu yang sama. Yang harus dikedepankan adalah rasa malu kita terhadap para guru masa lalu, tanpa kendaraan mewah pun mereka selalu merasa cukup. Tempo hari, seorang teman menyampaikan pesan melalui BBM, " Untuk menjadi manusia serba cukup itu ternyata tidak harus banyak.". inilah legenda hidup, memang ada di dunia ide, namun pemerintah memang sudah saatnya untuk merealisasikan hal ini.
KANG WARSA
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Posting Komentar untuk "Legenda Hidup Guru"