Pilkada Langsung: Bentuk Pembebasan Individu dari Pengebirian Kedaulatan Rakyat

Pemilihan Kepala Daerah akan tetap diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Desakan terhadap pemerintah yang dilakukan oleh beberapa partai politik agar Pilkada diselenggarakan dengan cara dipilih oleh anggota DPRD Provinsi, Kab/ Kota merupakan wacana sesaat paska penyelenggaraan Pilpres 2014. Jelas sekali, demi alasan besarnya anggaran penyelenggaraan demokrasi langsung di daerah – sebagai upaya penghematan uang rakyat – menghadapi benturan langsung terhadap konsep demokrasi itu sendiri.

Reformasi digulirkan kemudian menghasilkan out-put politik ; kebebasan, pemilihan umum yang transparan, rakyat bisa tampil sebagai kontestan dalam pemilihan umum, dan sejumlah kemerdekaan politik lainnya. Ketika partai politik di era reformasi meminta agar penyelenggaraan Pemilihan Kepala daerah dikembalikan kepada DPRD Provinsi, Kab/Kota, merupakan bentuk pelacuran politik terhadap keluaran politik yang mereka buat sendiri.

Persoalan Pemilukada tidak terletak dari besar dan kecilnya uang rakyat yang digunakan. Ini dipengaruhi secara nyata oleh pengimplementasian azas-azas penyelenggaraan pilkada itu sendiri. Sebab penggunaan anggaran negara telah dibatasi dan diberi kerangka yang jelas oleh azas transparansi dan keterbukaan. Ruang ideal yang harus terjadi adalah; tidak akan lahir kecurangan dan penyalahgunaan anggaran oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Panwaslu). Sebab, dalam sistem pemerintahan apa pun, baik republic –demokrasi atau monarki - absolut, tetap saja akan memakan anggaran biaya yang cukup besar.

Dalam negara monarki absolut, anggaran yang dikeluarkan oleh kerajaan justru lebih besar, sebagai contoh upacara dan seremoni kerajaan dengan biaya besar tersebut justru hanya dinikmati oleh para petinggi istana. Sementara dalam negara republik dengan sistem demokrasi, rakyat bisa berpartisipasi langsung. Anggaran untuk pilkada sendiri sebenarnya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pemilih dalam proses pemilihan umum.

Sebagai contoh, pada penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi Tahun 2013, KPU Kota Sukabumi mengalokasikan anggaran sebesar: Rp. 7.466.982.500,- dengan realisasi penggunaan sebesar Rp. 6.333.356.573,-, bisa dikalkulasikan , anggaran yang dibelanjakan untuk Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi Tahun 2013 berada pada kisaran Rp. 28.370,- per pemilih. Sebab, seluruh anggaran tersebut digunakan sepenuhnya untuk pelaksanaan pilkada yang melibatkan rakyat.

Anggaran Pilkada langsung dibandingkan dengan Pilkada dipilih oleh anggota DPRD sebetulnya tidak memiliki selisih terlalu signifikan bagi negara demokrasi. Anggaran yang digunakan pada Pilwal 2013 jika dikoefisienkan menghasilkan angka : 45:10.000.000, bandingkan dengan jika Pilkada dipilih oleh anggota DPRD menghasilkan angka 4:100, apa artinya? Tingkat penyalahgunaan anggaran negara Pilkada melalui anggota DPRD lebih besar daripada Pilkada langsung. Semakin besar koefisien angka perbandingan, akan semakin besar manifulasi serapan penggunaan anggaran.

