Temanku berkata, dahulu sekali, kehidupan di dunia ini penuh dengan keharmonisan. Pusat kekuasaan di dunia dikendalikan oleh seorang pimpinan, dia seorang raja adil, menyayangi rakyatnya dengan sepenuh hati. Kondisi dunia, gemah ripah repeh rapih, sugih mukti, tata tintrim, mulus rahayu. Setiap orang bekerja pada bidangnya masing-masing, petani menjadi petani, pedagang menjadi pedagang, para pegawai menjadi pegawai. Seorang tetangga tidak pernah merasa iri dengan apa yang dilakukan dan dimiliki oleh tetangganya. Kedengkian tidak pernah ada. Rumah-rumah yang dibangun memiliki arsitektur sama, semua ditata harus menghadap jalan. Karena rakyat patuh dan benar-benar mematuhi titah rajanya. Raja tersebut bernama Is.
Is dinobatkan menjadi seorang raja tidak melalui pemilihan, namun diangkat langsung oleh umat manusia karena dalam dirinya terpancar cahaya Tuhan. Mengasihi siapa pun. Manusia pada masa itu berikrar, akan mematuhi kebijakan apa pun yang dikeluarkan oleh rajanya, karena perintah raja merupakan amanat dari diri mereka sendiri. Raja pun demikian, tidak kemaruk, tidak angkuh, dan tidak memosikan diri sebagai penguasa tertinggi, karena dia sadar, diangkat oleh rakyat secara keseluruhan, timbal baliknya yaitu harus mengayomi rakyat yang telah memilihnya. Raja mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan oleh rakyatnya.
Di malam hari, pintu-pintu rumah tidak perlu dikunci. Dalam lingkungan yang dipenuhi oleh potensi kebaikan, orang dengan niat jahat pun akan luluh lantah hatinya, tidak akan pernah berani merealisasikan niat jahatnya. Rumah ditinggalkan tanpa penghuni tanpa dikunci pun, barang-barang yang ada di dalamnya akan tetap utuh. Tidak ada petugas ronda, polisi, atau petugas keamanan, masing-masing telah merasa aman karena bisa mengamankan dirinya. Munculnya kondisi seperti ini bukan tanpa sebab. Lahirnya keamanan, ketentraman, tidak muncul berbagai kejahatan karena satu hal, seluruh manusia telah tercukupi kebutuhan lahir dan batinnya. Kejahatan timbul karena adanya kekurangan dan ketidak cukupan.
Kehidupan seperti yang digambarkan oleh temanku bisa jadi hanya dianggap sebuah fiksi, ide mengawang, dan tidak pernah termanifestasikan di dalam kehidupan nyata. Pikiran kita akan menganggapnya hanya ada dalam sebuah dongeng. Kehidupan peri di dunia atas. Sama halnya dengan Plato yang pernah melukiskan kehidupan Atlantis dalam buku Critias dan Tiameous. Kehidupan di dunia ide ketika negara atau kerajaan dipimpin oleh seorang filsuf bertuhan. Dengan keterbatasan otak dan akal kita inilah, dua cerita yang memiliki kemiripan tersebut dengan sesegera mungkin langsung disebut sebagai pandangan utopis, jauh dari kenyataan. Khayalan, dongeng yang pantas dibacakan kepada anak-anak sebelum tidur.
Benar, keterbatasan akal dan otak manusia seperti kita ini menjadi kunci penutup hal yang berada di luar diri kita. Kita dibatasi oleh apa yang kita alami di alam empiris. Sebab ketika dibandingkan antara cerita temanku dengan kehidupan kita sekarang memang sangat tidak adil. Kehidupan yang dipenuhi oleh segala potensi kebaikan dengan kehidupan yang dipenuhi oleh peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Hidup di dunia langit dengan di tebing curam jelas akan berbeda. Dengan bahasa sederhana disimpulkan, kehidupan utopis seperti gambaran Plato dan temanku itu dipastikan tidak ada. Keyakinan kita terhadap pendapat pribadi disebabkan oleh: " Kita masih senang bermain-main api di puncak sebuah gunung saat ingin menyelami kedalaman samudera."