Hal lain yang dijadikan alasan oleh beberapa partai politik agar Pilkada diselenggarakan tidak langsung adalah semakin besar kasus politik uang, pencitraan, pelanggaran pemilu, dan benturan antar kelompok pemilih. Alasan ini sebetulnya bersifat semu, sebab munculnya hal-hal sebagaimana tersebut tadi tidak lepas dari lemahnya partai politik sendiri sebagai lembaga atau infrastruktur politik dalam melakukan tugas mereka, menyelenggarakan pendidikan politik kepada rakyat. Bisa disimpulkan, wacana pemilihan Kepala Daerah oleh anggota DPRD merupakan bentuk keputus-asaan partai politik itu sendiri dalam melakukan tugas dan perannya sebagai lembaga politik kepada konstituen apalagi kepada rakyat secara keseluruhan.

Tidak ada jaminan Pemilihan Kepada Daerah langsung dan tidak langsung akan bebas dari praktik-praktik politik uang , pelanggaran pemilu, dan benturan kelompok ketika partai politik sebagai infra-struktur politik di negara ini belum maksimal dalam memanajemen dan memberikan pendidikan politik kepada pemilih. Pada Pemilihan Kepada Daerah tidak langsung, apakan kandidat Pilkada bisa dipastikan tidak melakukan praktik politik uang? Justru, politik transaksional akan lebih bersifat laten pada Pilkada tidak langsung ini. Sementara dalam Pilkada langsung, politik transaksional bersifat sporadis, jarang ditemui politik transaksional pada kisaran di atas Rp.100.000.000,- antara kandidat dengan massa pemilih. Politik uang hanya berkisar antara Rp.25.000,- sampai Rp.100.000,-.

Praktik-praktik tidak terpuji dalam penyelenggaraan Pilkada disebabkan oleh beberapa faktor; 1) Partai Politik tidak berhasil menjadi sebuah mesin politik yang bisa meyakinkan kader, simpatisan, dan pemilih agar fatsun terhadap kebijakan-kebijakan partai. 2) Partai Politik memang memiliki rencana-rencana strategis dalam pemenangan Pemilu, namun lemah dalam pengimplementasian strategi yang telah ditetapkan sebagai program umum partai di tingkat daerah. 3) Kurang ‘gregetnya’ sanksi yang diberikan kepada peserta Pemilu ketika melakukan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Sanksi administrasi dan teguran memang sering dilakukan, namun tidak memberi efek jera kepada peserta pemilu karena kembali kepada point mendasar: lemahnya pembenahan infra-struktur politik di Negara ini.

Dalam pandangan penulis, wacana Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung merupakan bentuk inkompetensi partai politik dalam menghadapi kedaulatan rakyat dan peran serta rakyat yang semakin cair. Ketidak berdayaan ini mengakibatkan partai-partai politik memiliki ‘hasrat’ jelek untuk mengebiri kembali semangat kedaulatan dan kemerdekaan rakyat. Partai politik lebih senang mengambil jalan pintas dengan melihat koalisi dan perolehan kursi di DPRD I dan II. Mereka memiliki anggapan demokrasi hanya sebatas pada titian angka-angka sebagai anak tangga yang bisa mengantarkan ‘Tokoh” yang akan mereka usung. Jalan pintas ini menjadi tanda ketidak siapan dan keenggaran partai politik untuk melahirkan tokoh yang memiliki kharisma, wibawa, dan disegani oleh rakyat.

Para pencetus wacana pemilihan Kepada Daerah tidak langsung lupa pada satu hal, kemerdekaan dan kedaulatan rakyat merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. Rakyat sebagai individu tidak bisa ditekan, diintervensi, dan diintimidasi oleh pihak lain. Bukankah gerakan awal reformasi memiliki pandangan; reformasi lahir untuk membebaskan rakyat dari pengebirian dan tekanan oleh negara? Maka, semangat itulah yang seharusnya tetap tumbuh di dalam infrastruktur politik negara ini. Pemilihan Kepada Daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia merupakan bentuk pembebasan individu dari pengebirian kekuasaan. Kedaulatan sepenuhnya memang milik rakyat.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Pilkada Langsung: Bentuk Pembebasan Individu dari Pengebirian Kedaulatan Rakyat"