Tapi anehnya, ketika kita mengatakan hal tersebut merupakan sebuah ke-tidak mungkinan, manusia hidup dalam sebuah kedamaian dalam ruang dan waktu, justru pandangan-pandangan utopis tersebut sering muncul dan dimunculkan oleh siapa pun. Dari mulai calon anggota dewan hingga calon ketua RT sering membahasakan: " Saya bertekad mewujudkan kesejahteraan rakyat!", bahkan kelompok-kelompok militan dan kaum radikal pun berani membunuh manusia lain dengan mengatasnamakan sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan bagi manusia. Hal-hal utopis yang sering kita tepis justru dijadikan harapan bahkan bila perlu dibuat sebagai sebuah topeng.
Kita sering lupa, harapan dan keinginan tidak muncul begitu saja. Dalam Revolution of Hope, Fromm menyebutkan, cita-cita terbesar manusia untuk mewujudkan kesejateraan dan harapan kebaikan didasari oleh hal-hal yang pernah ada namun telah hilang. Artinya, karena kita telah merasa kehilangan oleh sesuatu maka kita akan berusaha mati-matian menemukannya kembali. Dalam diri manusia, sudah bisa dipastikan mewarisi gen-gen nenek moyang, memori-memori itu tersimpan rapi di dalam DNA sebagai bank data. Namun, karena data-data tersebut tersimpan di dalam alam bawah sadar , manusia sering mengalami kesulitan untuk membukanya. Dalam kondisi tertentu, data-data yang diwariskan oleh nenek moyang kita melalui gen itu memang bisa terbuka saat mengalami de javu. Tiba-tiba pikiran kita melayang entah ke jaman mana, ketika ada di suatu tempat kita merasakan pernah berada di tempat itu, namun entah kapan.
Kadang kita hanya terfokus pada satu hal, seolah DNA yang ada di dalam tubuh ini hanya menyimpan informasi-informasi yang mengakibatkan kenapa rambut berwarna hitam, kulit sawo matang, mata cokelat, tidak lebih dari itu. Tanpa berusaha untuk menggali kembali, di dalam DNA tersebut tersimpan milyaran informasi masa lalu yang diwariskan oleh leluhur kita. Freud melalui pendekatan psiko-analisanya menyebutkan, mimpi yang dialami oleh manusia merupakan gejolak alam bawah sadar. Bahkan segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sejak kecil pun tidak lepas dari aktifitas alam bawah sadar manusia. Bukan berarti hendak meniadakan keMaha Pengaturan Alloh, ini hanya sebagai gambaran, aktifitas manusia tidak lepas dari memori-memori yang ada di dalam tubuh manusia itu sendiri. Sebuah komputer bekerja secara sistematis karena adanya data-data yang disematkan oleh pembuat komputer tersebut. Jika tidak demikian, sudah dipastikan komputer tidak akan berfungsi sama sekali, mati.
Wajar jika temanku bisa menceritakan dengan detail perihal kehidupan di masa lalu karena dia telah mampu membuka data-data yang tersimpan di kedalaman alam bawah sadarnya. Meskipun dalam pandangan kita bisa dikatakan orang tersebut sedang mengigau, mimpi, atau "ngacamling". Kita memang belum bisa ke sana, walaupun pada saatnya nanti, kita pun akan mengalami hal itu dan disebut sebagai seorang pengigau. Saya pun demikian, belum bisa menyelami kedalam samudera, masih senang bermain di atas permukaan. Di jamannya, Plato disebut manusia pengigau, namun karya-karyanya saat ini begitu dikagumi dan dijadikan referensi oleh seluruh dunia.
KANG WARSA
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Posting Komentar untuk "Is"